Monday, February 23, 2009

PENGUNGKAPAN MAKNA ASPEKTUALITAS REDUPLIKASI DALAM BAHASA JAWA: KAJIAN MORFOLOGI

Oleh Ahdi Riyono

Abstract

Reduplication can be divided into two categories, namely total reduplication, and partial reduplication. The reduplication in Javanese can be analyzed to discover the meaning of aspectuality. Actually, there are eight aspectual meanings found in Javanese through reduplication process. They consist of iterative, continuative, durative atenuative, durative deminutive, iterative reciprocative, habituative, ingressive, and continuative intensive.

Key word: reduplication, aspectuality, and meaning.





1. Pendahuluan


Di dalam linguistik umum terdapat tiga subkategori tata-bahasa yang berurusan dengan semantik verba, yakni aspektualitas, temporalitas dan modalitas. Menurut Tadjuddin (2005:3) aspektualitas dan temporalitas mempelajari sifat-sifat keberlangsungan situasi (yaitu gejala luar bahasa yang berupa peristiwa, proses/aktivitas, keadaan) dilihat dari segi waktu yang menyertai keberlangsungan situasi tersebut, sedangkan modalitas mempelajari situasi dari sudut pandang bermacam-macam sikap pembicara terhadap situasi yang berlangsung.
Ketiga bidang kajian linguistik itu dalam bahasa-bahasa itu diungkapkan melalui proses morfologi yang luas dan teratur. Adapun studi tentang aspektualitas bisa dikatakan rumit. Oleh karena itu, studi tentang aspektualitas merupakan lahan yang subur bagi para peneliti dan karena itu pula, tidaklah mengherankan apabila dalam hal ini pandangan para pakar cukup beragam. Tadjuddin (2005: 19) mengusulkan pembagian aspektualitas ke dalam dua kelompok besar, yaitu bentuk morfologi dan bentuk sintaksis. Bentuk morfologi terdiri atas (1) aspek (kategori gramatikal/infleksional/paradigmatik atau disebut juga gramatikal terbuka) dan (2) aksionalitas. (kategori leksiko-gramatikal atau disebut juga gramatikal tertutup) dan (3) makna aspektualitas inheren verba (MAIV, kategori leksikal). Adapun bentuk sintaksis terdiri atas aspektualitas pada tataran klausa, yang terdiri atas frasa verba, /predikat, frasa keterangan, frasa nomina, dan aspektualitas pada tataran kalimat.
Sebagaimana diungkapkan Tadjuddin (1993: 3) bahwa aspektualitas dapat diungkapkan melalui berbagai macam cara atau bentuk, baik secara morfologis, maupun sintaksis. Namun mengingat luasnya permasalahan, pembahasan dalam makalah ini hanya dibatasi pada pembahasan dalam bidang morfologi, khususnya dalam pengungkapan makna aspektualitas melalui reduplikasi dalam bahasa Jawa.

2. Kajian Pustaka
2.1 Pengertian Aspektulitas


“Aspek” adalah masalah sudut pandang (perspektif) pembicara tentang suatu situasi, misalnya aspek perfektif (peristiwa utuh atau lengkap), aspek imperfektif (sedang berlansung), aspek inkoatif (titik awal), aspek kontinuatif (keberlanjutan), aspek egresif (titik akhir), aspek iteratif (keberulangan). Adapun definisi lainnya menurut Sumarlam (2005: 27) aspek sebenarnya bukan merupakan sudut pandang pembicara tetapi sifat situasi yang digambarkan, apakah itu statis atau dinamis, terminatif atau duratif, terikat atau tidak terikat, kontinu atau iteratif. “Aspek” yang dirumuskan dengan cara ini lebih tepat disebut dengan istilah Jerman “Aktionsart” atau ragam tindakan.
Istilah “aspektualitas”, sebagaimana disarankan oleh Tadjuddin (2005: 5) sebagai terjemahan istilah Rusia “ aspektual nost” (Bonarko, 1971; dan Maslov, 1978) dan istilah Inggris “aspectuality” (Dik, 1989), digunakan sebagai konsep umum yang meliputi baik aspek maupun aksionalitas. Aspek merupakan kategori gramatikal (morfologi infleksional), sedangkan aksionalitas merupakan kategori leksiko-gramatikal (Tadjuddin, 1993:24). Penggunaan istilah aspektualitas (aspectuality) sebagai konsep umum yang secara tersurat atau tersirat menggambarkan dua gejala luar bahasa, yaitu unsur waktu (time, temporal, moment), dan unsur situasi (event, action, process, activity). Atas dasar ciri-ciri itulah Tadjuddin (1993) menegaskan bahwa aspektualitas berurusan dengan macam-macam sifat unsur waktu internal situasi. Dalam hal ini perlu dibedakan antara aspektualitas dan temporalitas sebab aspektualitas berurusan dengan unsur waktu yang bersifat internal sedangkan, temporalitas berurusan dengan unsur waktu yang bersifat eksternal (Djajasudarma, 1985: 75, 1986: 34; Tadjuddin, 1993: 25; Sumarlam, 2004: 28).
2.2. Cara-cara Pengungkapan Makna Aspektulitas
Istilah yang mengacu pada jenis-jenis makna aspektualitas ialah bentuk kata yang lebih sederhana seperti inkoatif, ingresif, progresif, adapun batasan aiatu pengertian masing-masing diambil dari batasan atau pengertian yang dikemukakan oleh Tadjuddin (1993:65-74).
(1). Inkoatif
Makna inkoatif menggambarkan situasi yang memberikan tekanan pada permulaan keberlangsungan. Dalam BI, makna aspektualitas inkoatif dapat diamati pada penggunaan partikel pun dan lah bersama verba aktivitas dan verba statis atau secara eksplisit melalui penggunaan kata mulai. Dalam BJ, makna aspektualitas inkoatif dapat diungkapkan dengan penggunaan pemarkah frasa verbal wiwit’mulai’ dan lekas’mulai’.
(2). Ingresif
Makna aspektualitas ini sebetulnya sama dengan makna inkoatif, hanya perbedaannnya pada penekanan pada segi permulaan keberlangsungannya. Sedangkan makna aspektualitas ingresif memberikan gambaran situasi yang tak terpisahkan antara saat permulaan dengan kelanjutan. Dalam BJ dapat diamati penggunaan kata wis’sudah’ dan pemarkah frasa adverbial durasi wiwit ’sejak’. Dalam BI dapat diamati dengan penggunaan sudah, telah bersama verba statis, dengan pemarkah frasa adverbia sejak.
(3). Progresif
Makna aspektualitas progresif menggambarkan situasi yang keberlangsungannya bersifat sementara. Dalam BJ dapat diamati damalam penggunaan pemarkah frasa verba lagi atau pinuju’sedang’. Sedangkan dalam BI menggunakan kata sedang.


(4). Terminatif
Makna aspektualitas ini menggambarkan situasi yang memberikan tekanan pada segi akhir keberlangsungannya. Dalam BJ, makna ini dapat diamati pada penggunaan pemarkah frasal verbal bubar’selesai, usai dan pemarkah frasa adverbial durasi nganti’sampai’, ‘hingga’. Dalam BI dipergunakan selesai, usai, dan adverbial durasi sampai, hingga.
(5). Semelfaktif
Makna aspektualitas semelfaktif menggambarkan situasi yang berlangsung hanya satu kali dan biasanya bersifat sekejap. Dalam BJ makna aspektualitas ini dapat diungkapkan dengan penggunaan adverbial ujug-ujug’tiba-tiba’, sanalika ‘seketika’ ngerti-ngerti ‘tahu-tahu dan sebagainya. Sedangkan dalam BI dengan menggunakan adverbial tiba-tiba, seketika, sekilas, dan sekejap.
(6). Iteratif/ frekuentatif
Makna aspektualitas iteratif menggambarkan situasi yang berlangsung berulang-ulang. Dalam BJ, makna aspektualitas ini dapat diamati antara lain pada penggunaan verba bersufiks –i seperti nuthuki’memukuli’, njiwiti ‘mencubiti’ atau verba reduplikasi dengan dasar pungtual tipe nuthuk-nuthuk ‘memukul-mukul, nendhang-nendhang ‘menendang-nendang’ dsb atau pada penggunaan pemarkah frasa verbal kerep ‘sering’, tansah ‘selalu’ dan sebagainya. Sedangkan dalam BI makana iteratif dapat diamati antara lain, pada penggunggaan verba reduplikasi dengan dasar verpa pungtual tipe memukul-mukul, menendang-nendang, penggunaan sufiks–i pada verba pungtual tiep memukuli, memotongi atau adverbial aspektualiser selalu, berulang-ulang, berkali-kali.
(7). Habitualitif
Situasi habituatif menurut Tadjuddin (1993:8) adalah bagian dari situasi iteratif, bukan sebaliknya. Dengan perkataan lain, situasi habituatif selalu mengandung makna habituatif. Dalam BJ makna aspektualitas habituatif dapat diungkapkan dengan pemarkah leksikal biasane’biasanya’, adate’biasanya’, kulina ‘biasa, dan kulinane’ biasanya’. Dalam BI menggunakan terjemahannya.
(8). Kontinuatif
Makna aspektualitas kontinuatif menggambarkan situasi yang berlangsung secara terus-menerus dalam rentang waktu yang relatif lama. Dalam BJ makna aspektualitas ini dapat diungkapkan dengan penggunaan pemarkah terus-terusan ‘terus menerus’ dan tetep’ tetap’. Sedangkan dalam BI dapat diungkapkan melalui adverbia durasi seperti lama, sebentar, terus-menerus, tak henti-hentinya, dsb.
(9). Kompletif
Makna aspektualitas kompletif atau resultatif menggambarkan situasi yang berlangsung secara bulat dan menyeluruh, dari awal sampai akhir dan biasanya disertai hasil. Dalam BI biasanya digunakan pemarkah verbal wis’ sudah, ‘telah’, ‘rampung’ selesai’ bersama verba aktivitas dan statis. Dalam BI dengan menggunakan terjemahannya.
(10). Duratif
Makna aspektualitas duratif menggambarkan situasi yang berlangsung dalam kurun waktu yang terbatas. Ciri yang menandainya adalah keterbatasan waktu. Makna aspektualitas ini dala BJ dapat diamati, antara lain, pada penggunaan adverbia durasi sedhela’ sebentar’ sawetara wektu’ beberapa saat, sakjam ‘satu jam’ atau pemarkah frasa adverbia durasi sasuwene’selama’, sedangkan dalam BI makna ini dapat diamati dalam penggunaan sebentar, sejenak, satu jam, atau selama.
(11). Intensif
Makna aspektualitas intensif menggambarkan situasi yang menggambarkan secara intensif sehingga diperoleh hasil tertentu. Makna ini dalam BJ nampaknya hanya dapat melalui konteks tertentu, tetapi makna ini dalam artian umum dapat pula diamati, antara lain, pada penggunaan adverbial tipe terus-terusan ‘terus menerus’ dan tanpa kendhat ‘tak henti-hentinya. Sedangkan dalam BI hanya terjemahan dari BJ.
(12). Atenuatif
Makna aspektualitas ini menggambarkan situasi yang berangsung tidak sepenuhnya. Alakadarnya dalam intensitas yang lemah. Dalam BJ antara lain dapat diamati pada penggunaan verba reduplikasi dengan dasar verba statis, dan verba aktivitas tipe lungguh-lungguh’ duduk-duduk’, ngombe-ngombe’ minum-minum, dan ngomong-ngomong.
(13). Diminutif
Makna aspektualitas ini menggambarkan situasi yang keberlangsungannya mengandung makna agak atau melakukan sedikit. Dalam BJ dapat diamati pada verba reduplikasi dengan dasar verba statif, seperti isin-isin ‘malu-malu’, dan mumet-mumet’ pusing-pusing’.
(14) Finitif
Makna aspektualitas ini menggambarkan situasi yang berakhir tanpa indikasi ketercapaian hasil atau tanpa disertai hasil. Dalam BJ dapat diungkapkan dengan kata batal’batal’, wurung’urung’ dan sebagainya.
(15). Komitatif
Makna aspektualitas ini menggambarkan situasi yang merupakan pengantar situasi lain, misalnya ‘mengetuk-ngetuk’ ketika melakukan sesuatu. Bersiul-siul untuk mengiringi sesuatu. Dalam BJ dapat digunakan pemakaian konjungsi karo’ sambil’, dan sinambi’ sambil’, ‘seraya’.




3. Pembahasan

Reduplikasi yang akan dibahas dalam makalah ini adalah reduplikasi yang dalam morfemisnya berfungsi mengungkapkan makna aspektualitas. Tugas pengungkapan makna aspektualitas ini pada umumnya diemban oleh reduplikasi verba atau verba reduplikatif.
Berkenaan dengan pengertian reduplikasi, Moeliono (1988:166) memberikan batasan reduplikasi adalah proses pengulangan kata, baik secara utuh maupun sebagian. Sedangkan Kridalaksana (1983: 143) mengatakan bahwa reduplikasi adalah proses dan hasil pengulangan satuan bahasa sebagai alat fonologis atau gramatikal, misalnya rumah-rumah, tetamu, dan bolak-balik.
Secara garis besar reduplikasi dapat diklasifikasikan mencadi dua macam bentuk, yakni reduplikasi utuh dan reduplikasi sebagian (Sumarlam, 2004: 143). Reduplikasi utuh dalam bahasa Jawa disebut dengan istilah “Dwilingga” (DL). Bentuk reduplikasi ini dapat diklasifikasikan lagi menjadi bagian:
a. Reduplikasi utuh atau DL dengan tidak disertai perubahan vokal, seperti
Celuk  celuk-celuk ‘panggil-panggil’.
Lungguh  lungguh-lungguh ‘duduk-duduk’.
Teka  teka-teka ‘datang-datang’.
Contoh kalimat;
(1). Sarman wis suwe celuk-celuk, ning orak ono sing semau.
Sarman telah lama memanggil-manggil, tapi tidak ada yang menyahut.

(2). Pak wawan lan pak Yappi podho lungguh-lungguh wae ning emperan omah.
Pak wawan dan Pak Yappi sedang duduk-duduk saja di pelataran rumah.

(3). Bu Dwi wis dienteni suwe kok durung teka-teka.
Bu Dwi sudah ditunggu lama kok belum datang-datang.

b. Reduplikasi utuh dengan disertai perubahan bunyi vokal atau disebut “dwilingga salin swara” (DLS). Sementara itu, Poejosoedarmo (1981: 1231) menyebutnya dengan dwilingga salin suara . DLS ialah proses perulangan di dalam bahasa Jawa yang dibentuk dengan mengulangi seluruh bagian kata dasar disertai dengan perubahan bunyi vokal kata dasar itu.
Watuk  wotak-watuk ‘ berkali-kali batuk’
Celuk  celak-celuk ‘ berkali-kali memanggil’
Tangi  tonga-tangi ‘ berkali-kali bangun’.
Contoh kalimat;
(1). Pak John nek wis bengi wotak-watuk wae.
Pak John kalau sudah malam batu sering batuk-batuk.

(2). Aja celak-celuk wawan ning kene, dheweke lagi sinau.
Jangan memanggil-manggil wawan di sini, ia sedang belajar.

(3). Anake mbak Dwi lagi loro, nek turu tonga-tangi.
Anak Mbak Dwi sedang sakit, kalau tidur sering bangun.

Contoh-contoh di atas adalah contoh reduplikasi yang dibentuk dari kata dasar watuk, celuk, dan tangi dengan cara mengubah bunyi vokal [u] menjadi [a], [a] menjadi [o], [u] menjadi [a] dan bunyi [I] menjadi [a] dan [a] menjadi [o] pada kata dasar.
c. Reduplikasi jenis a dan b dengan disertai nasal seperti:
Tiba  niba  niba-niba ‘dengan sengaja menatuhkan diri’.
Sambet nyamber nyamber-nyamber ‘ menyambar-nyambar’.
Pijet  mijet  mijet-mijet ‘memijat-mijat’
Tutup nutup nutup-nutup ‘berkali-kali menutup.
Reduplikasi sebagian, dalam BJ disebut dengan istilah “dwipurwa” (DP) jika yang diulang suku kata depan atau “dwiwasana” (DW) jika yang diulang suku kata bagian belakang.
a. Reduplikasi sebagian dari suku kata depan atau DP mengalami perubahan bunyi vokal, selain vokal [], yaitu [u], [a], [i], [ ], [o], dan [e] berubah menjadi [], sedangkan kata yang suku kata pertamanya bervokal [] tidak mengalami perubahan. Contoh:
1. vokal [u], [a], [i] berubah menjadi []:
Tuku  tutuku  tetuku [t tuku] ‘membeli’
Sambat  sasambat sesambat [ssambat]’ merintih-rintih’
Siram sisiram  sesiram [sseiram] ‘ menyiram’
b. Reduplikasi sebagian dari suku kata bagian belakang atau DW, pada umumnya disertai sufiks-an, misalnya:
Cekikik  cekikik-cekikik cekikik+an cekikikan ‘tertawa kecil’
Cekak  cekakakcekakak-cekakak  cekakak+ancekakakan‘tertawa lebar’
Dremil dremimil ‘banyak memberi nasehat’ (karena perasaan khawatir)
Cenang cenanangcenanang-cenanangcenanang+ancenanangan ‘berjalan dengan mata liar’
Bentuk-bentuk reduplikasi di atas dapat disertai afiks-afiks tertentu atau mengalami penambahan afiks (reduplikasi berkombinasi dengan afiksasi), misalnya:
Perang  perang-perang+an perang-perangan‘berpura-pura berperang’
Dodol  dodol-dodol+andodol-dodolan ‘berpura-pura berjualan’
Antem antem-antem+anantem-anteman ‘berpura-pura memukul’
3.1. Reduplikasi verba bermakna Iteratif
Makna iteratif (“keberulang-ulangan, keberkali-kalian, “ pluraritas tindakan’, “kualitas tindakan repetitif”) terdapat pada verba reduplikatif dengan D sebkelas verba pungtual nuthuk ‘memukul’, watuk ‘batuk’, dhehem ‘berdehem’, manthuk ‘mengangguk’, nothok ‘mengetuk’, keplok ‘bertepuk tangan, dsb, yang dapat ditafsirkan ‘berkali-kali melakukan apa yang disebutkan oleh bentuk dasarnya (D). jadi verba reduplikatif berikut bermakna iteratif;
Nuthuk-nuthuk ‘berkali-kali memukul’
Watuk-watuk ‘berkali-kali batuk’
Dhehem-dhehem ‘berkali-kali dhehem’.
Contoh kalimat;
(1). Pak guru nuthuk-nuthuk mejo mergo bocah-bocah podho rame.
Pak guru memukul-mukul meja karena anak-anak sedang ramai.

(2). Aku mau krungu dheweke watuk-watuk.
Aku tadi mendengar dia batuk-batuk.

(3). Kae, Fandi dhehem-dhehem mergo lagi kepethuk pacare.
Itu, Fandi dhehem-dhehem karena sedang ketemu pacarnya.

Ke dalam kelompok verba reduplikatif ini termasuk D subkelas verba pungtual yang mengalami proses pengulangan “dwilingga salin swara” (DLS) seperti:
Nyelak-nyeluk ‘berkali-kali memanggil’
Nutap-nutup ‘berkeli-kali menutup’
Mbengak-mbengok ‘berkali-kali berteriak’
Verba reduplikatif bentuk dwilingga berikut juga bermakna iteratif:
Ngidak-idak “ menginjak-injak’
Ngethok-ngethok ‘ memotong-motong’
Nyamber-nyamber ‘menyambar-nyambar’
Contoh kalimat dari dua kata di atas;
(1). Kae, adhimu mbengak-mbengok nyeluki kue.
Itu, adikmu berteriak-teriak memanggil-manggil kamu.

(2). Manuk Gagak kae nyamber-nyember golek mangsa.
Burung Gagak itu menyambar-nyamber mencari mangsa.


3.2. Reduplikasi verba bermakna kontinuatif.
Makna kontinuatif (“terus-menerus”, “kualitas tindakan berkesinambungan”) terdapat pada verba reduplikasi dengan D subkelas verba aktivitas tuku ‘membeli’, mlaku ‘berjalan, menjadi nenuku ‘terus-menerus membeli, mlaku-mlaku ;terus-menerus berjalan, dsb yang menggambarkan situasi tunggal yang berlangsung secara berkepanjangan. Makna demikian dapat ditafsirkan dengan terus-menerus atau lama melakukan perbuatan yang disebutkan oleh D. jadi, mlaku-mlaku ‘berjalan-jalan’, misalnya dapat ditafsirkan dengan terus menerus /lama (melakukan perbuatan) berjalan atau terus-menerus/lama berjalan dan tidak mungkin ditafsirkan ‘berkali-kali berjalan.
Termasuk ke dalam kelompok verba reduplikatif jenis ini ialah:
eling  ngeling-eling ‘terus-menerus mengingat’
elus  ngelus  ngelus-elus ‘terus menerus membelai’
guyu ngguyu ngguyu-ngguyu ‘terus menerus tertawa’
Contoh kalimat;
(1). Bu Erna ngelus-elus rambute Wulan kebak rasane trenyuh.
Bu Erna terus-menerus membelai rambut Wulan dengan perasaan haru.

(2). Dheweke ngeling-eling kedadean kang mentas bae dialami.
Dia terus-menerus mengingat kejadian yang baru saja dialami.

(3). Maimun nek kepethuk Dewi musti ngguya-ngguyu.
Maimun kalau ketemu Dewi mesti ketawa-tawa.

3.3. Reduplikasi Verba bermakna duratif-atenuatif
Makna atenuatif (ketidaktentuan tujuan tindakan, tanpa tujuan yang sebenarnya, kualitas tindakan santai) terdapat pada verba reduplikatif dengan D subkelas verba statis tipe lungguh-lungguh’ duduk-duduk’, turu-turu ‘tidur-tidur’, dan sub kelas verba aktivitas tipe mlayu-mlayu ‘berlari-lari’, dolan-dolan ‘bermain-main, ngobrol-ngobrol ‘berbincang-bincang’, ngombe-ngombe ‘minum-minum’, dsb yang dapat ditafsirkan dengan tidak sungguh-sungguh melakukan. Dari segi makna aspektualitas tafsiran di atas cenderung bermakna duratif sebab perbuatan yang bermakna atenuatif sebenarnya menggambarkan situasi yang berlangsung dalam waktu tertentu/terbatas.
Lungguh-lungguh ‘tidak dengan sungguh-sungguh duduk’
Turu-turu ‘tidak dengan sungguh-sungguh tidur’
Dolan-dolan ‘bermain-main tanpa tujuan yang jelas’
Verba reduplikatif bentuk dwipurwo (DP), berkombinasi dengan afiks (sufiks-an) (DP-an) berikut ini juga menyatakan ‘ketidaktentuan tujuan’ (atau jika mempunyai tujuan, perbuatan itu dilakukan dengan santai atau sekadar untuk mencari kepuasan saja), misalnya:
Teturon ‘ tiduran’ (dilakukan dengan santai untuk mencari kepuasan)
Tetembangan ‘bernyanyi-nyanyi’ (untuk mencari kepuasan)
Jejogetan ‘ menari-nari’ (untuk mencari kepuasan)
Ke dalam kelompok ini termasuk verba reduplikatif yang cenderung bernuansa arti kepura-puraan, misalnya:
Turu-turunan ‘tidur-tiduran’
Dodol-dodolan ‘ berpura-pura jualan’
Perang-perangan’ berpura-pura perang’
Berikut ini adalah contohnya:
(1). Ana saweneh karyawan sing ana ing kantor mung lunggah-lungguh wae.
Ada sebagian karyawan yang berada di kantor hanya duduk-duduk saja.

(2). Dheweke mrana-mrene mung dolan-dolan wae.
Dia ke sana ke mari hanya bermain-main saja.

(3). Saben esuk, aku turu-turu wae kok.
Setiap pagi, aku tidur-tidur aja.

(4). Sinambi teturon leyeh-leyeh ana ing lincak utawa amben, padha nglegakake ura-ura tembang dhandhanggula, sinom, megatruh, lan sapananggulangane.
Sambil tidur-tiduran (dengan santai) di balai-balai, mereka memuaskan (denga cara) menyenyikan tembang dhandhanggula, sinom, megatruh, dan sejenisnya.

(5). Si Arif tetembangan kidung lirik kanti swara sing ulem.
Si Arif menyanyikan (dengan santai untuk mencari kepuasan) kidung secara pelan dengan suara merdu.

(6). Dene Si begijil sabalane awan bengi jejogedan seneng-seneng.
Adapun Si begijil dan kawan-kawannya siang malam menari-nari bersenang-senang



3.4. Reduplikasi verba bermakna duratif-diminutif
Makna diminutif (ala kadarnya, agak) terdapat pada verba reduplikatif dengan D subkelas verba statif, seperti isin-isin ‘malu-malu’, mumet-mumet ‘pusing-pusing’, wedi-wedi ‘takut-takut’, gatel-gatel ‘gatal-gatal’ yang dapat ditafsirkan sedikit mengalami apa yang disebutkan oleh D atau sedikit D atau agak D. Tafsiran demikian lebih tepat diidentifikasi sebagai bermakna duratif dari pada makna aspektualitas lainnya, sehingga secara teknis dapat disebut “aspektualitas duratif-diminutif. Jadi verba reduplikasi berikut bermakna duratif-diminutif:
Isin-isin ‘sedikit/agak malu’
Mumet-mumet ‘ sedikit/agak pusing’
Wedi-wedi ‘sedikit/agak takut’.
Berikut adalah contoh-contohnya:
(1). Maimun ijeh isin-isin nek ngomong karo Dewi.
Maimun masih sedikt malu kalau berbicara dengan Dewi.

(2). Senajan mumet-mumet aku ya tetep teka.
Meskipun adikit/agak pusing saya tetap datang.

(3). Dewheke isih wedi-wedi ing babagan iku.
Dia masih agak takut dalam hal itu.

3.5. Reduplikasi Verba bermakna Iteratif Resiprokatif
Makna resiprokatif (“saling”, “resiprokal”) terdapat pada D subkelas verba pungtual, aktivitas, dan statis tipe antem-anteman ‘saling memukul’, jiwit-jiwitan ‘saling mencubit’, adhep-adhepan ‘berhadap-hadapan’, dsb yang dapat ditafsirkan dengan saling memberi/melakukan apa yang disebutkan oleh D.
Pada kata tipe antem-anteman ‘pukul memukul’, saling memukul;, misalnya, terkandung pengertian bahwa perbuatan yang dilakukan secara berbalasan (bentuk kesalingan) itu dilakukan beberapa kali atau bahkan berkali-kali, yang jelas tidak hanya sekali. Dari segi sematis aspektualitas, reduplikasi verba bermakna resiprokatif termasuk ke dalam makna iteratif. Dengan demikian, makna aspektualitasnya disebut aspektualitas iteratif resiprokatif, yakni makna aspektualitas iteratif bernuansa resiprokal. , seperti:
Antem-anteman ‘saling memberi pukulan’
Jiwit-jiwitan ‘saling mencubit’
Adhep-adhepan ‘saling berhadapan’
Berikut contoh kalimatnya:
(1). Mahasiswa Teknik lan Fisip UNM antem-anteman sakwuse lomba Badminton ing Jakarta.
Mahasiswa teknik dan fisip saling pukul-pukulan setelah lomba bulutangkis di Jakarta.

(1). Maimun lan Dewi padha jiwit-jiwitan ana ing kelas.
Maimun dan Dewi saling cebut-cubitan di kelas.

(2). Masyarakat Tim-tim pecah dadi 2 blok/golongan, pro integrasi adhep-adhepan karo pro-kamardhikan Tim-Tim.
Masyarakat Tim-Tim terpecah menjadi dua kelompok/golongan, pro integrasi berhadap-hadapan dengan pro-kemedekaan.


3.6. Reduplikatif Verba bermakna Habituatif.
Makna habituatif (“kebiasaan’, “kesukaan”) terdapat pada verba reduplikasi dengan D subkelas verba aktivitas tipe njaluk ‘meminta’ yang mengalami proses pengulangan atau DP menjadi jejaluk ‘meminta-minta’, proses pengulangan DP tipe seperti itu juga tampak pada bentuk verba sebagai berikut:
Nyolong ‘mencuri’  nyenyolong
Mbegal ‘menyamun’ mbebegal
Ngrampok ‘merampok’ ngrerampok
Njarah ‘menjarah’ nggegawa
Makna dari bentuk demikian dapat ditafsirkan dengan ‘biasa’, suka, seperti yang disebutkan oleh D. Dengan demikian, verba reduplikasi berikut bermakna:
Njejaluk ‘biasa/suka meminta-minta’
Nyenyolong ‘biasa/suka mencuri’
Mbebegal ‘biasa/suka menyamun’
Ngrerampok ‘biasa/suka merampok’
Termasuk ke dalam kelompok ini adalah verba reduplikatif dengan D subkelas verba statis seperti dibawah ini:
Nyenyimpen ‘biasa/suka menyimpan’
Nyenyilih ‘biasa/suka meminjam’
Contoh kalimat:
(1). Uwong kuwi kudu sregep, aja njejaluk.
Orang itu harus rajin, jangan meminta-minta.

(2). Kraman sing dimanggalani si Jaka ngrerampok..
Pembrontak yang dipimpin Si Jaka suka merampok.


3.7. Reduplikasi Verba Bermakna Ingresif
Makna aspektualitas ingresif terdapat pada verba reduplikatif dengan D subkelas punktual, statis, dan statis yang mengalami proses pengulangan DL. Verba reduplikatif ini menyatakan arti ‘begitu D’ atau baru saja D’. D subkelas verba pungtual:
tangi ‘bangun’  tangi-tangi ‘begitu/baru saja bangun’
teka ‘datang’  teka-teka ‘begitu/baru saja datang’
D subkelas verba statis seperti:
Krungu ‘mendengar’  krungu-krungu ‘begitu/baru saja mendengar’
Merem ‘terpejam’ merem-merem ‘begitu/baru saja terpejam’.
Bentuk reduplikasi tersebut dapat diparafrasa dengan lagi wae D ‘baru saja D’, atau D dhog ‘begitu D’ (khusus untuk teka ‘datang’). Bentuk perafrasa dengan makna perfektif dan urutan dua kejadian /peristiwa itu dapat diamati contoh berikut:
(1). Tangi-tangi terus nangis.
Begitu bangun terus menangis

(2). Lagi wae tangi terus nangis.
Baru saja bangun terus menangis.

(3). Teka-teka terus turu.
Datang-datang terus tidur.

(4). Teka dhog terus turu.
Begitu datang terus tidur.

3.8. Reduplikasi Verba Bermakna Kontinuatif-Intensif
Makna intensif (penekanan, kesungguhan, intensitas) terdapat pada verba reduplikatif dengan sub-kelas verba aktivitas bentuk DP, seperti memuji ‘memuja’, ndedongo ‘berdoa, nenepi ‘bertapa’ atau bentuk dwiwasana (DW), seperti ndremimil ‘berkata banyak/menasihati (dengan sungguh-sungguh)’. Kata ndedonga ‘maknanya dapat ditafsirkan ‘terus menerus berdoa secara sungguh-sungguh (dengan kesungguhan).
Situasi atau perbuatan yang berlangsung secara terus menerus dalam waktu relatif lama adalah situasi yang menggambarkan makna aspektualitas kontinuatif. Oleh karena itu, secara semantis aspektualitas, situasi demikian itu disebut ‘aspektualitas kontinuatif dengan nuansa intensif.
Di samping reduplikasi bentuk DP dan DW, bentul DL yang didahului dengan kata ingkar seperti ora teka-teka ‘tidak kunjung datang’, ora metu-metu ‘tidak kunjung keluar, dan durung bali-bali ‘belum juga kembali’ juga dapat menyatakan makna intensitas.
Ora teka-teka ‘tidak kunjung datang’
Ora metu-metu ‘tidak kunjung keluar’
Berikut adalah contoh Kalimatnya:
(1). Rewangana memuji supaya adhime enggal waras.
Bantulah berdoa agar adikmu cepat sembuh.

(2). Aja kendhat olehmu dhedonga supaya Kabul penyuwunmu.
Jangan (sekalisekali kamu) berhenti berdoa agar terkabul permohonanmu.

(3). Dheweke ngumbara banjur nenepi ing gunung-gunung lan guwo-guwo.
Ia mengembara lalu bertapa di gunung-gunung dan goa-goa.


(4). Dienteni kawet mau ora teka-teka.
Ditunggu dari tadi tidak kunjung datang.

(5). Diundang bola-bali ora metu-metu.
Dipanggil berkali-kali tidak kunjung keluar.


4. Simpulan

Secara garis besar, reduplikasi dapat diklasifikasikan menjadi dua macam bentuk, yakni reduplikasi utuh, dan reduplikasi sebagian. Reduplikasi utuh dalam bahasa Jawa disebut dengan reduplikasi dwilingga (DL), sedangkan reduplikasi sebagian disebut dwipurwa (DP) jika yang diulang suku kata depan atau dwiwasana (DW) jika yang diulang suku kata bagian belakang.
Pengungkapan makna aspektualitas BJ pada tataran morfologi melalui reduplikasi meliputi makana iteratif (berulang-ulang), kontinuatif (terus menerus), duratif atenuatif (berlangsung dalam durasi tertentu dengan nuasa ketidaktentuan), duratif diminutif (berlangsung dalam durasi tertentu dengan nuansa diminutif, iteratif resiprokatif (berulang-ulang dengan nuansa saling), habituatif (biasa, suka), ingresif (begitu, baru saja), dan kontinuatif intensif (terus-menerus berkesinambungan dengan nuansa intensif, sungguh-sungguh).
Daftar Pustaka

Alwi, Hasan. 1992. Modalitas Dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.

Basuki, Rokhmat.2000. Verba(l)-I dan verba(l)-ake Bahasa Jawa: Kajian Struktur dan Semantik”. Tesis Universitas Padjajaran.

Comrie, Bernard. 1981. Aspect: an Introduction to the Study of Verbal Aspect and Related Problems. Cambridge: Cambridge University Press.

Djayasudarma, T. Fatimah. 1985. Aspek, Kala Adverbial Temporal, dan Modus”. Dalam Bambang Kaswanti Purwo. (ed). Untaian Teori Sintaksis 1970-1980-an. Jakarta: Arcan.

Moeliono, Anton M. et al.1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Cet.1 Jakarta: Balai pustaka.
Poejosoedarmo, Gloria, Wedhawati, Laginem. 1981. Sistem Perulangan dalam Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sudaryanto dkk. 1992. Tata Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sumarlam. 2004. Aspektualitas Bahasa Jawa Kajian Morfologi dan Sintaksis. Surakarta: Pustaka Caraka.

Tadjuddin, Moh. 1993. Pengungkapan Makna Aspektualitas Bahasa Rusia dalam Bahasa Indonesia: Suatu Telaah Tentang Aspek dan Aksionalitas. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

-------------- 2005. Aspektualitas Dalam Kajian Linguistik. Bandung: PT. Alumnni.

Mantra: Kedudukan dan Fungsinya dalam Masyarakat

Ahdi Riyono, S.S., M.Hum
(Pemerhati Budaya Jawa)


Mantra merupakan salah satu jenis sastra lisan yang berkaitan dengan tradisi masyakat Jawa. Sebagai sastra lisan, mantra merupakan salah satu bentuk kebudayaan daerah yang diwariskan dari mulut ke mulut. Mantra sendiri digolongkan ke dalam jenis puisi karena bentuknya yang tetap dan bersajak. Mantra juga merupakan warisan yang turun temurun. Konon dalam masyarakat tradisional, sebuah mantra memiliki kekuatan gaib (daya magis). Dengan mantra ini, alam pikiran manusia berhubungan dengan hal-hal supernatural sehingga dengan membaca mantra itu, sesuatu yang tidak mungkin terjadi dapat menjadi kenyataan.
Mantra menurut Hasan Shadily dalam Ensiklopedia Indonesia Jilid 4 (1983) adalah rumusan kata-kata atau bunyi yang berkekuatan gaib, diucapkan berirama seperi senandung, digunakan sebagai doa bagi pengucap atau pendengar, yang wajid dihafal tepat kata-katanya untuk menghindari bencana jika terjadi kekeliruan dalam mengucapkannya. Pada umumnya, mantra diucapkan dengan menyeru atau menyebut Allah, nabi-nabi, aulia, arwah cikal bakal atau bunyi kata yang tidak bermakna, seperti hong wilaheng dan lain-lain. Fungsi mantra dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit mendatangkan kebaikan dan celaka, mengusir harimau, mengusir hantu dan sebagainya.
Perbedaan mantra dengan doa menurut Fischer (1980) adalah doa diucapkan dalam rangka kegiatan magis. Doa diucapkan dengan suara keras dan susunan kata-katanya berirama sehingga lebih mudah dihafal dan diingat. Di dalam mantra biasanya terkandung kata-kata yang dirasakan mempunyai daya magis. Kata mantra sering juga dihubungkan dengan japa dan japamantra. Mantra dilafalkan dengan pelan-pelan, bahkan hanya diucapkan dalam batin. Di dalam mantra juga terkandung pesan, sugesti, larangan yang menuju ke suatu titik mistik. Utamanya ke arah memayu hayuning bawana, agar tercipta keindahan dan harmoni manusia dengan sesama, alam semesta dan Tuhan.
macam-macam Mantra
Adapun pembagian jenis mantra ada yang membagi kedalam dua macam saja, yaitu hitam dan putih. Namun bagi masyarakat Jawa Timur khususnya orang using membagi menjadi empat, yaitu magi, (1) hitam (2) merah, (3) kuning, dan (4) putih (Kusnadi, 1993) (Saputra, 2001).
Mantra magi hitam, yaitu mantra yang dijiwai oleh nilai-nilai kejahatan dan digunakan untuk tujuan kejahatan. Magi hitam ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan korbannya meninggal dunia. Contoh magi hitam adalah bantal nyawa, bantal kancing, cekek, sebul dan setan kubur.
Mantra magi merah ialah mantra yang pemakaiannya tidak dilandasi hati nurani, tetapi didorong untuk memenuhi hawa nafsu dengan tujuan agar korban tersiksa batin dan fisiknya. tetapi tidak sampai berakibat fatal sebagaimana pada mantar hitam. Yang tergolong magi merah adalah jaran goyang, siti henar, semut gatel, bantal guling, gombal kobong, dan polong dara.
Mantra magi kuning ialah mantra yang penggunaannya didasari atas ketulusan hati dan maksud baik; biasanya hanya terbatas pada hubungan antar individu. Penggunaan mantra ini bukan hanya disenangi atau dicintai sesama manusia, tetapi juga termasuk binatang. Yang tergolong magi ini antara lain; sabuk mangir, si gandrung mangu-mangu, semar mesem, ambar sari, si kumbang jati, tes putih-tes abang.
Mantra magi putih ialah mantra yang dijiwai oleh nilai-nilai kebaikan dan digunakan untuk tujuan kebaikan. Mantra ini berfungsi untuk menetralisasi praktik mantra magi hitam dan merah., baik untuk penyembuhan, maupun penolak bala. Yang tergolong mantra magi ini adalah semua mantar yang digunakan untuk penyembuhan atau pengobatan dan pencegahan atau penolak bala.

Fungsi Mantra
Mantra sebagai salah satu bentuk folklor mempunyai empat fungsi, salah satunya adalah sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan. Dalam konteks ini, pranata dimaknai sebagai sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi beserta adat istiadat dan sistem norma yang mengaturnya., serta seluruh perlengkapannya. guna memenuhi berbagai kompleks kebutuhan manusia dalam kehidupan.
Setiap tradisi memiliki pranata sosial sendiri sesuai konteks dinamika budaya yang bersangkutan. Menurut Herusatoto (1985), setiap tradisi atau adat istiadat mempunyai empat tingkatan, yakni: (1) tingkat nilai budaya, (2) tingkat norma-norma, (3) tingkat hukum, (4) tingkat aturan khusus.
Tujuan pemanfaatan mantra merupakan bentuk kompensasi dari ketidakberdayaan orang memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan pranata formal. Oleh karena pranata formal tidak mampu menampung konflik-konflik dalam masyarakat, kompensasinya muncul pranata-pranata sosial tradisional yang mampu menyelesaikan konflik-konflik tersebut dengan karakternya masing-masing. (positif-negatif). Hal tersebut akhirnya membudaya dan bahkan diwariskan kepada generas penerus. Hal ini sesuai dengan pendekatan psikologitik yang dinyatakan oleh Sutardja (1996) bahwa secara naluriah suatu kelompok etnik telah memiliki mekanisme dalam menghadapi dan memecahkan problema-problema sosial budaya yang diwarisi dari nenek moyangnya. Implikasinya dari relevansi secara psikologis ini ialah bahwa manusia memerlukan pegangan batin untuk menghadapi masalah-masalah sosial budaya. Bila mekanisme pegangan batin semacam itu macet., semakin berat masalah yang akan dihadapinya.
Dengan demikian, penilaian bijak terhadap potensi mantra tidak seharusnya dilakukan secara normatif hitam-putih, melainkan harus diposisikan dalam moralitas budaya yang kontekstual.
Mantra Putih Bentuk Kidung
Kidung ialah nyanyian, lagu, atau syair yang dinyanyikan, disebut juga puisi (dalam tembang Jawa). Menurut Zoetmulder (1983:142), kidung adalah sejenis puisi jawa pertengahan yang mempergunakan metrum-metrum asli jawa. Misalnya Kidung rumeksa ing wengi, tembang Dandhanggula. Kidung mantra ini diciptakan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Karena kedekatannya dengan rakyat membuat Sunan Kalijaga sering dimintai pertolongan untuk mengobati orang sakit, dimintai doa-doa dan tolak bala. Kemudian Sunan Kalijaga memberi mereka doa (mantra) berupa Kidung Rumeksa Ing wengi.(Hariwijaya, 2007).
Inti laku pembacaan mantra ini adalah agar kita senantiasa mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga terhindar dari kutukan dan malapetaka yang lebih dahsyat. Dengan demikian, kita dituntut untuk senantiasa berbakti, beriman, dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Mengenai Fungsi kidung secara eksplisit tersurat dalam kalimat kidung itu, yang antara lain: penyembuhan segala macam penyakit, pembebas pageblug, mempercepat jodoh bagi perawan tua, penolak bala di malam hari, seperti teluh, santet, hama, dan pencuri, menang dalam perang, memperlancar cita-cita luhur dan mulia.
Kidung ini terdiri atas sembilan bait yang disertai laku dan fungsi pragmatisnya secara spesifik. Bagian pertama terdiri dari lima bait yang wajib diamalkan setiap malam. Bagian kedua, terdiri dari empat bait berupa petunjuk menyertai laku dan wajib dilaksanakan oleh setiap orang yang mengamalkannya. Berikut contoh kutupan sebagian mantra Kidung Rumeksa Ing Wengi;

Kidung Rumeksa Ing Wengi

Ana kidung rumeksa in wengi
Tuguh ayu luputa in lelara
Lututa billahi kabeh
Jim setan datan purun
Paneluh tan ana wani
Miwah panggawe ala
Gunaning wong luput
geni atemahan tirta
maling adoh tan ana ngarah mring mami
Guna duduk pan Sirna

Sakabehing lara pan samnya bali
Sakeh ngama pan sami miruda
welas asih pandulune
sakehing braja luput
kadi kapuk tibaning wesi
sakehing wisa tawa
Sato galak lulut
kayu aeng lemah sangar
songing landhak guwaning wong lemah miring
myang pokiponing merak

Kajian Budaya

Makna Simbolis Tembang Lir-ilir dan E-dayohe: Karya Sunan Kalijaga
Oleh Ahdi Riyono, S.S., M.Hum


Ilir-ilir

Ilir-ilir 2x tandure wis sumilir
tak ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar
cah angon2x penekna blimbing kuwi
lunyu-lunyu ya penekna kanggo masuh dodotira
dodotira2x kumitir bedhah ing pinggir
dondomana jrumatana kanggo seba mengko sore
mumpung padhang rembulane mumpung jembar kalangane
Suraka surak hore.
(Kanjeng Sunan Kalijaga)

Perlu diketahui bahwa Sunan Kalijaga (Endraswara, 2003) adalah seorang wali yang melegenda di masyarakat Jawa. Nama Sunan Kalijaga berasal dari kata susuhunan (orang terhormat), qadli (pelaksana, penjaga, pimpinan), dan zaka (membersihkan). Maka, sangat cocock bila tugas Sunan Kalijaga sebagai wali, tak lain menjadi pimpinan untuk menjaga kebersihan umat dari perbuatan batil. Bahkan, ada yang berusaha othak-atik mathuk, kalijaga berasal dari kali (sungai) dan jaga (menjaga), artinya menjaga aliran sungai, yaitu perjalanan atau syiar agama Islam. Dalam tugas dakwah yang berat tersebut, Sunan Kalijaga ternyata mampu menggunakan teknik dakwah secara estetik-sufistik.
Salah satu teknik beliau, menggunakan tembang-tembang. Sebagai contoh, Sunan Kalijaga mengarang tembang menggubah tembang macapat metrum Dhandhanggula. Macapat dapat diartikan cara membaca (melagukan) empat-empat, yaitu perhentian nafas pada empat suku kata-empat suku kata. Macapat bisa juga berasal dari kata “macapat: = man + ca + pat = iman + panca + patokan. Dakwah Islam yang pertama harus memperhatikan Rukun Iman dan Rukun islam (panca) sebagai patokan . Dhandanggula berasal dari dhandhang dan gula yang berati pengharapan akan yang manis. Dakwah Islam yang dibawakan secara enak dan menyenangkan akan membawa harapan untuk menuju kebahagiaan, karena yakin dan percaya akan kebijaksanaan, kemurahan, keagungan, kekayaan, dan keadilan, maha mengetahui kebaikan yang meliputi dari Allah Tuhan Yang Maha Esa.
Salah satunya adalah tembang ilir-ilir. tembang ini merupakan bahan dakwah para wali pada awal perkembangan Islam. Para Wali menggunakan lagu ini sebagai simbol asosiasi penyebaran agama Islam. Melaui tembang ini, ternyata orang jawa lebih simpatis memasuku agama baru, yaitu agama Islam. alunan tembang ynag ritmis dan menarik disertai makna religiusitas, justru mampu mengetuk hati orang jawa, mulai dari rakyat jelata (Wong Cilik) sampai para penguasa kerajaan (Wong Gedhe). Adapun sayir tembang lir-ilir yang saya kutip di atas, memberikan rasa optimis kepada seseorang yang sedang melakukan amal kebaikan amatl itu berguna untuk bekal di hari akhirat. Kesempatan hidup di dunia itu harus dimanfaatkan untuk berbuat kebajikan, jangan membunuh nanti akan ganti dibunuh karena semua ada balasannya.
Menurut Para ahli tafsir (Hariwijaya, 2007) tembang ilir-ilir adalah sebagai sarana penyiaran agama Islam secara damai, tanpa paksaan dan kekerasan. Toleransi di dalam menyiarkan agama Islam sangat jelas hingga terjadi asimilasi dan adaptasi antara ajaran Islam dengan ajaran lainnya, sehingga terjadi apa yang disebut culture contact. Adapun makna tembang ini adalah sebagai berikut;
Ilir-ilir, ilir-ilir tandure wis sumilir. Makin subur dan tersiarlah agama Islam yang didakwahkan oleh para wali dan mubaligh Islam. Tak ijo royo-royo taksengguh penganten anyar. Hijau adalah warna dan lambang agama Islam, bagaikan penganten baru. Maksdunya, agama Islam bagitu menarik dan kemunculannya yang baru diibaratkan dengan penganten baru. Warna Hijau sendiri pada waktu itu, juga bendera Kekhilafahan Ustmanih (Turki Otoman) sebagai empirium Islam pada masa itu.
Cah angon-cah angon penekna blimbing kuwi, Cah angon atau penggembala, dibaratkan dengan penguasa yang menggembalakan rakyat. Para penguasa itu disarankan (dianjurkan) untuk segera masuk ke dalam agama Islam, disimbolkan dengan buah belimbing yang mempunyai bentuk segi-lima sebagai lambang rukun Islam. Lunyu-lunyu penekna kanggo masuh dodotira, Walaupun licin, susah, tetapi usahakanlah sekuat tenaga agar dapat masuk Islam demi mensucikan dodot. Dodot adalah jenis pakaian yang sering dipakai sebagai lambang agama atau kepercayaan.
Dodotira, dodotira, kumitir bedhah ing pinggir, pakaianmu, agamamu sudah rusak, karena dicampur dengan kepercayaan animisme. Domdomana jrumatana kanggo seba mengko sore. Agama yang sudah rusak itu jahitlah, perbaikilah sebagai bekal menghadap Tuhan. Mumpung jembar kalangane mumpung padhang rembulane. Mumpung masih hidup masih ada kesempatan untuk bertobat. Suraka Surak hore, bergembiralah, semoga kalian mendapatkan anugerah Tuhan.
Sunan Kalijaga ketika bulan Ramandhan tiba, agar masyarakat menyambut dengan kegembiraan, maka beliau menciptakan sebuah tembang pennyambutan. Berbeda dengan gaya orang sekarang menyambut Bulan Ramandhan dengan untaian kata, Marhaban ya Ramandhan. Tembang ciptaan beliau berupa tembang dolanan (permainan) yang sering dilagukan anak-anak, yaitu E, Dhayohe Teka (E Tamunya Datang) (Endraswara, 2006). Adapun syair lagunya sebagai berikut;

E dhayohe teka e gelarna klasa,
E klasane bedhah,
E tambalen jadah,
E jadahe mambu e pakakna asu,
E asune mati e buwangen kali,
E kaline banjir e buwangen pinggir,
E pinggire lunyu e yo goleka sangu.

Tembang tersebut memberikan gambaran terhadapt umat Islam bahwa dhayah identik dengan tamu (bulan Ramandhan). Lagu tersebut memberikan gambaran umat islam diharapakn menyambut bulan suci yang penuh berkah ini dengan beberapa cara, yaitu harus siap nggelar klasa (memasang tikar) yang suci, hati suci. Saat ini mulailah membersihkan hati/ menjernihkan pikiran, perasaan, dan keinginan. Agar jangan sampai hati kita bedhah (robek) seperti tikar. Kendatipun hati terpaksa robek, harus diusahakan menambal dengan jadah. Maksudnya, jadah adalah makanan berasal dari ketan, karena jangan sampai di bulan Ramandhan ini raket (dekat) dengan setan, dekatlah dengan Allah, dengan jalan mujahadah dan mukhasabah.
Dhayoh dalam padangan sufisme Jawa, juga bermakna banyi lahir. Bayi itu bersih, suci, belum ternoda. Karena itu, penyambutan bulan Ramandhan juga diharapkan seperti halnay orang sedang mendapatkan anugerah, kelahiran anak, gembira penuh harapan. Untuk itu mereka laksanakan padusan, agar suci bersih. Perasaan sedang ridla, ikhlas, selalu menyertai di dalam hati.
Demikian, gambaran sekelumit cara Kanjeng Sunan Kalijaga mendakwahkan agama Islam dengan estetika yang membuat masyarakat pada waktu berduyun-duyun memeluk agama Islam dengan senang hati, dan tanpa paksaan sedikitpun. Semoga tulisan ini dapat memberikan kita inspirasi agar kita dalam melakukan apapun harus disesuikan dengan situasi dan kondisi kejiwaan masyarakat agar tujuan kita dapat tercapai dengan baik. Wassalam.