Wednesday, July 15, 2009

Bahasa

VARIASI FONOLOGIS DAN MORFOLOGIS BAHASA JAWA
DI KABUPATEN PATI


Ahdi Riyono

ABSTRCT


The coastal dialect of Javanese, especially, in the eastern part of northern coastal of Central Java, is interesting to study since there are some dialectal variations, particularly in the phonological levels. Pati Regency is a region which lies on the eastern part of northern coastal of Central Java has specially characteristics in the Javanese spoken by the Pati community. phonological variations include [i] and [I], [I] and [], [u] and [], [a] and [], [r] sounds, and nasal [ŋ]. In addition, there are morphological variations in the use of certain words in Pati. The differences shows that there variations in the Javanese language.

Key words: Phonological variations- Javanese-social variables.


A. Pengantar

Dalam kehidupan sehari-harinya, masyarakat di Kabupaten Pati masih mempergunakan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi bersama-sama dengan bahasa Indonesia. Bahasa Jawa di Kabupaten Pati, untuk selanjutnya disingkat dengan BJKP, di samping digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari, dipakai pula untuk mendukung kebudayaan penuturnya.
Pada kenyataannya, Kabupaten Pati adalah daerah yang jauh dari pusat kebudayaan Jawa Solo dan Yogyakarta, terletak di Pantai Utara bagian Timur, sehingga dengan sendirinya, masyarakat Pati memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri baik dalam budaya maupun dalam berbahasa berbeda dari pusat kebudayaan, Solo dan Yogyakarta. Mengingat letak dan keadaan antara daerah di pusat kota dan pedesaan, hal itu memungkinkan terjadi variasi kebahasaan. Secara sosiologis, daerah di pusat kota lebih terbuka menerima pengaruh pusat budaya dibandingkan daerah pedesaan. Hal ini terlihat dari banyaknya fenomena kebahasaan di daerah pusat kota yang menunjukkan kesamaan dengan bahasa Jawa baku dan interferensi bahasa Indonesia. Dalam penelitian ini ditetapkan tujuan sebagai berikut; (1) bagaimanakah variasi fonologis pemakaian bahasa Jawa di Kabupaten Pati? ; (2) bagaiamanakah variasi morfologis pemakaian bahasa Jawa di Kabupaten Pati?.
B. Landasan Teori

Trudgill (1974) mengemukakan bahwa perbedaan internal suatu masyarakart tercermin dalam bahasanya. Trudgill dalam penelitiannya mengkaji kemungkinan adanya korelasi langsung antara kelas sosial penutur dengan penggunaan variabel /-s/ dalam bahasa Inggris Norwegia sebagai penanda verba simple present tense untuk orang ketiga tunggal. Penelitian tersebut berkaitan dengan penelitian Wardaugh (1986:22) yang mengkaitkan variasi bahasa dengan seperangkat kaidah linguistik atau pola-pola tutur manusia di samping kajian yang dikaitkan pula dengan faktor luar bahasa.
Kajian variasi bahasa yang paling awal dilakukan oleh Fischer (1958) mengenai variabel [ŋ] dan [n] dalam bahasa Inggris Norwegia. Variabel [ŋ] digunakan oleh kelompok sosial tingkat atas dalam kata singing, dan variabel [n] digunakan oleh kelompok sosial tingkat bawah pada kata singin. Kajian tersebut menunjukkan bahwa kelompok sosial tingkat atas mengucapkan singing, shooting, dan fishing, sedangkan kelompok sosial tingkat bawah mengucapkan singin, shootin, dan fishin. Labov membuktikan realitas tersebut dengan penelitian di New York mengenai variabel /r/ pada kata-kata semacam car dan guard yang dinilai tinggi. Ucapan dengan /r/ disosialisasikan dengan kelas menengah atas meskipun anggota-anggota kelas tersebut tidak selalu menggunakannya pada setiap kesempatan (Labov, 1994: 343; Wardaugh, 1986: 157-163).
Holmes (1992:186) mengemukakan bahwa faktor sosial yang berpengaruh terhadap wujud pemakaian bahasa adalah usia penutur. Penelitian dialek sosial telah memberikan banyak informasi tentang pola ucapan dan tata bahasa yang digunakan oleh kelompok umur yang berbeda-beda. Kebanyakan peneliti dialek sosial telah menemukan bahwa anak-anak remaja memakai bentuk-bentuk vernacular dengan frekuensi yang tertinggi terutama jika bentuk-bentuk tersebut dianggap sebagai bentuk tidak baku. Bentuk-bentuk itu merupakan pemarkah solidaritas.
Para anggota gang kota New York, sebagai contoh, sering melesapkan bentuk –ed yang menandai kala lampau pada akhir kata daripada orang dewasa yang berasal dari kelompok sosial yang sama. Mereka sering memakai miss daripada missed (dalam ujaran seperti he miss the bus yesterday) dan pass pada passed (dalam ujaran it pass me). Mereka juga lebih banyak menggunakan negasi rangkap daripada orang dewasa yang berasal dari kelas sosial yang sama (Holmes, 2001: 169-170).
Contoh lain yang memperlihatkan korelasi antara umur penutur dengan pemakaian bahasa adalah penelitian Labov mengenai perubahan bunyi bahasa. Di dalam penelitiannya mengenai motivasi sosial perubahan bunyi bahasa di Martha’s Vineyard, yaitu sentralisasi bunyi pertama dalam diftong /ay/ dan /aw/, Labov (1977: 21-22, 36) mengemukakan bahwa sentralisasi tersebut tampak menunjukkan peningkatan yang teratur sesuai dengan tingkat umur yang mencapai puncaknya pada kelompok umur 31 sampai 45 tahun. Lebih lanjut dikemukakannya bahwa peningkatan tersebut merupakan tanggapan kelompok umur itu terhadap tantangan akan status asli mereka sebagai “Vineyarder”. Makna langsung ciri fonetis yang dimaksudkan adalah bahwa ciri tersebut menandai bahwa penuturnya adalah penduduk Martha’s Vineyard (Sunarso, 1997:84). Kajian tentang dialek sosial tersebut di atas berhubungan dengan bidang dialektologi.
Perubahan bahasa dapat disebabkan oleh faktor intralingusitik, yaitu faktor bahasa itu sendiri, dan dapat pula disebabkan oleh faktor ekstralinguistik, seperti faktor geografis, budaya, aktivitas ekonomi, politik, mobilitas sosial, kelas sosial, sifat masyarakat pendukungnya, persaingan prestise, migrasi, dan kontak bahasa. Sebagaimana dinyatakan Wijana (1996:7) masyarakat selalu bersifat heterogen dan bahasa yang digunakan selalu menunjukkan berbagai variasi internal sebagai akibat keberagaman latar belakang sosial budaya penuturnya (Wardhaugh, 1986; Kaswanti Purwo, 1990: 16).
Tingkat tutur merupakan contoh yang sangat jelas dari hubungan antara bahasa dan pemakaian bahasa dengan faktor-faktor sosial dan situasional. Lewat tingkat tutur inilah penutur menyatakan rasa kesopanannya terhadap lawan tutur. Tingkat tutur dalam bahasa Jawa merupakan sebuah sistem untuk menunjukkan 1) derajat formalitas, dan 2) derajat hormat yang dirasakan oleh penutur (O1) dan mitra tutur (O2). Menurut Poedjosoedarmo dkk (1979: 8-9) tingkat tutur adalah suatu sistem kode penyampaian rasa kesopanan yang di dalamnya terdapat unsur kosa kata tertentu, aturan sintaksis tertentu, aturan morfologis tertentu dan aturan fonologis tertentu, sedangkan Sudaryanto (1994: 98) menyebutnya dengan istilah ungguh-ungguhing basa.
C. Cara Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif. Selanjutnya, Pengambilan data dilakukan dengan metode simak yaitu, menyimak penggunaan bahasa dengan menggunakan instrumen daftar tanyaan. Penyimakan dilakukan dengan merekam semua jawaban dan keterangan dari responden. Kemudian setelah itu, dilakukan pencatatan dengan penulisan fonetis terhadap jawaban atau semua keterangan responden. Selanjutnya, dilakukan analisis dengan metode padan dengan teknik pilah unsur penentu, dan metode refleksif-instropeksi. Adapun hasil analisis disajikan dengan metode formal dan informal. Data dijaring di tiga desa di wilayah tiga kecamatan yang mewakili daerah masing-masing wilayah pusat kota, pegunungan, dan pantai.

D. Deskripsi Variasi Pemakaian Bahasa Jawa di Kabupaten Pati

D.1 Variasi Fonologis BJKP
Variasi fonologis adalah variasi pemakaian bunyi yang bersifat fonetis dan tidak membedakan makna. Variasi tersebut terbentuk karena penutur berasal dari kelompok sosial yang berbeda dan faktor keadaan alam, yaitu letak wilayah tempat tinggal penutur.
Variasi fonologis dalam pemakaian BJKP juga dipengaruhi oleh beberapa faktor tersebut. Berikut ini akan diketengahkan variasi fonologis yang terjadi pada Titik Pengamatan (TP) 1, 2 dan 3. Variasi fonologis ini terjadi pada variasi fonem vokal dan konsonan.

4.2.1 Variasi Fonem Vokal
(1) Variasi yang terjadi di daerah perkotaan dan Pedesaan
a. Variasi [i] dan [I]
Variasi bunyi [i] dan [I] yang terjadi di daerah perkotaan (TP-1) dapat ditunjukkan melalui data berikut ini;
(1) [prih] ~ [prIh] ’pedih’ (364).
(2) [putih] ~ [putIh] ‘putih’ (206)

b. Variasi [I] dan []
(1) [putIh] ~ [puth] ‘putih’ (206).
(2) [gajIh] ~ [gajh] ’lemak’ (38).
(3) [gtIh] ~ [gth]’ darah’ (11).
(4) [winIh] ~ [winh] ‘benih’ (255).
(5) [malIh] ~ [malh] ‘berubah’ (294).
(6) [ŋalIh]~ [ŋlh] ‘ berubah’ (294).

(2) Variasi yang terjadi di daerah perkotaan dan pedesaan
a. Variasi [U] dan []
Variasi bunyi [U] dan [] hanya terdapat dalam satu kata, yaitu :
(1) [ŋuyUh] ~ [ŋuyh] ‘kencing (305).
4.2.2 Variasi Fonem Konsonan
(1) Variasi Bunyi [r]
Pemakaian variasi bunyi [r] dalam BJKP tidak menimbulkan perubahan bentuk dan makna pada kata. pemakaian tersebut hanya menunjukkan tingkat penguasaaan penutur terhadap bentuk kata yang sesuai dengan BJB. Variasi bunyi [r] ditemukan pada semua TP, namun hanya pada satu data, yaitu penambahan bunyi [r] diantara konsonan dan vokal pada suku tertutup.
(1) [sandal]~[srandal] ‘alas kaki’ TP 1,2,3.
(2) Variasi Bunyi [Nasal]
Variasi bunyi nasal yang diketemukan dalam data pemakaian BJKP adalah penambahan bunyi nasal [ŋ] dan penggantian bunyi [m] dengan bunyi [ŋ]. Untuk penambahan bunyi [ŋ] terdapat TP-1 dan TP-2, sedangkan untuk yang mengganti bunyi [m] menjadi bunyi [ŋ] terdapat pada TP-1,2,3. Berikut ini contoh dari data:
(1) [ŋambu] ~ [ŋambUŋ] ‘mencium (bau)’ (333) TP-1,2,3.
(2) [sumsum] ~ [suŋsum] ‘isi tulang’ (21). TP-1,2.



4.2 Variasi Morfologis BJKP
4.2.1 Kekhasan Afiksasi
Gejala kekhasan afiksasi dalam BJKP terjadi karena ada proses pembubuhan afiks pada bentuk dasar atau disebut proses afiksasi. Kekhasan afiksasi BJKP terlihat pada penambahan akhiran {-an}, dan munculnya beberapa variasi beberapa tipe kata, yaitu mbayung rembayung ~ lembayung, gondok ~ gondong ~ gondongen, krungu ~ ndungu, dugi ~ dumugi, uwang ~wang, tipe segelas ~ sakgelas, secangkir ~ sakcangkir.

4.2.1.1 Variasi Pemakaian Akhiran {-an}
Kekhasan pada sistem morfologi dalam BJKP terlihat pada adanya penambahan akhiran {-an}. Akhiran {-an} salah satu sufiks yang merupakan unsur afiksasi dalam BJKP. Variasi pemakaian akhiran {-an} adalah variasi penambahan sufiks {-an} dan {} pada bentuk nomina yang tidak mengubah kelas kata dan makna kata. Berikut beberapa contoh pemakaian variasi akhiran {-an} dalam BJKB diuraikan pada data sebagai berikut:
(1) jempol ~ jempolan ‘ibu jari’ (20) TP 1, 2, 3.
(2) tlapuk ~ tlapukan ‘pelupuk mata’ (52) TP 1, 2, 3.
(3) jentik ~ jentikan ‘kelingking’ (28) TP 1,2,3.
(4) tegal ~ tegalan ‘ladang’ (189) TP 1,2,3.
(5) pereng ~ perengan’ lereng’ (193) TP 2,3
(6) lirang ~ lirangan ‘sisir pisang’ (277) TP 2,3.
(7) jeding ~ jedingan ‘penampung air hujan’ (127) TP 3
(8) lereng ~ lerengan ‘lereng’ (193) TP 2, 3.
(9) galeng ~ galengan ‘ladang’ (205) TP 1,2,3.
(10) emper ~ emperan ‘teras’ (130) TP 2.
(11) gelung ~ gelungan ‘sanggul’ (226) TP 1,2,3.
(12) darat ~ daratan ‘darat (153) TP1, 3.

4.2.1.1 Variasi Pemakaian mbayung ~rembayung ~ lembayung dan gondok~ gondong ~gondongen.

Variasi bentuk ini memilik struktur le-/re- + -em- + bayung dan gondong + -en. Dalam BJB kata itu disebut mbayung. Kemudian oleh penutur di Kabupaten Pati dikatakan menjadi dua variasi, yaitu rembayung dan lembayung. Hampir responden di ketiga TP tidak ada yang menyebutnya dengan mbayung yang sesuai dengan BJB. Hal ini dimungkinkan terjadi karena daerah Pantura Jawa Tengah merupakan jalur pedagangan dari berbagai daerah, sehingga kemungkinan bercampurnya bahasa satu dengan yang lain sangat dimungkinkan sehingga terjadi inovasi. Dalam hal ini terpengaruh dengan BI karena awalan {le-} dalam BI tidak ada. Kata lembayung sendiri merupakan bentuk dasar dalam BI. Sedangkan penyebutan rembayung, yaitu dengan awalan {re-}merupakan karena salam konsonan dari tempat artikulasi yang sama, yaitu sama-sama konsonan apiko-alveolar yang masing-masing lateral dan frikatif.
Penggunaan kata rembayung atau lembayung dianggap lebih terkesan halus, tanpa memandang kata yang baku dari BJB, yaitu mbayung.
Beberapa jenis variasi kata seperti di atas diuraikan sebagai berikut:
(1) mbayung ~lembayung ~ rembayung’ daun kacang panjang’ (264).
(2) gondok ~gondong ~gondongen ‘gondok’ (361)

4.2.1.2 Variasi Pemakaian krungu~ ndungu dan dugi ~dumugi.

Variasi tipe ini memiliki struktur zero {} untuk kata krungu dan dugi, sedangkan struktur kata untuk ndungu adalah N- + krungu> ndungu. Untuk struktur kata dumugi adalah dugi + um > dumugi.

4.2.1.3 Variasi Pemakaian wang ~uwang


4.2.1.4 Variasi Pemakaian sakgelas ~ segelas dan sakcangkir ~secangkir

Variasi tipe ini memiliki struktur sa- + bentuk dasar. Prefiks {sa-} memiliki dua alomorf, yaitu {sak-} dan {se}. Dalam BJB prefiks itu dipakai untuk menyatakan makna ukuran yang bermakna ‘satu’. Berikut adalah contoh dari data penelitian sebagai berikut;
(1) sakgelas ~ segelas (434)
(2) sakcangkir ~ secangkir (435)
(3) sakkotak ~ sekotak (375)




E. Simpulan

Berdasarkan pembahasan sebagaimana telah diuraikan dapat disimpulkan bahwa pemakaian Bahasa jawa di Kabupaten pati memiliki perbedaan dengan BJB. Perbedaan itu meliputi tingkat fonologi, dan morfologi. Namun demikian, perbedaan tersebut tidak sampai menyebabkan antar penutur tidak saling memahami. Jadi perbedaannya hanya sampai taraf dialek saja.
DAFTAR PUSTAKA

Fisher, John L. 1958. “ Social Influences on the Choice of a Linguistic Variant”. dalam World 14, halaman 47-47.


Holmes, janet. 2001. An Introduction to sociolinguistics. Second edition. London: Longman.

Purwo, Bambang Kaswanti. 1992. PELLBA 5: Bahasa Budaya. Jakarta: Lembaga Bahasa UNIKA ATMAJAYA.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

-----------------. 1994. Pemanfaatan Potensi Bahasa. Yogyakarta: Gajah Mada

Sunarso. 1994. “Pemakaian Tingkat Tutur Bahasa Jawa Dialek Banyumas di Daerah Banyumas”. Tesis S2 Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

-------------.1997. “Variabel Kelas Sosial, Umur, dan Jenis Kelamin Penutur dalam penelitian Sosiolinguistik”. Dalam Jurnal Humaniora IV/1997. Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.

Poedjosoedarmo, Soepomo. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

------------------------------.1979. “Kode Tutur Masayarakat Jawa”. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan UGM.


Trudgill. Peter. 1983. Sociolinguistics: An Introduction to Language and Society.London: Penguin Books.

-----------------. 1983. On Dialect: Social and Geographical Perspectives. USA: Basil Blackwell.

Wardaugh, Ronald. 1988. An Introduction to Sociolinguistics.Oxford: Basil Blackwell
Wijana, I Putu Dewa. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset.

Budaya

Salah Tafsir Konsep Budaya Jawa dalam Politik
Ahdi Riyono

Gegap gembita mengawali pencalonan capres dan cawapres 2009, manuver-manuver politik parpol pengusung calon masing-masing capres dan cawapres mulai memanas. Bahkan ada beberapa internal parpol yang pecah menjadi beberapa kubu. Ini terjadi, karena politik kita memang masih diwarnai politik balas jasa dan dagang sapi. Sehingga, komitmen ideologi seolah hanya menjadi topeng parpol tatkala mereka berkampanye untuk menjual partainya. Namun, ketika pemilu telah usai dan perolehan suara masing-masing parpol sudah diketahui, mereka mulai melakukan lobi-lobi politik untuk mendapatkan bagian kue kekuasaan. Bak semut yang selalu mengkrumuni gula, Partai Demokrat didekati partai-partai gurem untuk mendapatkan jatah kue kekuasaan. Pilpres 2009 ini juga diwarnai pertarungan etnis, Jawa dan non-Jawa, sipil dan milter. Isu tersebut dijadikan alat untuk menjual masing-masing calon untuk mendapatkan mandat rakyat lima tahun kedepan. Dari isu etnis, Etnis Jawa tetap mendominasi pilpres, karena semuanya berdarah Jawa, kecuali JK. Dia berasal dari Makassar yang merupakan representasi dari luar Jawa dan Indonesia. Memang, Politik Indonesia selama ini tidak bisa dilepaskan dari politik dan budaya Jawa. Selama Orde Baru, Budaya kekuasaan Jawa dipakai untuk melanggengkan kekuasaan dan mempertahankan status quo, Budaya adiluhung itu, dengan sengaja ditafsirkan salah (displacing the meaning).
Pemakaian ungkapan-ungkapan Jawa yang salah inilah, kemudian menimbulkan kontroversi masih layakkah budaya Jawa dipertahankan dalam politik modern sekarang ini. Tentu, pernyataan ini menyebabkan pro dan kontra di masyarakat kita. Namun demikian, kita harus arif dalam melihat permasalahan ini. Apakah budaya Jawanya yang salah ataukah pemakainya yang salah?. Benar, jika budaya Jawa yang kratonik, ditafsirkan salah semau gue, tentu yang terjadi negara korup. Orang Jawa selalu bersikap inggih-inggih nun sendika dhawuh, yang bersifat semu bukan keikhlasan. Celakanya lagi, kemudian budaya upeti palsu, sulit terelakkan. Selama ini di kancah kepemimpinan Jawa terjadi perintah halus, manis dan akhirnya berubah menjadi otoriter. Akibatnya, atasan dan bawahan mengembungkan budaya “TST” (tahu sama tahu) untuk korupsi yang ujung-ujungnya untuk mempertahankan status Quo. Kalau begitu, mungkin saja negara ini kelak akan terbolak-balik-ada sekolah tinggi koruptor, yang dosen-dosennya dan rektornya ahli korup. Ini jelas sangat keterlaluan. Padahal pemimpin dalam filsafat Jawa harus benar dan dilandasi sabda pandhita ratu berbudi bawaleksana. Konsep bawaleksana ini, tampaknya sudah tak dihiraukan lagi, lalu muncul budaya korup. Bahkan, tak sekedar korup, juga nepotisme dan kolusi.
Konsep budaya Jawa mikul dhuwur mendhem jero, juga telah dibelokkan menjadi budaya saling menutupi kesalahan orang lain dan kroninya. Yang unik lagi, manalaka budaya semacam ini akan terbongkar, akhirnya sering muncul budaya golek slamete dhewe. Tampaknya, budaya simbiosis busuk ini sudah semakin parah. Budaya Jawa belantik (dagang sapi) yang sebenarnay ke arah harmonisasi (tawar menawar) agar menuju kesepakatan-telah disalahartikan lagi, menjadi jual beli kekuasaan, arisan loyalitas, dagang perkara, jual keadilan, tengkulak demokrasi dan seterusnya. Begitu juga budaya ewuh pakewuh yang sebenarnya adiluhung, dijadikan kambing hitam untuk menutupi teman seperjuangan. Ewuh Pakewuh adalah sendi budaya Jawa yng bai, berarti seharusnya atasan dan bawahan ewuh pakewuh berbuat “KKN”, tapi justru di era reformasi ini telah berubah total. Ewuh pakewuh menjadi budaya saling menutupi borok, tak mau mengadili kroni seadil-adilnya, dan akhirnya yang nampak asu gedhe menang kerahe.
Lalu, mana budaya Jawa yang masih bersih penerapannya di era reformasi ini? Tak ada ? kira-kira begitu. Bayangkan kalau filsafat Jawa yang disebut madya (tengah) saja kini diobrak-abrik. Budaya Jawa mengenal hidup itu madya, seperti terungkap pada prinsip ngono yo ngono neng aja ngono telah dibelokkan artinya. Maksudnya, budaya ini menghendaki agar dalam pemerintahan seseorang tak terlalu berlebihan, tak memperkaya diri, tak menutupi kesalahan orang lain, tapi bisa berbuat adil. Yakni adil yang harmoni, tidak memihak.
Akhirnya, saya usulkan melakukan restrukturisasi atau dekonstruksi budaya Jawa. Jadi tidak sekedar counter culture, tetapi harus neo-counter culture. Jika dulu R. Ng. Ranggawarsita dalam serat Kalatidha membuka aib pemerintah di zamannya amenagi zaman edan kini perlu didekosntruksi menjadi amerangi zaman edan. Tinggal berani atau tidak pemerintahan yang ada sekarang ini. Atau malah justru era sekarang akan mencetat neo-zaman edan yang super gila lagi?
Pemerintah seharusnya bersikap tanuhita (mengayomi) dan danahita (memberi ke bawah)-bukan sebaliknya mengeruk dana rakyat dengan berbagai dalih. Budaya mengeruk ini, adalah tradisi kolonialisme dulu, bukan budaya Jawa itu. Maka, budaya Jawa perlu ditelaah menggunakan perspektif postkolonialisme, bukan dari aspek moderismenya.