Refleksi Ideologis Arah Kebijakan Pendidikan di Indonesia
Ahdi Riyono
(Pengamat Kebijakan Pendidikan Universitas Muria Kudus)
Karut marut dalam
semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara tak terkecuali aspek kebijakan
pendidikan saat ini berimplikasi pada daya saing bangsa, harkat nasional (national dignity), serta martabat
nasional (pride national) yang sangat
rendah dalam kaca mata bangsa lain. Kasus yang saat ini masih hangat adalah
betapa mudahnya Pemerintah Indonesia diintervensi asing dalam kasus Corby (ratu
narkoba), misalnya, seorang warganegara Australia yang telah dibebaskan
bersyarat dari penjara Krobokan di Denpasar Bali. Walaupun pemerintah beralasan
bahwa pembebasan Corby secara normatif sudah memenuhi syarat, namun publik masih
bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi sampai-sampai pemerintah mengambil
kebijakan yang tidak populis bahkan bertentangan dengan program pemerintah
sendiri, yaitu pemberantasan narkoba dari bumi Indonesia.
Tindakan yang
kontra produktif tersebut tentu
menunjukkan bahwa bangsa ini tidak lagi memiliki national dignity dan pride. Begitu juga dalam kasus konflik
pemberian nama kapal perang RI (KRI) Usman-Harun dengan Pemerintah Singapura
yang menganggapnya sebagai teroris dalam konfrontasi dengan Malaysia pada Era
Bung Karno. Bagi Indonesia, Usman-Harun adalah pahlawan yang namanya layak
diabadikan sebagai nama Kapal Perang
Republik Indonesia (KRI). Dan masih banyak kasus lain yang mencoreng nama baik
bangsa di dunia internasional. Termasuk kasus yang terkait dengan
pendidikan adalah hasil skor capaian di
ajang Program for International Student Assessment (PISA) 2012 yang hanya menduduki
pringkat ke-64 dari 65 negara yang ikut serta dalam ajang tersebut.
Dari skor tiga
aspek yang diujikan kemampuan membaca, matematika dan sains tidak ada
pengingkatan pada setiap ajang bahkan mengalami kemunduran di ajang PISA yang
terakhir tahun 2012 lalu. Sampai ada
sebuah gurauan dari bangsa lain yang menjuluki bangsa kita sebagai stupid nation (bangsa bodoh).
Kondisi
kualitas sumber daya manusia (SDM) seperti di atas menyebabkan tingkat daya
saing bangsa Indonesia dalam tataran dunia tergolong rendah. Suhendar (2012)
menyampaikan bahwa dalam The Global Competitiveness Report 2011-2012 (laporan
tahunan daya saing global tahun 2011-2012) yang dibuat oleh World Economic
Forum (WEF) menempatkan Indonesia pada posisi ke 46 dari 142 negara di
dunia. Pada kawasan ASEAN posisi daya saing Indonesia berada posisi keempat di
bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Daya
saing merupakan cerminan dari produktivitas kulitas sumber daya manusia yang
dimiliki suatu bangsa. Lebih lanjut Suhendar (2012) menyampaikan, daya saing
didefinisikan sebagai kondisi institusi, kebijakan, dan faktor-faktor yang
menentukan tingkat produktivitas ekonomi suatu negara. Kualitas sumber daya
manusia yang tinggi akan melahirkan produktivitas yang tinggi, dan akhirnya
mencerminkan daya saing bangsa yang tinggi. Daya saing yang tinggi berpotensi
untuk mendapatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan selanjutnya dapat
meningkatkan kesejahteraan bangsa sesuai dengan cita-cita kemerdekaan yang
tertuang dalam pembukaan UUD 1945.
Bagi kalangan
ahli protret pembangunan pendidikan Indonesia yang belum menggembirakan
tersebut terkait dengan kebijakan pendidikan; pertama, pola perumusan kebijakan pendidikan yang masih berpusat
pada elit dengan sistem top-down di
satu sisi sementara partisipasi masyarakat masih minim di sisi lainnya (Arif
Rohman, 2002). Meskipun saat
ini sudah era otonomi daerah, namun praktek birokrasi kita masih berkultur lama
sehingga korupsi, kolusi dan nepotisme malah justru merajalela di daerah.
Kedua, setiap kebijakan yang sudah dibuat dengan biaya yang mahal ketika sampai
pada implemetasi di lapangan mengalami distorsi dan banyak penyimpangan.
Buktinya adalah sikap perilaku anak didik kita yang cenderung agresif dan
mengarah kepada tindak pidana. Hal ini adalah salah satu bukti bahwa pemerintah
gagal membuat kebijakan pendidikan yang dapat membentuk pola pikir dan sikap
sesuai dengan akar kebudayaan bangsa.
Ketiga, berbagai paket kebijakan tentang inovasi pendidikan selalu dilakukan
dengan serba kilat dan instan dan kurang mempertimbangkan berbagai implikasi
secara matang. Contoh pemberlakuan kurikulum 2013 yang terkesan dipaksakan di sekolah dasar dan
menengah padahal pemerintah belum siap dari sumber daya manusia, sarana
prasarana yang dibutuhkan, sampai buku ajar yang harus dipakai.
Akibatnya semua
kebijakan tersebut menjadi sekadar menghabiskan dana proyek dan terkesan
involutif semata. Sampai Wakil Presiden Budiono mengatakan dalam artikelnya
(Kompas, 27 Agustus 2012) yang berjudul”
Pendidikan Kunci Pembangunan” pendidikan Indonesia tidak punya konsepsi
yang jelas mengenai subtansi pendidikan. Akibatnya, terjadi kecenderungan
memasukkan apa saja yang dianggap penting. Senada dengan Budiono, Tilaar dalam
Konvensi Pendidikan, Selasa 18 Februari 2013, menegaskan pendidikan di
Indonesia belum memiliki arah yang jelas untuk mempersiapkan manusia-manusia
yang cakap, kreatif, tanggung jawan. Padahal Indonesia sudah harus menciptakan
generasi emas yang diharapkan bisa memajukan bangsa. Neoliberalisme sudah masul
ke dunia pendidikan sehingga arah pendidikan menjadi tidak jelas seperti sekarang.
Semua penginnya
ditumpahkan dalam kurikulum bahkan kampanye pemakaian kondom pun kalau perlu
juga dimasukkan dalam kurikulum. Terjadi beban yang berlebihan pada anak didik,
dan tidak jelas apakah anak didik mendapatkan apa yang diperlukan. Subtansi
pendidikan perlu dibakukan. Rumusannya harus mengacu pada dan diturunkan dari
konsep yang jelas mengenai bagaimana kemajuan bangsa akan dikembangkan dan apa
peranan pendidikan di dalamnya. Rumusan subtansi yang jelas dan cermat akan
dapat menjadi kompas dan perajut bagi begitu banyak kegiatan dan inisiatif
pendidikan di Tanah Air
Dari tiga kondisi
tersebut yakni adanya elitisme, distorsi, serta proses yang serba instant dalam
setiap perumusan dan implementasi kebijakan pendidikan secara akumulatif telah
mendorong pada munculnya pandangan skeptis masyarakat. beberapa kalangan
masyarakat mengeluhkan bahwa seringnya terjadi perubahan kebijakan pendidikan
yang belum mampu menghasilkan perbaikan secara signifikan, keluhan masyarakat
tersebut menghasilkan pandangan “ganti menteri ganti kurikulum”.
Wajar masyarakat
berpikiran demikian karena, memang tidak ada arah yang jelas sistem pendidikan
kita mau dibawa kemana. Semua masih tergantung individu yang menjadi presiden
dan menteri pendidikan. Belum ada sistem yang kuat di negeri ini walaupun ganti
presiden dan menteri garis-garis kebijakan negara tidak akan berubah. Berbeda
dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Mereka
telah memiliki ideologi dan fundamen yang jelas kemana arah negara harus
dibangun. Oleh karena itu, pembangunan pendidikannya juga mengarahkan anak
didik untuk mengikuti ideologi yang diterapkan negara mereka. Silberman (O’Neil, 2001:8) mengatakan bahwa
gagalnya perbaikan dan praktek pendidikan selama ini lebih dikarenakan sikap
dan tindakan tanpa pikir para pelaku pendidikan di semua tingkat. Hal ini jelas
mengindikasikan masih belum jelas dan kokohnya dasar-dasar ideologi pendidikan
di Indonesia. Selama ini aneka jenis kebijakan pendidikan tidak berdasarkan
pada ideologi yang jelas.