Makna Simbolis Tembang Lir-ilir dan E-dayohe: Karya Sunan Kalijaga
Oleh Ahdi Riyono, S.S., M.Hum
Ilir-ilir
Ilir-ilir 2x tandure wis sumilir
tak ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar
cah angon2x penekna blimbing kuwi
lunyu-lunyu ya penekna kanggo masuh dodotira
dodotira2x kumitir bedhah ing pinggir
dondomana jrumatana kanggo seba mengko sore
mumpung padhang rembulane mumpung jembar kalangane
Suraka surak hore.
(Kanjeng Sunan Kalijaga)
Perlu diketahui bahwa Sunan Kalijaga (Endraswara, 2003) adalah seorang wali yang melegenda di masyarakat Jawa. Nama Sunan Kalijaga berasal dari kata susuhunan (orang terhormat), qadli (pelaksana, penjaga, pimpinan), dan zaka (membersihkan). Maka, sangat cocock bila tugas Sunan Kalijaga sebagai wali, tak lain menjadi pimpinan untuk menjaga kebersihan umat dari perbuatan batil. Bahkan, ada yang berusaha othak-atik mathuk, kalijaga berasal dari kali (sungai) dan jaga (menjaga), artinya menjaga aliran sungai, yaitu perjalanan atau syiar agama Islam. Dalam tugas dakwah yang berat tersebut, Sunan Kalijaga ternyata mampu menggunakan teknik dakwah secara estetik-sufistik.
Salah satu teknik beliau, menggunakan tembang-tembang. Sebagai contoh, Sunan Kalijaga mengarang tembang menggubah tembang macapat metrum Dhandhanggula. Macapat dapat diartikan cara membaca (melagukan) empat-empat, yaitu perhentian nafas pada empat suku kata-empat suku kata. Macapat bisa juga berasal dari kata “macapat: = man + ca + pat = iman + panca + patokan. Dakwah Islam yang pertama harus memperhatikan Rukun Iman dan Rukun islam (panca) sebagai patokan . Dhandanggula berasal dari dhandhang dan gula yang berati pengharapan akan yang manis. Dakwah Islam yang dibawakan secara enak dan menyenangkan akan membawa harapan untuk menuju kebahagiaan, karena yakin dan percaya akan kebijaksanaan, kemurahan, keagungan, kekayaan, dan keadilan, maha mengetahui kebaikan yang meliputi dari Allah Tuhan Yang Maha Esa.
Salah satunya adalah tembang ilir-ilir. tembang ini merupakan bahan dakwah para wali pada awal perkembangan Islam. Para Wali menggunakan lagu ini sebagai simbol asosiasi penyebaran agama Islam. Melaui tembang ini, ternyata orang jawa lebih simpatis memasuku agama baru, yaitu agama Islam. alunan tembang ynag ritmis dan menarik disertai makna religiusitas, justru mampu mengetuk hati orang jawa, mulai dari rakyat jelata (Wong Cilik) sampai para penguasa kerajaan (Wong Gedhe). Adapun sayir tembang lir-ilir yang saya kutip di atas, memberikan rasa optimis kepada seseorang yang sedang melakukan amal kebaikan amatl itu berguna untuk bekal di hari akhirat. Kesempatan hidup di dunia itu harus dimanfaatkan untuk berbuat kebajikan, jangan membunuh nanti akan ganti dibunuh karena semua ada balasannya.
Menurut Para ahli tafsir (Hariwijaya, 2007) tembang ilir-ilir adalah sebagai sarana penyiaran agama Islam secara damai, tanpa paksaan dan kekerasan. Toleransi di dalam menyiarkan agama Islam sangat jelas hingga terjadi asimilasi dan adaptasi antara ajaran Islam dengan ajaran lainnya, sehingga terjadi apa yang disebut culture contact. Adapun makna tembang ini adalah sebagai berikut;
Ilir-ilir, ilir-ilir tandure wis sumilir. Makin subur dan tersiarlah agama Islam yang didakwahkan oleh para wali dan mubaligh Islam. Tak ijo royo-royo taksengguh penganten anyar. Hijau adalah warna dan lambang agama Islam, bagaikan penganten baru. Maksdunya, agama Islam bagitu menarik dan kemunculannya yang baru diibaratkan dengan penganten baru. Warna Hijau sendiri pada waktu itu, juga bendera Kekhilafahan Ustmanih (Turki Otoman) sebagai empirium Islam pada masa itu.
Cah angon-cah angon penekna blimbing kuwi, Cah angon atau penggembala, dibaratkan dengan penguasa yang menggembalakan rakyat. Para penguasa itu disarankan (dianjurkan) untuk segera masuk ke dalam agama Islam, disimbolkan dengan buah belimbing yang mempunyai bentuk segi-lima sebagai lambang rukun Islam. Lunyu-lunyu penekna kanggo masuh dodotira, Walaupun licin, susah, tetapi usahakanlah sekuat tenaga agar dapat masuk Islam demi mensucikan dodot. Dodot adalah jenis pakaian yang sering dipakai sebagai lambang agama atau kepercayaan.
Dodotira, dodotira, kumitir bedhah ing pinggir, pakaianmu, agamamu sudah rusak, karena dicampur dengan kepercayaan animisme. Domdomana jrumatana kanggo seba mengko sore. Agama yang sudah rusak itu jahitlah, perbaikilah sebagai bekal menghadap Tuhan. Mumpung jembar kalangane mumpung padhang rembulane. Mumpung masih hidup masih ada kesempatan untuk bertobat. Suraka Surak hore, bergembiralah, semoga kalian mendapatkan anugerah Tuhan.
Sunan Kalijaga ketika bulan Ramandhan tiba, agar masyarakat menyambut dengan kegembiraan, maka beliau menciptakan sebuah tembang pennyambutan. Berbeda dengan gaya orang sekarang menyambut Bulan Ramandhan dengan untaian kata, Marhaban ya Ramandhan. Tembang ciptaan beliau berupa tembang dolanan (permainan) yang sering dilagukan anak-anak, yaitu E, Dhayohe Teka (E Tamunya Datang) (Endraswara, 2006). Adapun syair lagunya sebagai berikut;
E dhayohe teka e gelarna klasa,
E klasane bedhah,
E tambalen jadah,
E jadahe mambu e pakakna asu,
E asune mati e buwangen kali,
E kaline banjir e buwangen pinggir,
E pinggire lunyu e yo goleka sangu.
Tembang tersebut memberikan gambaran terhadapt umat Islam bahwa dhayah identik dengan tamu (bulan Ramandhan). Lagu tersebut memberikan gambaran umat islam diharapakn menyambut bulan suci yang penuh berkah ini dengan beberapa cara, yaitu harus siap nggelar klasa (memasang tikar) yang suci, hati suci. Saat ini mulailah membersihkan hati/ menjernihkan pikiran, perasaan, dan keinginan. Agar jangan sampai hati kita bedhah (robek) seperti tikar. Kendatipun hati terpaksa robek, harus diusahakan menambal dengan jadah. Maksudnya, jadah adalah makanan berasal dari ketan, karena jangan sampai di bulan Ramandhan ini raket (dekat) dengan setan, dekatlah dengan Allah, dengan jalan mujahadah dan mukhasabah.
Dhayoh dalam padangan sufisme Jawa, juga bermakna banyi lahir. Bayi itu bersih, suci, belum ternoda. Karena itu, penyambutan bulan Ramandhan juga diharapkan seperti halnay orang sedang mendapatkan anugerah, kelahiran anak, gembira penuh harapan. Untuk itu mereka laksanakan padusan, agar suci bersih. Perasaan sedang ridla, ikhlas, selalu menyertai di dalam hati.
Demikian, gambaran sekelumit cara Kanjeng Sunan Kalijaga mendakwahkan agama Islam dengan estetika yang membuat masyarakat pada waktu berduyun-duyun memeluk agama Islam dengan senang hati, dan tanpa paksaan sedikitpun. Semoga tulisan ini dapat memberikan kita inspirasi agar kita dalam melakukan apapun harus disesuikan dengan situasi dan kondisi kejiwaan masyarakat agar tujuan kita dapat tercapai dengan baik. Wassalam.
No comments:
Post a Comment