MAKIAN
(PISUWAN) ’WONG’ JEPARA-KUDUS (JK):
KEUNIKKAN
BERBAHASA MASYARAKAT TUTUR PANTURA BAGIAN TIMUR, JAWA TENGAH
Oleh
Ahdi Riyono*
Hallo, salam jumpa kembali dalam rubrik bahasa majalah
kampus PEKA. Kali ini kakak akan sedikit membahas sesuatu yang mungkin kita
anggap tabu dan jijik, tapi, toh itu adalah suatu realitas sosial yang
terkadang kita, baik sadar maupun tidak, pasti pernah mengatakannya. Jadi, saya
tidak segan untuk membahasnya kali ini. Trus apa sesuatu yang dianggap tabu,
dan kotor itu?, sesuatu itu adalah makian atau kalau dalam bahasa JK disebut ‘pisowan’ . Masyarakat tutur JK memiliki
keunikkan atau kekhasan dalam berbicara, termasuk dalam memaki (baca: misuh).
Ok, mari kita simak bersama apa sebenarnya memaki itu dan bagaimana cara ‘wong
JK memaki dan menggunakannya.
Kalao kita sedikit mau memperhatikan seseorang dalam mengekspresikan keinginan, emosi dan
keadaan jiwa, mereka sering menggunakan gerak dan bahasa. Bahasa sendiri dalam
kehidupan kita sehari-hari merupakan sarana komunikasi yang sangat penting dan paling efektif. Dalam
bahasa pula terdapat cara pandang kita terhadap dunia (worldview) sebagaimana pernah dikatakan Anna Wierzbicka (1992) ”each language… contains a characteristic
worldview”.
Oleh sebab itu, tanpa bahasa segala bentuk aktivitas dan interaksi sosial tidak dapat berjalan
dengan baik, dan lancar. Begitu juga, ketika kita dalam keadaan jengkel,
ketidaksenangan, dan ketidakpuasan terhadap sesuatu, biasanya kita disamping menggunakan
gerakan-gerakan anggota tubuh kita, juga menggunakan bahasa (baca: kode) untuk
mengekspresikan emosi kita, yaitu dengan memanfaatkan kata-kata makian.
Kata-kata makian
bagi orang yang menuturkannya merupakan bentuk pembebasan diri dari segala
bentuk dan situasi yang tidak mengenakkan dan bagi yang dimaki sebagai bentuk
peringatan, sindiran, agar dia tidak mengulangi perbuatannya itu, walaupun tidak
menolak adanya fakta pemakaian makian yang secara pragmatis untuk mengungkapkan
pujian, keheranan, dan menciptakan suasaan pembicaraan yang akrab (Allan, 1986;
Wijana, 2004). Misalnya, ketika bertemu dengan temannya, orang-orang Jawa
Timuran terbiasa menggunakan makian, ‘Diancok! kowe ning endi rek?, tak golaeki ora ono’
diancok!, kamu kemana rek? Saya cari tidak ada’. Sedangkan, dalam bahasa Jawa
Kudusan atau Jeparanan ‘kangkrenganem,
kowe ning di ae, tak luru kok orak ono’ Fungsi makian dalam hal ini tidak
sebagai bentuk ungkapan ketidaksenangan atau kejengkelan, namun, sebagai bentuk
keakraban (intimateness).
Penggunaan makian sendiri merupakan sarana menjalankan
fungsi emotif bahasa. Jadi, tidak ada hubungannya dengan masalah dosa atau
tidak. Karena memang, dalam kehidupan sehari-hari memaki adalah sesuatu yang
alamiah dan wajar sebagai bentuk luapan perasaan dan emosi jiwa seseorang, hanya memang dalam kondisi dan keadaan
tertentu memaki atau menggunakan kata-kata yang dianggap kotor dilarang atau
ditabukan oleh masyarakat. Fungsi emotif (untuk menyatakan perasaaan) merupakan
fungsi bahasa yang terpenting di samping fungsi lainnya, seperti fungsi
konatif, referensial, metalingual, poetik, dan fatis (Jakobson, 1990).
Sedangkan seorang pakar bahasa Leech (1976) membagi fungsi bahasa menjadi lima, yakni fungsi informasional,
ekspresif, direktif, estetis, dan fatis. Penggunaan makian dalam hal ini
merupakan fungsi ekspresif. Lebih jauh lagi, Hymes (1990) menambahkan fungsi bahasa menjadi
tujuh, yaitu fungsi ekspresif atau emotif, direktif, puitik, kontak,
metalingual, referensial, dan kontekstual.
Makian sendiri itu berkaitan dengan kata-kata tabu (words of taboo), kata-kata tabu muncul
karena tiga hal, yakni adanya sesuatu yang menakutkan (taboo of fear) sesuatu yang tidak mengenakkan (taboo of delicacy) dan sesuatu yang tidak santun atau tidak pantas
(taboo of propriety) (Wijana,
2004). Misalnya, Ullmann dikutip oleh
Wijana (2004, 2006) memberikan contoh taboo
of fear orang-orang Yahudi dilarang menyebut nama tuhannya secara langsung.
Mereka menggunakan kata-kata lain yang maknanya sejajar dengan kata ‘ master’, sedangkan di Inggris dan Perancis
masing-masing digunakan kata Lord,
Seigneur. Kemudian, usaha manusia untuk menghindari penunjukkan langsung
kepada-hal-hal yang tidak mengenakkan, seperti berbagai penyakit dan kematian
tergolong jenis taboo of delicacy.
Akhirnya, sesuatu yang berhubungan dengan seks, bagian-bagian tubuh dan
fungsinya merupakan bagian dari taboo of
propriety.
Bentuk-Bentuk
Makian
Secara sintaksis,
bentuk-bentuk makian baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Jawa menduduki
klausa bukan inti yang berdistribusi baik mendahului klausa inti maupun
mengikutinya. Misalnya, contoh yang diberikan Wijana dalam bahasa Indonesia
sebagai berikut;
(1). Bedebah, mau lari kemana kamu.
(2). Gila, dia benar-benar hebat.
(3). Terimalah
jurus mautku, cecunguk.
(4). Ia benar-benar
hebat, gila
Sedangkan makian dalam bahasa Jawa subdialek Jepara-Kudus, misalnya;
(5). Asu, dienteni ora teko-teko.
(6). Banjingan,
konco malah ngono.
(7). Kakekaem,
wis diselehi
motor kok ra’ gelem ngumbah.
(8). Wis
diwarahi ijeh ora mudeng, kemplu.
Bentuk-bentuk makian dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
makian berbentuk kata dan frase (kelompok kata), serta makian dalam bentuk
klausa. Berikut penjelasannya;
Makian berbentuk Kata
Makian bentuk kata dapat dibedakan menjadi dua, yaitu makian bentuk kata dasar dan
makian bentuk kata jadian. Makian bentuk kata dasar adalah makian yang berwujud
kata-kata monomorfemik (mengadung satu morfem) seperti dalam contoh berikut;
(9). Jangkrik,
jam sak mene kok durung teko!
(10). Bedes,
mataem nok di?
(11). Goblok,
dikandani ngono ae ijeh ora mudeng.
Makian bentuk jadian adalah makian berupa kata-kata
polimorfemik. Makian dalam bahasa Jawa yang berbentuk polimorfemik (lebih dari
satu morfem) dapat dibedakan menjadi dua jenis., yakni makian berafiks, serta
makian berbentuk kata majemuk. Berikut ini contoh-contohnya;
(12). Bajingan,
jebule de’e cah lanang ‘playboy’.
(13). Dianto’i,
mosok aku mbok bagehi sakmene tok!.
(14). Kurang ajar
tenan, wis
direwei melu kok iseh melu, piye si!.
(15). Jabang bayi,
amit-amit mugo-mugo anakku ajo koyo ngono.
(16). Samber
dhelap, mataem mbok kok di.
Makian berbentuk Frase
Makian dalam bentuk ini
biasanya digunakan kata dasar plus makian dan makian plus em. Kata dasar memungkinkan melekat pada berbagai makian dengan
referensi yang beraneka. Sedangkan kata makian plus em hanya dapat berdampingan
dengan kata-kata anggota tubuh dan kekerabatan saja. Misalnya;
(17). Dasar sialan, aku meneh sing disalahke.
(18). Dasar gembrik, bengi-bengi ijih kluyuran
nok dalam.
(19). Dasar maling, kerjani nek bengi, nek rino molor terus.
(20). Dasar gombal mukio, nik ngomong wis ora iso dipercoyo.
(21). Kakekaem, bukuku mbok doko nok di?, wis tak luru kok ora
ono.
(22). Mataem, wong barang gedene ngene kok ora
roh.
(23). Itilem kono, wong wedok kok sok!.
Makian dalam bahasa Jawa
subdialek Jepara Kudus (JK) secara kategorial dapat digolongkan menjadi
beberapa jenis, yakni nomina atau frase nomina, seperti asu, genjik, asem, mataem, kakekaem,; makian berkategori verba,
seperti diamput, dianto’i, diamput dan
makian berkategori adjektiva, seperti goblok, edan, kemplu, dan kenthir.
Makian berbentuk Klausa
Makian dalam bahasa Jawa (JK)
yang berbentuk klausa dibentuk dengan menambahkan pronomina di depan makian dari berbagai referensinya. Penempatan
pronomina ini dimaksudkan untuk memberikan tekanan agar lebih menatap. Untuk
itu, coba lihat contoh-contoh berikut ini;
(24). Kowe edan, bapakem dhewe kok dipisohi.
(25). Dhe’e pancen kemplu, wis didudohi panggunane ijeh orah roh.
Referensi Makian Subdialek
JK
Berdasarkan ada atau tidak
adanya referensi, kata dibedakan menjadi dua, yakni kata referensial dan kata
non referensial. Jenis pertama adalah kata-kata yang memiliki referen (acuan).
Menurut Wijana (2004) Kata-kata ini biasanya memiliki potensi untuk mengisi fungsi-fungsi
sintaktik kalimat, seperti nomina, adjektiva, adverbial, dsb. Sehingga lazim
disebut dengan kata utama (content word).
Sementara itu, jenis kedua adalah kata-kata yang semata-mata fungsinya membantu
kata-kata lain menjalankan tugasnya sehingga lazim disebut kata tugas (functional word), seperti preposisi,
konjungsi, dan interjeksi. Namun demikian, makian dalam bahasa Jawa subdialek
JK hampir semuanya berbentuk kata referensial.
Adapun jenis-jenis
referensi makian meliputi, keadaan,
binatang, makhluk halus, benda-benda, bagian tubuh, kekerabatan, aktivitas, dan
profesi. Jenis referen keadaan misalnya,
edan, degleng, goblok, kemplu,
kenthir, kere, dan pekok; jenis referen binatang misalnya, asu, genjik, bedes, celeng, ketek, kebo;
kemudian jenis referen makhluk halus seperti setan, tuyol, setan alas; jenis benda-beda yakni, tai, telek, telo; jenis bagian tubuh
meliputi mata, silit,dan ndas; jenis kekerabatan yaitu, kakekaem, mbahem,; jenis referen
aktivitas seperti, diamput, diancuk,
dianto’i; dan jenis feren profesi antara lain bajingan,
maling, dan gembrik.
Demikian, guna
menjalankan fungsinya sebagai wahana pengungkapan perasaan, bahasa merupakan
sarana kebahasaan yang dibutuhkan untuk mengekspresikan ketidaksenangan dan merespon
serta menanggapi berbagai fenomena yang menimbulkan perasaan atau emosi jiwa. Jadi, betapa pentingnya bahasa itu dalam
kehidupan kita. Bayangkan saja misalnya kalau tidak ada bahasa? Bagaimana dunia
ini? Ok, saya pikir tidak usah saya jawab pasti pembaca sudah mengetahuinya.
Sekian, itu saja yang dapat saya dapat
ungkapkan dan tuliskan dalam tulisan ini. Semoga dapat mendambah pengetahuan
kita. Amiin!!!!.
1 comment:
Mohon referensi buku yang meneliti tentang bentuk makian. Terimakasih
Post a Comment