Psikolinguistik dalam Pengajaran, Pembelajaran Bahasa
oleh Ahdi Riyono
Berbicara
mengenai psikolinguistik, kita pasti akan bertanya apa itu psikolinguistik?
Bagaimana perannya, dan apa fungsinya dalam pengajaran, dan pembelajaran bahasa?.
Bagi para linguis, istilah ini
mungkin sudah tak asing lagi. Namun, bagi masyarakat awam istilah ini masih
dianggap asing. Psikolinguistik sebetulnya ilmu hibrida, yaitu gabungan antara
linguistik dan psikologi. Ilmu ini muncul pada permulaan abad ke-20 yang
diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman bernama Wilhelm Wundt. Wundt
mengatakan bahwa bahasa dapat dijelaskan dengan dasar prinsip-prinsip psikologi
(Kess, 1992; Dardjowodjojo, 2003). Psikolinguistik menjelajahi hubungan antara
manah (mind) manusia dan bahasa. Psikolinguistik memperlakukan pemakai
bahasa sebagai orang per orang (individu) dan bukan orang sebagai wakil suatu
masyarakat (Djawanai, 2006).
Dengan
pengertian ini, psikolinguistik sangat berperan dalam pengembangan metode dan
pembelajaran bahasa di masa lalu, sekarang dan masa depan. Karena dalam
pengajaran dan pembelajaran bahasa, peran individu sangat diperhatikan dan
menjadi fokus memproduksi, mempersepsikan, dan memahami bunyi-bunyi bahasa.
Bahasa sendiri adalah sebuah sistem bunyi yang membentuk simbol-simbol.
Simbol-simbol tersebut memiliki arti dan makna.
Dalam
pengajaran bahasa, khususnya bahasa kedua atau bahasa asing, banyak para ahli
yang memunculkan metode-metode pembelajaran yang berbeda-beda. Hal ini
disebabkan pemahaman tentang hakikat bahasa dan peranan otak dalam pembelajaran
bahasa mengalami perkembangan yang dinamis. Misalnya di era tahun 1950-an berkembang aliran
deskriptivisme yang dipelopori oleh Watson dan Skinner. Aliran ini memandang
bahasa adalah objek kajian ilmiah dan memunculkan metode pembelajaran bahasa
dengan pembentukan kebiasaan yang dikenal dengan tubian (drill).
Pendekatan yang dikemukakan Watson dan diperluas Skinner ini sama sekali
mengabaikan kenyataan bahwa pembelajar adalah suatu organisme yang aktif.
Merekalah yang memutuskan apa yang akan diperbuat dengan suatu masukkan. Mereka
bukan piringan kosong yang dapat kita masuki apapun. Dari sini lah mucul
pandangan kaum rasionalis yang dipelopori oleh chomsky tahun 1957. ia
memunculkan aliran transformasi. Akibatnya, pengajaran bahasa tidak hanya
berkutat masalah metodologi, tetapi juga bergeser pada proses pembelajarannya.
Chomsky dan
kawan-kawannya percaya, manusia dilahirkan telah membawa yang namanya faculty
of the mind dan di dalamnya terdapat
seperangkat peralatan (device) yang memungkinkannya untuk dapat
berbahasa. Alat itu disebutnya sebagai LAD (language acquisition device).
Oleh karena itu, ia yakin bahwa tanpa adanya stimulus manusia tetap dapat
berbahasa. LAD memegang peran penting dalam proses pembelajaran dan penguasaan
bahasa. LAD sendiri terdiri atas bahasa universal yang terbagi menjadi dua
bagian. (1) universal subtantif dan (2) universal formal.
Yang dimaksud
dengan subtantif adalah hal-hal yang berhubungan dengan butir-butir kebahasaan,
seperti misalnya kata benda, kata sifat, kata kerja, kata bilangan dan kata
ganti dann ciri-ciri fonetik (distinctive phonetic features). Misalnya
teori yang diajukan oleh Jakobson (1971) yang menyatakan bahwa bahasa manapun
pasti memiliki paling tidak tiga vokal /A/, /I/, dan /U/. sedang yang dimaksud
dengan universal formal adalah merujuk pada cara elemen-elemen ini diatur.
Bahasa pasti memiliki konsep tentang subjek, predikat, dan objek. Akan tetapi
cara ketiga elemen ini diatur berbeda dari satu bahasa ke bahasa yang lain.
Menurut klasifikasi Greenberg (1966) ada bahasa yang berpola SVO, ada yang SOV
dan ada yang VSO, ada VOS, OSV, dan OVS.
Konsep universal bahasa ini jelas
bertentangan dengan pandangan kaum strukturalis yang percaya bahwa bahasa itu
berbeda-beda tanpa batas. Namun demikian, kita tidak usah mempertentangkan ke
dua aliran tersebut. Keduanya dapat dipersandingkan dengan baik. Betul, memang
ada yang namanya bahasa universal yang oleh
Chomsky di sebut dengan tata bahasa semesta (Universal Grammar). Hanya
saja pada kenyataannya, tata bahasa
semesta itu diwujudkan dalam bentuk yang berbeda-beda. Dengan kata lain, mengambil istilah Chomsky
ada perbedaan antara struktur batin (deep structure) dan struktur lahir
(surface structure) dalam bahasa.
Terus apa hubungannya kedua
pendapat tersebut dengan pembelajaran bahasa?
Greenberg (1966) menunjukkan ada hubungan implikasi antara tipe urutan
frase dengan beberapa dengan beberapa hal yang ada di kalimat, misalnya dengan
urutan frasa Nomina (NP), rasa verba (VP), letak adposisi (di depan atau di
belakang N), keberadaan sistem penanda kasus (ada atau tidak), dan alternatif
tipe susunan frasanya. Oleh karena itu, menurut penulis temuan Greenberg yang
oleh Chomsky di sebut surface structure atau external grammar
tersebut sangat berperan pembelajaran dan pengajaran bahasa.
Dengan melihat tipologi bahasa
pembelajar bahasa akan mendapatkan kemudahan dalam mempelajari suatu bahasa dan
dapat memprediksi bentuk dan urutan frase dan kalimatnya dengan tepat dan
akurat. Akan tetapi temuan Chomsky pun tak kalah pentingnya. Chomsky dengan
ekstrimnya mengatakan bahwa pembelajaran bahasa bukan melalui stimulus respon
sebagaimana pendapat kaum deskriptivis. Manusia itu pun tidak
dapat mengajarkan bahasa, tetapi manusia hanya dapat menciptakan
lingkungan linguistik (a rich linguistic environment).
Chomsky (1973) juga mengatakan
bahwa ordinary linguistic behavior characteristically involves innovation,
formation of new sentences, and new patterns in accordance with rules of great
abstractness and intricacy. Dengan demikian, pengggunaan bahasa (linguistic
performance) itu bersifat kreatif, dan kreatifitas itu ada pada pengguna.
Pendapat Chomsky ini memunculkan pembelajaran bahasa yang berorientasi pada (learner-centered),
yaitu pembelajaran harus berpusat pada pembelajar itu sendiri. Juga, pemikiran
Chomsky ini berdampak pada pergeseran penanganan masalah-masalah tata bahasa
yang dijelaskan dengan metode terjemah tata bahasa (Grammar Translation
Method) menjadi bagaimana aturan-aturan itu dihadirkan dengan pendekatan
natural. Ide dasar Chomsky dalam bidang linguistik dan psikologi ini telah
mengilhami pada ahli teori pembelajaran bahasa kedua dalam menciptakan berbagai
macam metode pembelajaran bahasa, yaitu cognitive code, community language
learning, silent way, dan suggestopedia. (Steinberg dkk, 2001).
Namun demikian, dari sekian metode
yang ada tidak akan efektif digunakan jikalau faktor-faktor dalam ranah afektif
dari si pembelajar bahasa tidak diperhatikan. Padahal, faktor-faktor tersebut
juga menentukan berhasil tidaknya pengajaran dan pembelajar bahasa, khususnya
bahasa kedua atau bahasa asing. Faktor-faktor tersebut antara lain motivasi,
pemberdayagunaan (empowerment), inhibisi, peran guru, dan bahan ajar
(Dardjowidjojo, 2003).
Pertama, motivasi. Motivasi dalam pembelajaran bahasa, khususnya bahasa ke
dua atau asing ada dua tipe: (1) integratif dan (2) instrumental.
Motivasi integratif merujuk pada suatu keinginan untuk mirip dengan
orang dari komunitas asing yang dipelajari (Gardner dan Lambert 1972 via
Dardjowidjojo, 2003), .sehingga pembelajar dapat mengintergrasikan diri dengan
budaya mereka dan menjadi bagian dari masyarakat mereka. Karena itu, motivasi
integratif bersifat intrinsik. Sebaliknya, motivasi instrumental bersifat
ekstrinsik. Orang yang bermotivasi ini ingin mendapatkan rekognisi sosial atau
keuntungan ekonomis melalui pengetahuan suatu bahasa asing.
Kedua, pemberdayaan. Maksudnya adalah dalam pembelajaran bahasa fokusnya
dari produk ke proses yang dialami pembelajar. Pemberdayaan juga menggeser
posisi guru dari guru yang memiliki perilaku yang ototarian ke egalitarian.
Pemberdayaan juga memunculkan interaksi yang lebih baik antara guru dan
siswanya.
Ketiga, inhibisi. Inihibisi adalah bagaimana dalam pembelajaran bahasa
hambatan-hambatan psikologisnya dapat dikurangi atau kalau perlu dihilangkan.
Dengan ini muncul metode-metode pengajaran bahasa yang dapat menghilangkan atau
memperkecil hambatan psikologis. Seperti Curran (1976) dengan community
language learning menyajikan empat konsep psikologis seperti (1) security,
(2) attention aggression, (3) retention-reflection, dan (4) discrimination
yang semuanya dimaksudkan untuk menghilangkan hambatan psikologis.
Keempat, Peran guru. Fokus pada siswa (student-centered) berarti
peran guru harus berubah dari semula yang cenderung mendekte siswa ke perilaku
yang memberi fasilitas proses pembelajaran dan motivasi kepada siswa.
Kelima, bahan ajar. Bahan ajar harus disesuaikan dengan kebutuhan siswa,
yaitu membuat siswa melakukan tugas untuk memecahkan masalah. Tipe bahan yang task-based
dan problem solving dimaksudkan agar siswa dapat mengembangkan
penggunaan bahasa (language use) bukan hanya pemakaian bahasa (language
usage).
Dengan demikian, peranan
psikolinguistik dalam pengembangan metode pengajaran dan pembelajaran bahasa
sangat besar. Karena memang pembelajaran bahasa tidak dapat dilepaskan dari
proses mental. Dari sini juga memunculkan berbagai aliran dalam linguistik
antara lain deskriptivisme, dan transformasi yang kedua-dua memiliki kontribusi
dalam pengembangan pengajaran dan pembelajaran bahasa, khususnya bahasa kedua
atau bahasa asing.
No comments:
Post a Comment