Ahdi
Riyono
(Sekretaris Pusat Studi Kebudayaan
Universitas Muria Kudus)
Pendahuluan
Bahasa adalah hasil
kebudayaan manusia yang sangat unik. Keunikkannya tidak mungkin diproduksi oleh
makhluk lain di muka bumi ini. Di dunia ini ada ribuan bahasa yang memiliki
bentuk dan fungsi yang beraneka macam. Di wilayah nusantara ini ada sekitar 700
lebih bahasa daerah, ada yang jumlah penuturnya masih ratusan, ada yang
penuturnya tersisa puluhan, ada yang
hanya beberapa orang, bahkan ada yang sudah punah. Kepunahan bahasa bisa
dikatakan sebagai kepunahan sebuah kebudayaan dan karakter penuturnya. Karena
esensi dari sebuah bahasa adalah sebagai ciri kepribadian atau karakter dari
masyarakat tuturnya.
Karakter
yang dimaksud di sini adalah bagian dari kepribadian (personality). Dalam Kamus The
Collins Cobuild Dictionary kepribadian didefinisikan sebagai ‘…one’s whole
character and nature’. Sedangkan menurut De Raad (2001) dalam Zoltan
Dornyei (2005) kepribadian adalah
karakter seseorang yang terdapat dalam pola-pola perasaan (feeling), berpikir (thinking),
dan bersikap (behaving) secara
konsisten. Karakter suatu masyarakat atau individu dapat diamati dari
bahasanya. Oleh karena itu, belajar karakter dapat diambil dari (1) bentuk
atau struktur bahasa suatu
masyarakat/individu, dan (2) Fungsi bahasa dalam pemakaian di lingkungan
sosialnya.
Bentuk
Bahasa
Setiap bahasa memiliki
keunikan bentuk masing-masing. Greenberg (1966) membagi bahasa di dunia menjadi
tiga tipe universal word order
(urutan frasa semesta), yakni verb + subject + O (VSO), subject + Verb+ O
(SVO), dan subject + object + verb (
SOV). Ternyata ketiga bentuk tersebut
memiliki korelasi dengan urutan kata ditempat lain dalam tata bahasa secara
konsekuen. Dengan kata lain, masing-masing tipe urutan frasa itu mempunyai
implikasi secara konsekuen dengan urutan kata itu. Misalnya bahasa yang urutan
VSO-nya dominan selalu mempunyai preposisi, sebaliknya bahasa dengan urutan
frasa SOV biasanya berpostposisi, dan bahasa yang SOV-nya dominan dan genetif
mngikuti nomina, maka adjektivanya pun mengikuti nomina.
Berbeda dengan Greenberg,
linguis Indonesia Prof. Soepomo Poedjosoedarmo (2001) dalam penelitiannya
menemukan rangkaian cooccurence yang
agak berbeda. Beliau tidak menggunakan fungsi S,V,O, tapi kategori atau jenis
kata N,V,N,N. N pertama adalah subjek. N kedua adalah objek tak langsung. N
ketiga adalah objek langsung. Jadi baik S maupun O digantikan dengan N. Dengan
demikian, maka misalnya bahasa Inggris dan juga bahasa Indonesia dapat
diformulasikan berurutan NVNN, sedangkan
bahasa Jerman dapat berurutan NVNN, atau VNNN atau VNNNV. Bahasa Arab dapat
berurutan V NNN atau NVNN. Bahasa-bahasa di Filipina berurutan VNNN. Bahasa Jepang
berurutan NNNV. Bahasa Latin V dapat berpindah-pindah, demikian juga N. dari
formulasi tersebut Poedjoseodarmo (2001) menyimpulkan bahwa bahasa yang
mempunyai pola urutan NNN berjajar tanpa ada penyela V, maka diperlukan tanda
untuk mengetahui mana N yang subjek, mana yang objek langsung dan tak langsung.
Dalam bahasa Jerman
tanda-tanda itu berbentuk penanda kasus yang kebetulan juga berfungsi sebagai
artikel (kata sandang). Ada kasus nominative, datif dan akusatif. Dalam bahasa
Inggris dan bahasa Indonesia N sebagai subjek dan objek ditandai dengan
letaknya. Kalau N-N yang berfungsi objek berpindah tempat, maka diperlukan kata
tugas semacam preposisi untuk menandai objek yang tak langsung. Adapun dalam
bahasa Tagalog dan bahasa-bahasa Filipina lainya, kata tugas semacam tanda
kasus itu juga dipakai di samping adanya tanda registrasi pada V yang
menunjukkan hubungan V itu dengan subjek dan objek-objeknya. Jadi, fungsi N-N-N
itu sering ditandai oleh kata tugas (tanda kasus, preposisi, atau partikel).
Dari uraian sekilas tersebut
kita dapat belajar karakter dari bahasa. Pertama, Kejelasan Fungsi dan posisi N (pola
karakter feeling). Kedua, kehematan (tidak redundancy) (pola karakter thinking),
dan kekompakan (compact) (pola
karakter behaving). Bahasa yang
membolehkan NNN-nya berjajar tanpa
penyela terutama kalau tempat N ketiga dapat
berpindah-pindah, maka butir kata atau frasa N itu cenderung padat. Demikian
juga verbanya. Seperti bahasa
Jerman, Latin dan Arab, bentuk frasa verba dan nomina cenderung padat dalam
keterangnnya mengenai gender, jumlah, persona, dan kala. Hal ini berbeda dengan bahasa yang urutannya
ialah NVNN.
Bentuk bahasa tidak hanya
dilihat dari adanya butir dan urutan, tapi juga dapat dilihat dari unsur suprasegmental,
yakni komponen yang berwujud unsur prosodi pada kata dan kalimat. Bahasa yang
banyak menekankan pada unsur suprasegmental biasanya memiliki jumlah fonem
yang banyak pula, dengan begitu kata-katanya memiliki kecendrungan pendek. Sebaliknya bahasa yang jumlah fonemnya hanya
sedikit wujud katanya cenderung panjang.
Sebagai contoh bahasa Inggris memiliki fonem
konsonan dan vokal banyak, kata-katanya cenderung pendek-pendek. Berbeda dengan
bahasa-bahasa Austronesia bagian timur yang jumlah dan vokalnya sedikit, wujud
katanya cenderung panjang. Di sini berlaku prinsip jelas tetapi ekonomis. Akan
tetapi bahasa-bahasa tonasi (yang tinggi nadanya juga berkualitas fonemik),
seperti bahasa Cina dan Utsat, kata-katanya
biasanya berbentuk monosilabik. Dalam bahasa Jawa dan Indonesia ada pola
intonasi utama (fokus), antisipari (pendahulu), dan pola intonasi tambahan (implemetar)
yang sangat mempengaruhi jenis dan arti
klausa, frasa, juga urutan yang ada dalam kalimat (Amran Halim, 1974; Gloria
Poedjosoedarmo, 1977).
Fungsi
Bahasa
Dalam kaitannya
dengan fungsi bahasa, banyak tokoh yang mengemukakannya, antara lain Roman
Jakobson, Dell Hymes, Geoffrey Leech, Halliday, dan Sudaryanto. Berbicara
mengenai pandangan Jakobson, dia memerikan enam fungsi bahasa , yaitu (1)
fungsi referensial (pengacu pesan), (2) fungsi emotif (pengungkap keadaan
seseorang), (3) fungsi konatif (pengungkap keinginan seseorang), (4) fungsi
metalingual (penjelas sandi atau kode), (5) fungsi fatis (pembuka hubungan),
dan fungsi puistis (penyandi pesan). Sedangkan Dell Hymes memekarkan fungsi
bahasa menjadi tujuh, yakni (1) fungsi ekspresif, (2) fungsi direktif, (3)
fungsi puitik, (4) fungsi kontak, (5) fungsi metalinguistik, (6) fungsi
referensial, (7) fungsi kontekstual.
Leech justru menyederhanakan fungsi bahasa menjadi
lima, yaitu fungsi informasional, ekspresif, direktif, aestetik, dam
fatis. Adapun Halliday mengemukakan
fungsi bahasa hanya tiga, yaitu ideasional, interpersonal dan tekstual. Lebih
ringkas lagi, Sudaryanto berpendapat
bahwa fungsi bahasa yang paling inti adalah fungsi pemelihara kerjasama dan
pengawafungsian (Sudaryanto, 1990).
Banyak persoalan bangsa
muncul disebabkan oleh penyimpangan dalam pengejawantahan fungsi bahasa. Sebab
bahasa juga terkait dengan metalitas budaya. Dalam tradisi filsafat
hermeneutik, tokoh Hamann, Humboldt_Heidegger, Gadamer, Apel dan Habermas
mengasimilasikan fungsi bahasa ke dalam fungsi kognitif penyingkap dunia
(Sandarupa, Kompas 2015). Dengan fungsi inilah
kita dapat menafsirkan pengetahuan proposisi tentang dunia, menunjuk, dan
mengklasifikasikan objek, dunia sosial, dan dunia subjektif.
Tindak
Komunikasi
Dalam mewujudkan mentalitas
kebudayaan, bahasa adalah sarananya. Tata bahasa dapat digunakan sebagai
pedoman untuk mengatur berpikir rasional, logis, benar, dan mampu, berpendapat
secara bebas, tradisi Anglo-Amerika melihat pentingnya aturan-aturan prinsip
untuk mengatur lisan agar berkata benar, efektif, kooperatif dan sopan.
Dalam melakukan tindak
komunikasi seseorang juga diharapkan dapat bekerjasama dengan baik. Sebagaimana
dikemukakan oleh Grice tentang prinsip-prinsip kerjasama dalam komunikasi yang mencakupi
empat maksim., yaitu maksim kuantitas tentang pemberian informasi secukupnya,
maksim kualitas tentang rasa hormat dan kebenaran, maksim relasi tentang
tuturan yang runtut, dan maksim cara tentang penghindaran makna ganda (Grice,
1975). Dalam berinteraksi sosial pelanggaran terhadap prinsip kerjasama dapat
menyebabkan konflik.
Berkaitan dengan ini, ada
prinsip kesopanan dalam bertindak tutur (Brown dan Levinson 1987). Semua
kebudayaan di dunia ini pasti mengenal prinsip tersebut. Apalagi bangsa
Indonesia yang sangat menjunjung kehormatan, harga diri, dan perasaan. Prinsip ini berkaitan dengan muka (face). Muka memiliki dua aspek, positif,
dan negative. Muka positif diwujudkan
dengn keinginan untuk dihargai, disenangi, diapresiasi oleh orang lain.
Sementara wajah negatif dimaknai sebagai keinginan untuk tidak diganggu atau
dibebani, dan mendapatkan kebebasan untuk bertindak (Thomas, 1999).
Dalam teori menjaga perasaan
(Face Threatening Acts), tuturan
ilokusi dapat mengganggu muka seseorang.
Karena tuturan ilokusi merupakan suatu tindak tutur yang hanya bisa terjadi
dalam bertutur. Misalnya tindak berjanji, memproklamirkan, menamai. Seseorang calon bupati atau walikota dalam
PILKADA berjanji untuk menyejahterakan rakyat, maka tindakan berjanji sudah
terjadi, dan jika tidak dipenuhi dapat dituntut dipengadilan.
Begutu juga apabila sebuah
kelompok memproklamasikan kemerdekaan wilayahnya, maka tindak proklamasi juga
telah terjadi dan itu kalau terjadi di wilayah NKRI tentu akan dilakukan tindakan
oleh aparat yang berwenang karena telah melakukan tindak makar. Contoh lagi
adalah saat Setia Novanto, Ketua DPR RI, dikonfrontir oleh MKD tentang
kebenaran isi rekaman pembicaraan ‘papa minta saham’, ia melakukan tindak
penolakan. Tindak penolakan telah terjadi, apabila dikemudian hari ditemukan
bukti bahwa dia telah berbohong maka Novanto dapat terkena tuduhan telah
melakukan kebohongan publik.
Tindakan perlokusi adalah
tindakan yang dilakukan dengan berujar, yaitu akibat pada pendengar. Tindakan
menuduh Setia Novanto sebagai dalang pencatutan nama presiden dan wakil
presiden meminta saham 11 persen oleh Sudirman Said (Menteri ESDM) dan Maroef
Sjamsoeddin (Presdir Freeport Indonesia) dapat dianggap sebagai pencemaran nama
baik, penistaan, dan perbuatan tidak menyenangkan apabila tindakan perlokusi
menuduh tersebut tidak benar.
Dari peristiwa bahasa
tersebut dapat dijadikan sebagai pembelajaran karakter, bahwa tindak berbahasa
adalah sebuah tindak sosial yang memiliki dampak sosial baik dan buruk. Penyalahgunaan
bahasa dapat menjadi senjata yang dapat membunuh karakter orang lain atau
berbalik membunuh penuturnya sendiri. Oleh sebab itu, mulai sekarang
berbahasalah dengan benar dan sopan.
Selalu menjaga perasaan mitra wicara agar keharmonisan hidup dapat terwujud.
Daftar
Bacaan
Amran
Halim. 1974. Intonation in Relation to
Syntax in Bahasa Indonesia. Jakarta. Proyek Pengembangan bahasa, dan Sastra
Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan.
Dornyei,
Zoltan. 2008. The Psychology of the
Language Learner. London: LEA Publishers.
Greenberg,
Jh. 1966. Universals of language.
Edisi ke-2. Cambridge: MIT Press.
Poedjoseodarmo,
Soepomo. 2001. Teori Tata Bahasa Universal
Makalah Seminar Regional Kedudukan dan Sumbangan Teori Linguistik
Universitas Sanatadharma, 27 Oktober.
Poedjosoedarmo,
Gloria.1977. Thematization and
Information Structure In Javanese, “ Nusa. Vol. 3. Jakarta.
Sandarupa,
Stanislaus. 2015. Akal-Mulut dalam Ujaran Kebencian, kolom Opini Kompas, Jumat, 20
November 2015 hl. 7.
Sudaryanto.
1990. Menguak Fungsi Hakiki Bahasa.
Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Thomas,
Jenny. 1995. Meaning in Interaction: an
Introduction to Pragmatics. London: Longman Group Limited.
[1]
Makalah dibentangkan dalam Seminar Bahasa dan Pendidikan Karakter Pusat Studi
Kebudayaan Universitas Muria Kudus, Sabtu, 12 Desember 2015.