Menuju Pendidikan Tinggi Transdisipliner
Ahdi Riyono
Dosen FKIP Universitas Muria
Kudus
Tulisan
Sulistyowati Irianto, Direktur Sekolah Pascasarjana Multidisiplin UI, di sebuah surat kabar nasional (25/2/2014)
lalu tentang perlunya pengembangan studi multidisipliner di perguruan tinggi
patut mendapatkan perhatian. Karena apa yang diungkapnya adalah bentuk
perhatian sekaligus keprihatiannnya pada dunia pendidikan tinggi di Indonesia
yang masih mengagungkan monodisipliner dalam melihat sebuah ilmu. Dunia
akademik saat ini masih ditandai dengan cara pandang disiplin ilmu yang saling
terpisah. Bahkan pandangan linieritas
kaku yang diterapkan di perguruan tinggi, justru akan memperlemah peran
perguruan tinggi sendiri.
Perkembangan permasalahan yang dihadapi kian
komplek tidak mungkin dapat diselesaikan
hanya dengan pendekatan monodisipliner. Misalnya masalah pendidikan, tidak bisa
hanya dilihat aspek pedagogik atau
keilmuan pendidikan saja, tetapi harus dilihat dari berbagai aspek, misalnya
aspek sosiologi, antropologi, politik, dan kebijakan publik. Oleh sebab itu, pengembangan
keilmuan harus melihat permasalahan yang dihadapi. Kita tidak bisa lagi
berpikir linier dan cenderung kaku dengan keilmuan tertentu. Sulistyowati
bahkan mengusulkan fakultas monodisiplin
perlu mempertimbangkan kurikulum yang
bersifat liberal art bagi mahasiswa baru. Mereka diperkaya dengan
berbagai perspektif ilmu untuk menunjang disiplin ilmu yang akan menjadi
spesialisasinya. Sehingga ketika mereka lulus tidak sekadar jadi tukang.
Contohnya,
mahasiswa teknik arsitektur dapat mengambil mata kuliah estetika di fakultas
ilmu budaya, atau misalnya mahasiswa kedokteran dapat mengambil mata kuliah
antropologi di jurusan antropologi. Mahasiswa pendidikan juga dapat mengambil
mata kuliah kebijakan publik di Fisip. Hal tersebut dapat dipahami karena penanganan penyakit
dapat juga berkaitan dengan faktor-faktor budaya bukan hanya terkait dengan
masalah kesehatan saja, rekayasa arsitektur pun berhubungan dengan estetika
(keindahan) dan budaya. Masalah pendidikan juga tidak dapat terlepas dari
sebuah kajian kebijakan publik.
Karena
itu, untuk menyikapi permasalahan global yang semakin rumit diperlukan pendekatan yang tidak hanya monodisipliner
atau multidisipliner sebagaimana yang dikemukakan oleh Sulistiyowati Irianto, melainkan juga transdisipliner. Maksudnya
adalah adanya integrasi sejumlah pengetahuan agar penyelesainan masalah
dapat tuntas sampai ke akar-akarnya. Jadi, bukan hanya bergabungnya antar
disiplin ilmu, tapi dalam prakteknya masih tesekat-sekat sebagaimana dalam
konsep multidisipliner atau trandisipliner.
S.
Hamid Hasan menegaskan bahwa pendidikan trandisiplin bertujuan untuk
kepentingan umat manusia, bukan untuk didiplin ilmu. Disiplin ilmu tidak boleh
menjadi pembatas kotak cara berfikir, bersikap, dan bertindak seseorang, disiplin
ilmu harus bersifat terbuka dan kebenaran itu selalu berkembang. UNESCO juga mengharapkan perguruan tinggi turut berperan aktif dalam
mencari solusi yang terbaik terhadap permasalahan global yang ada saat ini.
Perlu
dicari sebuah pendekatan baru yang lebih baik untuk mengatasi permasalahan
multisektoral. Pendekatan baru tentu bukan monodisipliner, tetapi
transdisipliner. Pendekatan monodisiplin tidak dapat lagi dimanfatkan untuk
dapat memberikan kontribusi yang optimal dalam mengatasi masalah global yang
kian ruwet. Pendekatan transdisiplin dapat dipandang sebagai ruang intelektual
atau intelektual space, tempat
isu-isu yang dibahas saling dikaitkan, dieksplorasi, dieksplanasi dan dibuka
untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik.
Semua
pengetahuan dan ketrampilan di masa depan merupakan hasil riset dengan warna
transdisipliner. Karena produksi ilmu pengetahuan adalah proses sosial yang
mengalami diseminasi secara global, maupun lokal, melalui berbagai bentuk dan
tempat, maka di masa yang akan datang akan terjadi rekonfigurasi ilmu
pengetahuan. Karenanya, dalam menghadapi aneka kompleksitas masalahnya tidak
cukup civitas akademika hanya disiapkan dengan monodisiplin saja berdasarkan
kognisinya, namun juga dibutuhkan orientasi trandisipliner melalui
interprenetrasi rasio, emosi, intuisi, dan cipta talenta.
Ini bukan berarti monodisiplin tidak perlu
diperdalam secara intensif, melainkan kedalaman intensivitas maupun intensivitas
ilmu mencari berbagai fungsi keterkaitannya dengan berbagai dimensi kehidupan,
sehingga terwujud ilmu pengetahuan yang saling terobos menerobos. Diana Nomida
(2008) mengatakan ada empat isu utama yang membutuhkan pendekatan multisektoral
atau trandisiplin, antara lain; agresi manusia, distribusi sumberdaya secara
harmonis, perkembangan pandangan dunia yang bersifat antroposentris, realisasi
potensi dan pemberdayaan manusia melalui pendidikan. Untuk pengembangan pendidikan
berbasis trandisipliner, Perguruan
Tinggi perlu menyusun sebuah kurikulum dan pembelajaran yang terintegrasi atau
disebut integrated curriculum and
learning, dan juga memberikan ruang (space)
antar disiplin agar ada kemungkinan munculnya perspektif baru di luar disiplin tersebut.
No comments:
Post a Comment