Dilema dan Upaya pemertahanan Bahasa Jawa
Ahdi Riyono
Dosen Universitas Muria Kudus
Bahasa Jawa dipusaran
globalisasi saat ini mengalami pergeseran yang kian lama kian terpinggirkan.
Terpinggirkannya Bahasa Jawa saat ini adalah salah satu akibat perubahan sosial politik yang luar biasa di
tengah-tengah masyarakat. Di ranah sosial, masyarakat saat ini sudah tidak ada
lagi yang bersifat monolingual, tapi cenderung multilingual. Istilah
sosiolinguistiknya disebut sebagai masyarakat yang diglosik. Artinya, di
tengah-tengah masyarakat hidup berbagai
bahasa dan variasinya yang memiliki peran dan fungsi sosial yang
berbeda-beda, sehingga individu yang saling berinteraksi sering menggunakan
alih kode ataupun campur kode untuk menyampaikan maksud pesan kepada mitra
wicaranya. Akibatnya peranan bahasa Jawa tidak menjadi kode utama dalam
berkomunikasi. Namun demikian, kita masih patut bersyukur karena bahasa Jawa
masih banyak dipakai di ranah keluarga dan masyarakat walaupun dalam konteks
yang terbatas.
Bahasa Jawa sebagai alat
berfikir dan komunikasi budaya mayarakat tutur Jawa patut mendapatkan perhatian
lebih dari berbagai kalangan karena akhir-akhir ini pola pergeseran bahasa Jawa
agak menghawatirkan. Ada kecenderungan keluarga muda etnis Jawa menggunakan
bahasa Indonesia lebih dominan ketimbang bahasa ibunya saat mereka
berkomunikasi dengan anggota keluarganya. Hal ini lambat laut tentu akan
memudarkan kompetensi berbahasa Jawa anak-anak mereka. Anak-anak mulai merasa
asing dengan bahasa dan budayanya sendiri. Mereka akan merasa ribet kalau
berbicara dengan bahasa Jawa. Bahasa Jawa dianggap tidak praktis lagi digunakan
di era informasi saat ini. Padahal dalam Bahasa Jawa terkandung nilai-nilai
budaya yang adi luhung, diantaranya adalah nilai sopan santun. Dalam masyarakat
Jawa sopan santun harus dilakukan termasuk dalam berbicara. Bagi orang Jawa
orang kedua saat dipertimbangkan dalam pemakaian dan pilihan bentuk bahasa.
Mereka perlu memperhatikan tingkat tutur (speech
levels ). Jika sang anak berbicara dengan orang tua memakai bahasa
Indonesia, mereka akan dicap tidak sopan
dan tidak menghargai orang tua.
Perubahan sikap
berbahasa ini dalam waktu lama akan menyebabkan banyak kosa kata bahasa Jawa
tergantikan dengan kosa kata dari bahasa Indonesia atau bahasa Asing, dan
apabila tidak terkendali dapat menjadi lonceng kematian bahasa Jawa sendiri
(Bolinger, 1975). Hilangnnya suatu
bahasa, berarti hilangnnya budaya dan peradapan penuturnya. Oleh karena itu,
UNESCO mencanangkan Bahasa Ibu diajarkan dan sekaligus sebagai bahasa
pendidikan. Bahasa ibu bila diperdayakan akan mampu berperan sebagai bahasa
ilmu agama, kebudayaan, dan ipteks. Bahasa Jawa juga memiliki yang sangat
penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Masih banyak
pesantren-pesantren tradisional yang
dalam mengajarkan agama masih memakai
bahasa Jawa, khususnya dalam belajar membaca kitab kuning (kitab berbahasa Arab
ditulis dengan aksara Arab gundul).
Memang tidak bisa
dipungkiri globalisasi memarjinalkan bahasa dan sastra daerah. Saat ini lebih
dari 100 % mahasiswa program studi bahasa asing lebih mengenal sastra asing
daripada sastra daerah (Alwasilah, 2009). Parahnya bahasa dan sastra daerah
kurang atau bahkan tidak pernah mendapatkan perhatian apalagi sebagai bahan kajian
bagi mahasiswa, guru atau dosen bahasa asing. Bahkan pemerintah daerah pun
masih kurang perduli dengan nasib bahasa Jawa. Masih banyak kabupaten di Jawa
yang belum memiliki kantor bahasa yang berperan untuk melestarikan bahasa dan
budaya Jawa. Padahal dalam undang-undang No.24 Tahun 2009 pasal 42 ayat 1
menyatakan pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina dan melindungi bahasa
dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan
bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian
dari kekayaan budaya Indonesia. Pasal dan ayat ini menyiratkan pemerintah
daerah wajib menganggarkan dalam APBDnya dana untuk pengembangan, dan pembinaan
bahasa dan sastra daerah sebagai bentuk tanggung jawab dalam rangka ikut
mempertahankan bahasa Jawa.
Fishman (dalam
Sumarsono, 1993) menjelaskan pemertahanan bahasa terkait dengan perubahan dan
stabilitas penggunaan bahasa di satu pihak dengan proses psikologis, sosial,
dan kultural di pihak lain dalam masyarakat multibahasa. Ketidakberdayaan
bahasa minoritas mengikuti pola yang sama. Awalnya adalah kontak bahasa
minoritas dengan bahasa kedua, sehingga mengenal dua bahasa dan menjadi
dwibahasawan, kemudian terjadilah persaingan dalam penggunaannya dan akhirnya
bahasa asli bergeser atau punah. Kajian ini pernah dilakukan di Australia dan
Inggris, juga Kanada (Sumarsono, 1993).
Untuk
melakukan tindakan pemertahanan bahasa, diperlukan sinergi semua yang
berkepentingan dan bertanggung jawab, yaitu pemerintah, masyarakat, para ahli
dan peneliti bahasa, serta para budayawan. Sinergi ini dapat diwujudkan dalam
kegiatan penelitian, pembuatan bahan ajar mulok, dan sosialisasi. SK. Menteri
pendidikan No.22/2006 mengizinkan sekolah-sekolah di daerah untuk membuat
kurikulum muatan lokal bahasa daerah. Dalam pembuatan bahan ajar bahasa Jawa
perlu diperhatikan kebutuhan pengguna atau analisis kebutuhan dan juga analisis
situasi. Kebutuhan pengguna antara lain; bahasa Jawa yang dipakai sehari-hari dan
sebagai bahasa kebudayaan. Sedangkan analisis situasi terkait dengan faktor
sosial dan politik suatu daerah.
Bahan pembelajaran dapat
diambil dari cerita-cerita rakyat yang dapat digunakan untuk mengajarkan unsur
kebahasaan dan juga bisa digunakan untuk mengajarkan etika, moral, dan budi pekerti.
Yang menjadi kendala dalam pengajaran bahasa Jawa di sekolah saat ini terkait
dengan dua aspek, yaitu materi dan
tenaga guru. Dari aspek materi, materi bahasa Jawa tidak dikaitkan dengan
dialek dan budaya lokal, materi jarang mengandung ungkapan-ungkapan yang
benar-benar dipakai dalam kehidupan sehari-hari daerah tersebut, akibatnya
tidak ada sinergi antara pendidikan bahasa di sekolah, dengan kenyataan di
masyarakat. Dari aspek tenaga pendidik atau guru, banyak pengajar bahasa Jawa
yang bukan keahliannya, banyak guru bahasa Jawa yang dirangkap oleh guru bahasa
Indonesia bahkan ada yang dirangkap oleh guru bahasa asing. Jadi, dari
kompetensi guru banyak yang tidak memenuhi syarat. Padahal pengajaran bahasa
dibutuhkan ketrampilan yang mumpuni baik dalam tataran kebahasaan maupun dalam kesastraan
dan kebudayaanya.
Kemudian, dari
sosialisasi, di sekolah juga perlu
diadakan hari atau minggu bahasa Jawa, artinya dalam komunikasi informal di
sekolah guru dan siswa wajib menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Jawa juga dipakai
para guru yang mengajar siswa yang masih
kesulitan dalam memahami bahasa Indonesia, terutama di kelas satu, dua dan tiga
di sekolah dasar. Lalu dari sisi keluarga,
mulai gunakanlah bahasa Jawa untuk berkomunikasi dengan anak, istri dan
suami. Sebab pemertahanan yang paling efektif adalah di ranah keluarga. Jika
banyak keluarga Jawa sudah tidak memakai bahasa Jawa, maka bahasa Jawa akan
terancam punah. Tentu kepunahan bahasa Jawa akan menjadi kiamat bagi orang
Jawa. Yang terakhir, perlu didirikan Pusat Studi Budaya Jawa di perguruan
tinggi daerah, guna menunjang usaha-usaha dokumentasi dalam bentuk
penelitian-penelitian dan pesebaran hasil hasil penelitian di masyarakat. kita
seharusnya jangan kalah dengan negara lain, antara lain Suriname dan Belanda
yang keduanya memiliki Pusat Studi Jawa yang sangat lengkap dan didukung
tenaga-tenaga ahli yang memadai.
No comments:
Post a Comment