Humor dan
Praktiknya di Masyarakat
Ahdi Riyono
Dosen di Universitas Muria Kudus
Maraknya tanyangan lawakan cerdas dikenal dengan stand up comedy di beberapa stasiun
televisi swasta Indonesia akhir-akhir ini seolah telah menjadi gaya hidup
masyarakat modern. Lawakan jenis ini mendadak menjadi populer sebab dapat
dijadikan alternatif hiburan masyarakat saat
masyarakat jenuh dengan hiruk pikuk berita politik, serta karut marut
kebijakan publik pemerintah. Stand up
comedy sebetulnya berakar dari budaya Eropa dan Amerika, dan sudah ada
sejak abad ke-18.
Secara umum, stand
up comedy adalah lawakan atau banyolan yang dilakukan di atas panggung oleh
seseorang dengan mempermainkan pemakaian bahasa (language games) berdurasi 10 sampai 45 menit. Sebetulnya melawak, lelucon, dagelan, guyon
maton, sudah sangat lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Dalam beberapa
kesenian tradisional, seperti wayang, ketroprak, dan ludruk bisa dipastikan ada
adegan dagelannya. Bahkan ceramah agama yang tanpa diselingi humor, audiennya
cenderung ngantuk, dan tidak konsen. Jadi, tanpa humor wacana apapun akan nampak kaku dan
kering.
Oleh karenanya,
tak ada seorang pun yang tidak pernah berhumor. Hanya saja perbedaan
humor antara orang satu dengan lainnya terletak pada frekuensi dan tujuannya.
Ada orang yang berselera humor tinggi dan ada yang rendah.
Berdasarkan sebuah survey dari Lembaga Survey Research
Indonesia (SRI) 50 % dari sepuluh mata acara yang paling digemari di Jakarta
adalah program humor atau komedi (Yuniawan, 2005). Bahkan Frank Caprio
mengatakan humor memiliki perang penting dalam kehidupan kita sampai dia
menyamakannnya dengan kebutuhan oksigen bagi paru-paru manusia.
Dengan teknik lawakan, aneka warna gagasan yang lembut
sampai yang sangat kasar atau keras dapat tersampaikan dengan elegan dan hampir
zonder konflik. Tapi perlu diingat humor dibedakan atas dua jenis berdasarkan
konteksnya, yaitu humor, dan tumor (Rohmadi, 2008). Humor adalah sesuatu yang
dapat membuat penikmat humor tersenyum, tertawa, dan senang, sementara tumor adalah humor yang
diciptakan dengan kata-kata, sikap yang lucu, baik verbal maupun non verbal
yang membuat penikmatnya jadi geram, tersinggung, marah, dan bahkan sakit hati.
Tumor terjadi jika humor berlebihan. Sementara itu, Freud membagi humor menurut
motivasinya, yaitu humor yang dibuat tanpa motivasi dikenal sebagai Comic sedangkan humor yang sengaja
mencapai kesenangan melalui penderitaan orang lain disebut Joke, misalnya satir, agresi, dan dagelan.
Di Indonesia
terdapat kelompok dagelan atau humor yang sangat terkenal pada zamannnya. Ada
Bagito Cs, D’ Bodor, Jayakarta Group, Kwartet Jaya, Warkop DKI, dan Srimulat.
Hanya saja kultur komedi cerdas misalnya yang mengadalkan kata-kata cerdas
telah dilakukan dan dikenalkan oleh Warkop DKI, dan Bagito Cs. Sedangkan di era
mellenium, almarhum Taufik Savalas menghadirkan aksi humoris yang mirip dengan stand up comedy saat ini. Stand up comedy Indonesia sebetulnya
telah diawali oleh Iwel. Dia adalah comic pertama yang tampil membawakan stand up comedy di layar kaca dalam
acara Bincang Bintang tahun 2005. Di sinilah awal kemunculan stand up comedy. Ironisnya pada waktu
itu, sinarnya langsung meredup.
Humor Indonesia tentu berbeda dengan humor ala Amerika.
Perbedaan terjadi karena faktor sosio-budaya yang berbeda dan terkait dengan
konteks (siapa, kapan, di mana). Oleh karena itu, sebuah humor dapat dimuculkan
dalam sebuah budaya tertentu. Indonesia
memiliki hubungan vertikal yang tajam antara orang tua-anak, penguasa-rakyat
yang tidak memungkinkan kelakar kritik terbuka agresif. Sedangkan dalam budaya
Amerika humor agresif dan terbuka diterima karena yang menjadi target humor
sudah terbiasa dan dengan cepat dapat membalas atau mengalihkan sehingga
pembuat humor dijadikan target berikutnya. Humor agresif terbuka akan menyakitkan
manakala si target humor tidak berhasil melakukan serangan balik.
Dalam budaya kita, masalah seks juga tidak dapat
dibicangkan secara terbuka, tetapi cenderung menggunakan humor etis atau agama.
Contoh, seorang pendeta protestan seperti biasanya mengadakan kunjungan ke
rumah jamaatnya yang baru. Suatu hari ia
mengunjungi rumah jamaatnya yang aktif sekali mengikuti kebaktiannya. Setelah
ngobrol ke sana ke mari, Pak Pendeta bertanya, “ sebenarnya apa yang menarik
hati Bapak sehingga memeluk agama Kristen?” “Begini Pak Pendeta, “jawabnya
dengan polos, “saya dengar, Yesus itu orang Kudus” (Dananjaya, 1988). Pada
suatu hari seorang mahasiswa lari terbirit-birit menuju kampus. Kemudian ia
ditanya oleh kawan-kawannya kenapa sampai lari terbirit-birit. Ia pun
menceritakan bahwa ia tadi akan berkelahi dengan seseorang, namun setelah
melihat musuhnya ia langsung lari. Teman-temannya kembali bertanya apakah
musuhnya itu berbadan besar. Dan jawabnya, “Anak kecil....tetapi Ambon....”
Kebangkitan komedi
cerdas saat ini membawa angin segar bagi bangsa Indonesia, karena dengannya,
bangsa kita tambah cerdas dan kritis. Dalam kaitannya dengan pembelajaran
logika berbahasa, humor dapat dijadikan bahan ajar berbahasa di sekolah. Karena
berhumor memerlukan pengetahuan berbahasa yang baik, cara memilih diksi, cara
menggunakan pertentangan atau plesetan yang dapat menciptakan kelucuan. Contohnya,
‘malioboro, malioboro, wis malio boros wae mas’. ‘ Bali wae neng djokdja’,
Djokdja, Djok saja. More tea please. Tjap Jahe.
Jadi, lewat komunikasi jenaka yang berupa
banyolan-banyolan itu, distansi (jarak) sosial budaya akan dapat dikontrol, dan
akan dapat diatur. Masyarakat kita dikenal dengan ramah tamah, dan sopan
santun, karenanya ketidaklangsungannya dalam bertutur, tidak aneh apabila
mereka sering berbosa basi, dan berjenaka saat sedang melakukan tutur sapa. Semakin
orang piawai dengan menggunakan humor, maka ia akan semakin mudah bergaul dan
beradaptasi dengan masyarakat. Apalagi bagi orang Jawa penggunaan sanepa yang
berisi kejenakan menjadi dasar penilaian apakah orang dikatakan sopan dan
tidak.
Manfaat oarang berhumor juga dikemukakan oleh dunia
kedokteran. Para ahli kedokteran dari Universitas maryland, Amerika Serikat,
menemukan fakta bahwa humor dapat memperbaiki fungsi pembuluh darah. Dari hasil
pengamatannya, mereka yang menonton film komedi
atau humor dapat tertawa lepas, pembuluh darahnya mengembang 22 % lebih
cepat dari biasanya. Sebaliknya yang menonton film horor, pembuluh darahnya
justru mengembang 35 % lebih lambat. Dengan demikian ternukti bahwa humor
memberi pengaruh yang besar bagi kesehatan.
No comments:
Post a Comment