Monday, February 23, 2009

PENGUNGKAPAN MAKNA ASPEKTUALITAS REDUPLIKASI DALAM BAHASA JAWA: KAJIAN MORFOLOGI

Oleh Ahdi Riyono

Abstract

Reduplication can be divided into two categories, namely total reduplication, and partial reduplication. The reduplication in Javanese can be analyzed to discover the meaning of aspectuality. Actually, there are eight aspectual meanings found in Javanese through reduplication process. They consist of iterative, continuative, durative atenuative, durative deminutive, iterative reciprocative, habituative, ingressive, and continuative intensive.

Key word: reduplication, aspectuality, and meaning.





1. Pendahuluan


Di dalam linguistik umum terdapat tiga subkategori tata-bahasa yang berurusan dengan semantik verba, yakni aspektualitas, temporalitas dan modalitas. Menurut Tadjuddin (2005:3) aspektualitas dan temporalitas mempelajari sifat-sifat keberlangsungan situasi (yaitu gejala luar bahasa yang berupa peristiwa, proses/aktivitas, keadaan) dilihat dari segi waktu yang menyertai keberlangsungan situasi tersebut, sedangkan modalitas mempelajari situasi dari sudut pandang bermacam-macam sikap pembicara terhadap situasi yang berlangsung.
Ketiga bidang kajian linguistik itu dalam bahasa-bahasa itu diungkapkan melalui proses morfologi yang luas dan teratur. Adapun studi tentang aspektualitas bisa dikatakan rumit. Oleh karena itu, studi tentang aspektualitas merupakan lahan yang subur bagi para peneliti dan karena itu pula, tidaklah mengherankan apabila dalam hal ini pandangan para pakar cukup beragam. Tadjuddin (2005: 19) mengusulkan pembagian aspektualitas ke dalam dua kelompok besar, yaitu bentuk morfologi dan bentuk sintaksis. Bentuk morfologi terdiri atas (1) aspek (kategori gramatikal/infleksional/paradigmatik atau disebut juga gramatikal terbuka) dan (2) aksionalitas. (kategori leksiko-gramatikal atau disebut juga gramatikal tertutup) dan (3) makna aspektualitas inheren verba (MAIV, kategori leksikal). Adapun bentuk sintaksis terdiri atas aspektualitas pada tataran klausa, yang terdiri atas frasa verba, /predikat, frasa keterangan, frasa nomina, dan aspektualitas pada tataran kalimat.
Sebagaimana diungkapkan Tadjuddin (1993: 3) bahwa aspektualitas dapat diungkapkan melalui berbagai macam cara atau bentuk, baik secara morfologis, maupun sintaksis. Namun mengingat luasnya permasalahan, pembahasan dalam makalah ini hanya dibatasi pada pembahasan dalam bidang morfologi, khususnya dalam pengungkapan makna aspektualitas melalui reduplikasi dalam bahasa Jawa.

2. Kajian Pustaka
2.1 Pengertian Aspektulitas


“Aspek” adalah masalah sudut pandang (perspektif) pembicara tentang suatu situasi, misalnya aspek perfektif (peristiwa utuh atau lengkap), aspek imperfektif (sedang berlansung), aspek inkoatif (titik awal), aspek kontinuatif (keberlanjutan), aspek egresif (titik akhir), aspek iteratif (keberulangan). Adapun definisi lainnya menurut Sumarlam (2005: 27) aspek sebenarnya bukan merupakan sudut pandang pembicara tetapi sifat situasi yang digambarkan, apakah itu statis atau dinamis, terminatif atau duratif, terikat atau tidak terikat, kontinu atau iteratif. “Aspek” yang dirumuskan dengan cara ini lebih tepat disebut dengan istilah Jerman “Aktionsart” atau ragam tindakan.
Istilah “aspektualitas”, sebagaimana disarankan oleh Tadjuddin (2005: 5) sebagai terjemahan istilah Rusia “ aspektual nost” (Bonarko, 1971; dan Maslov, 1978) dan istilah Inggris “aspectuality” (Dik, 1989), digunakan sebagai konsep umum yang meliputi baik aspek maupun aksionalitas. Aspek merupakan kategori gramatikal (morfologi infleksional), sedangkan aksionalitas merupakan kategori leksiko-gramatikal (Tadjuddin, 1993:24). Penggunaan istilah aspektualitas (aspectuality) sebagai konsep umum yang secara tersurat atau tersirat menggambarkan dua gejala luar bahasa, yaitu unsur waktu (time, temporal, moment), dan unsur situasi (event, action, process, activity). Atas dasar ciri-ciri itulah Tadjuddin (1993) menegaskan bahwa aspektualitas berurusan dengan macam-macam sifat unsur waktu internal situasi. Dalam hal ini perlu dibedakan antara aspektualitas dan temporalitas sebab aspektualitas berurusan dengan unsur waktu yang bersifat internal sedangkan, temporalitas berurusan dengan unsur waktu yang bersifat eksternal (Djajasudarma, 1985: 75, 1986: 34; Tadjuddin, 1993: 25; Sumarlam, 2004: 28).
2.2. Cara-cara Pengungkapan Makna Aspektulitas
Istilah yang mengacu pada jenis-jenis makna aspektualitas ialah bentuk kata yang lebih sederhana seperti inkoatif, ingresif, progresif, adapun batasan aiatu pengertian masing-masing diambil dari batasan atau pengertian yang dikemukakan oleh Tadjuddin (1993:65-74).
(1). Inkoatif
Makna inkoatif menggambarkan situasi yang memberikan tekanan pada permulaan keberlangsungan. Dalam BI, makna aspektualitas inkoatif dapat diamati pada penggunaan partikel pun dan lah bersama verba aktivitas dan verba statis atau secara eksplisit melalui penggunaan kata mulai. Dalam BJ, makna aspektualitas inkoatif dapat diungkapkan dengan penggunaan pemarkah frasa verbal wiwit’mulai’ dan lekas’mulai’.
(2). Ingresif
Makna aspektualitas ini sebetulnya sama dengan makna inkoatif, hanya perbedaannnya pada penekanan pada segi permulaan keberlangsungannya. Sedangkan makna aspektualitas ingresif memberikan gambaran situasi yang tak terpisahkan antara saat permulaan dengan kelanjutan. Dalam BJ dapat diamati penggunaan kata wis’sudah’ dan pemarkah frasa adverbial durasi wiwit ’sejak’. Dalam BI dapat diamati dengan penggunaan sudah, telah bersama verba statis, dengan pemarkah frasa adverbia sejak.
(3). Progresif
Makna aspektualitas progresif menggambarkan situasi yang keberlangsungannya bersifat sementara. Dalam BJ dapat diamati damalam penggunaan pemarkah frasa verba lagi atau pinuju’sedang’. Sedangkan dalam BI menggunakan kata sedang.


(4). Terminatif
Makna aspektualitas ini menggambarkan situasi yang memberikan tekanan pada segi akhir keberlangsungannya. Dalam BJ, makna ini dapat diamati pada penggunaan pemarkah frasal verbal bubar’selesai, usai dan pemarkah frasa adverbial durasi nganti’sampai’, ‘hingga’. Dalam BI dipergunakan selesai, usai, dan adverbial durasi sampai, hingga.
(5). Semelfaktif
Makna aspektualitas semelfaktif menggambarkan situasi yang berlangsung hanya satu kali dan biasanya bersifat sekejap. Dalam BJ makna aspektualitas ini dapat diungkapkan dengan penggunaan adverbial ujug-ujug’tiba-tiba’, sanalika ‘seketika’ ngerti-ngerti ‘tahu-tahu dan sebagainya. Sedangkan dalam BI dengan menggunakan adverbial tiba-tiba, seketika, sekilas, dan sekejap.
(6). Iteratif/ frekuentatif
Makna aspektualitas iteratif menggambarkan situasi yang berlangsung berulang-ulang. Dalam BJ, makna aspektualitas ini dapat diamati antara lain pada penggunaan verba bersufiks –i seperti nuthuki’memukuli’, njiwiti ‘mencubiti’ atau verba reduplikasi dengan dasar pungtual tipe nuthuk-nuthuk ‘memukul-mukul, nendhang-nendhang ‘menendang-nendang’ dsb atau pada penggunaan pemarkah frasa verbal kerep ‘sering’, tansah ‘selalu’ dan sebagainya. Sedangkan dalam BI makana iteratif dapat diamati antara lain, pada penggunggaan verba reduplikasi dengan dasar verpa pungtual tipe memukul-mukul, menendang-nendang, penggunaan sufiks–i pada verba pungtual tiep memukuli, memotongi atau adverbial aspektualiser selalu, berulang-ulang, berkali-kali.
(7). Habitualitif
Situasi habituatif menurut Tadjuddin (1993:8) adalah bagian dari situasi iteratif, bukan sebaliknya. Dengan perkataan lain, situasi habituatif selalu mengandung makna habituatif. Dalam BJ makna aspektualitas habituatif dapat diungkapkan dengan pemarkah leksikal biasane’biasanya’, adate’biasanya’, kulina ‘biasa, dan kulinane’ biasanya’. Dalam BI menggunakan terjemahannya.
(8). Kontinuatif
Makna aspektualitas kontinuatif menggambarkan situasi yang berlangsung secara terus-menerus dalam rentang waktu yang relatif lama. Dalam BJ makna aspektualitas ini dapat diungkapkan dengan penggunaan pemarkah terus-terusan ‘terus menerus’ dan tetep’ tetap’. Sedangkan dalam BI dapat diungkapkan melalui adverbia durasi seperti lama, sebentar, terus-menerus, tak henti-hentinya, dsb.
(9). Kompletif
Makna aspektualitas kompletif atau resultatif menggambarkan situasi yang berlangsung secara bulat dan menyeluruh, dari awal sampai akhir dan biasanya disertai hasil. Dalam BI biasanya digunakan pemarkah verbal wis’ sudah, ‘telah’, ‘rampung’ selesai’ bersama verba aktivitas dan statis. Dalam BI dengan menggunakan terjemahannya.
(10). Duratif
Makna aspektualitas duratif menggambarkan situasi yang berlangsung dalam kurun waktu yang terbatas. Ciri yang menandainya adalah keterbatasan waktu. Makna aspektualitas ini dala BJ dapat diamati, antara lain, pada penggunaan adverbia durasi sedhela’ sebentar’ sawetara wektu’ beberapa saat, sakjam ‘satu jam’ atau pemarkah frasa adverbia durasi sasuwene’selama’, sedangkan dalam BI makna ini dapat diamati dalam penggunaan sebentar, sejenak, satu jam, atau selama.
(11). Intensif
Makna aspektualitas intensif menggambarkan situasi yang menggambarkan secara intensif sehingga diperoleh hasil tertentu. Makna ini dalam BJ nampaknya hanya dapat melalui konteks tertentu, tetapi makna ini dalam artian umum dapat pula diamati, antara lain, pada penggunaan adverbial tipe terus-terusan ‘terus menerus’ dan tanpa kendhat ‘tak henti-hentinya. Sedangkan dalam BI hanya terjemahan dari BJ.
(12). Atenuatif
Makna aspektualitas ini menggambarkan situasi yang berangsung tidak sepenuhnya. Alakadarnya dalam intensitas yang lemah. Dalam BJ antara lain dapat diamati pada penggunaan verba reduplikasi dengan dasar verba statis, dan verba aktivitas tipe lungguh-lungguh’ duduk-duduk’, ngombe-ngombe’ minum-minum, dan ngomong-ngomong.
(13). Diminutif
Makna aspektualitas ini menggambarkan situasi yang keberlangsungannya mengandung makna agak atau melakukan sedikit. Dalam BJ dapat diamati pada verba reduplikasi dengan dasar verba statif, seperti isin-isin ‘malu-malu’, dan mumet-mumet’ pusing-pusing’.
(14) Finitif
Makna aspektualitas ini menggambarkan situasi yang berakhir tanpa indikasi ketercapaian hasil atau tanpa disertai hasil. Dalam BJ dapat diungkapkan dengan kata batal’batal’, wurung’urung’ dan sebagainya.
(15). Komitatif
Makna aspektualitas ini menggambarkan situasi yang merupakan pengantar situasi lain, misalnya ‘mengetuk-ngetuk’ ketika melakukan sesuatu. Bersiul-siul untuk mengiringi sesuatu. Dalam BJ dapat digunakan pemakaian konjungsi karo’ sambil’, dan sinambi’ sambil’, ‘seraya’.




3. Pembahasan

Reduplikasi yang akan dibahas dalam makalah ini adalah reduplikasi yang dalam morfemisnya berfungsi mengungkapkan makna aspektualitas. Tugas pengungkapan makna aspektualitas ini pada umumnya diemban oleh reduplikasi verba atau verba reduplikatif.
Berkenaan dengan pengertian reduplikasi, Moeliono (1988:166) memberikan batasan reduplikasi adalah proses pengulangan kata, baik secara utuh maupun sebagian. Sedangkan Kridalaksana (1983: 143) mengatakan bahwa reduplikasi adalah proses dan hasil pengulangan satuan bahasa sebagai alat fonologis atau gramatikal, misalnya rumah-rumah, tetamu, dan bolak-balik.
Secara garis besar reduplikasi dapat diklasifikasikan mencadi dua macam bentuk, yakni reduplikasi utuh dan reduplikasi sebagian (Sumarlam, 2004: 143). Reduplikasi utuh dalam bahasa Jawa disebut dengan istilah “Dwilingga” (DL). Bentuk reduplikasi ini dapat diklasifikasikan lagi menjadi bagian:
a. Reduplikasi utuh atau DL dengan tidak disertai perubahan vokal, seperti
Celuk  celuk-celuk ‘panggil-panggil’.
Lungguh  lungguh-lungguh ‘duduk-duduk’.
Teka  teka-teka ‘datang-datang’.
Contoh kalimat;
(1). Sarman wis suwe celuk-celuk, ning orak ono sing semau.
Sarman telah lama memanggil-manggil, tapi tidak ada yang menyahut.

(2). Pak wawan lan pak Yappi podho lungguh-lungguh wae ning emperan omah.
Pak wawan dan Pak Yappi sedang duduk-duduk saja di pelataran rumah.

(3). Bu Dwi wis dienteni suwe kok durung teka-teka.
Bu Dwi sudah ditunggu lama kok belum datang-datang.

b. Reduplikasi utuh dengan disertai perubahan bunyi vokal atau disebut “dwilingga salin swara” (DLS). Sementara itu, Poejosoedarmo (1981: 1231) menyebutnya dengan dwilingga salin suara . DLS ialah proses perulangan di dalam bahasa Jawa yang dibentuk dengan mengulangi seluruh bagian kata dasar disertai dengan perubahan bunyi vokal kata dasar itu.
Watuk  wotak-watuk ‘ berkali-kali batuk’
Celuk  celak-celuk ‘ berkali-kali memanggil’
Tangi  tonga-tangi ‘ berkali-kali bangun’.
Contoh kalimat;
(1). Pak John nek wis bengi wotak-watuk wae.
Pak John kalau sudah malam batu sering batuk-batuk.

(2). Aja celak-celuk wawan ning kene, dheweke lagi sinau.
Jangan memanggil-manggil wawan di sini, ia sedang belajar.

(3). Anake mbak Dwi lagi loro, nek turu tonga-tangi.
Anak Mbak Dwi sedang sakit, kalau tidur sering bangun.

Contoh-contoh di atas adalah contoh reduplikasi yang dibentuk dari kata dasar watuk, celuk, dan tangi dengan cara mengubah bunyi vokal [u] menjadi [a], [a] menjadi [o], [u] menjadi [a] dan bunyi [I] menjadi [a] dan [a] menjadi [o] pada kata dasar.
c. Reduplikasi jenis a dan b dengan disertai nasal seperti:
Tiba  niba  niba-niba ‘dengan sengaja menatuhkan diri’.
Sambet nyamber nyamber-nyamber ‘ menyambar-nyambar’.
Pijet  mijet  mijet-mijet ‘memijat-mijat’
Tutup nutup nutup-nutup ‘berkali-kali menutup.
Reduplikasi sebagian, dalam BJ disebut dengan istilah “dwipurwa” (DP) jika yang diulang suku kata depan atau “dwiwasana” (DW) jika yang diulang suku kata bagian belakang.
a. Reduplikasi sebagian dari suku kata depan atau DP mengalami perubahan bunyi vokal, selain vokal [], yaitu [u], [a], [i], [ ], [o], dan [e] berubah menjadi [], sedangkan kata yang suku kata pertamanya bervokal [] tidak mengalami perubahan. Contoh:
1. vokal [u], [a], [i] berubah menjadi []:
Tuku  tutuku  tetuku [t tuku] ‘membeli’
Sambat  sasambat sesambat [ssambat]’ merintih-rintih’
Siram sisiram  sesiram [sseiram] ‘ menyiram’
b. Reduplikasi sebagian dari suku kata bagian belakang atau DW, pada umumnya disertai sufiks-an, misalnya:
Cekikik  cekikik-cekikik cekikik+an cekikikan ‘tertawa kecil’
Cekak  cekakakcekakak-cekakak  cekakak+ancekakakan‘tertawa lebar’
Dremil dremimil ‘banyak memberi nasehat’ (karena perasaan khawatir)
Cenang cenanangcenanang-cenanangcenanang+ancenanangan ‘berjalan dengan mata liar’
Bentuk-bentuk reduplikasi di atas dapat disertai afiks-afiks tertentu atau mengalami penambahan afiks (reduplikasi berkombinasi dengan afiksasi), misalnya:
Perang  perang-perang+an perang-perangan‘berpura-pura berperang’
Dodol  dodol-dodol+andodol-dodolan ‘berpura-pura berjualan’
Antem antem-antem+anantem-anteman ‘berpura-pura memukul’
3.1. Reduplikasi verba bermakna Iteratif
Makna iteratif (“keberulang-ulangan, keberkali-kalian, “ pluraritas tindakan’, “kualitas tindakan repetitif”) terdapat pada verba reduplikatif dengan D sebkelas verba pungtual nuthuk ‘memukul’, watuk ‘batuk’, dhehem ‘berdehem’, manthuk ‘mengangguk’, nothok ‘mengetuk’, keplok ‘bertepuk tangan, dsb, yang dapat ditafsirkan ‘berkali-kali melakukan apa yang disebutkan oleh bentuk dasarnya (D). jadi verba reduplikatif berikut bermakna iteratif;
Nuthuk-nuthuk ‘berkali-kali memukul’
Watuk-watuk ‘berkali-kali batuk’
Dhehem-dhehem ‘berkali-kali dhehem’.
Contoh kalimat;
(1). Pak guru nuthuk-nuthuk mejo mergo bocah-bocah podho rame.
Pak guru memukul-mukul meja karena anak-anak sedang ramai.

(2). Aku mau krungu dheweke watuk-watuk.
Aku tadi mendengar dia batuk-batuk.

(3). Kae, Fandi dhehem-dhehem mergo lagi kepethuk pacare.
Itu, Fandi dhehem-dhehem karena sedang ketemu pacarnya.

Ke dalam kelompok verba reduplikatif ini termasuk D subkelas verba pungtual yang mengalami proses pengulangan “dwilingga salin swara” (DLS) seperti:
Nyelak-nyeluk ‘berkali-kali memanggil’
Nutap-nutup ‘berkeli-kali menutup’
Mbengak-mbengok ‘berkali-kali berteriak’
Verba reduplikatif bentuk dwilingga berikut juga bermakna iteratif:
Ngidak-idak “ menginjak-injak’
Ngethok-ngethok ‘ memotong-motong’
Nyamber-nyamber ‘menyambar-nyambar’
Contoh kalimat dari dua kata di atas;
(1). Kae, adhimu mbengak-mbengok nyeluki kue.
Itu, adikmu berteriak-teriak memanggil-manggil kamu.

(2). Manuk Gagak kae nyamber-nyember golek mangsa.
Burung Gagak itu menyambar-nyamber mencari mangsa.


3.2. Reduplikasi verba bermakna kontinuatif.
Makna kontinuatif (“terus-menerus”, “kualitas tindakan berkesinambungan”) terdapat pada verba reduplikasi dengan D subkelas verba aktivitas tuku ‘membeli’, mlaku ‘berjalan, menjadi nenuku ‘terus-menerus membeli, mlaku-mlaku ;terus-menerus berjalan, dsb yang menggambarkan situasi tunggal yang berlangsung secara berkepanjangan. Makna demikian dapat ditafsirkan dengan terus-menerus atau lama melakukan perbuatan yang disebutkan oleh D. jadi, mlaku-mlaku ‘berjalan-jalan’, misalnya dapat ditafsirkan dengan terus menerus /lama (melakukan perbuatan) berjalan atau terus-menerus/lama berjalan dan tidak mungkin ditafsirkan ‘berkali-kali berjalan.
Termasuk ke dalam kelompok verba reduplikatif jenis ini ialah:
eling  ngeling-eling ‘terus-menerus mengingat’
elus  ngelus  ngelus-elus ‘terus menerus membelai’
guyu ngguyu ngguyu-ngguyu ‘terus menerus tertawa’
Contoh kalimat;
(1). Bu Erna ngelus-elus rambute Wulan kebak rasane trenyuh.
Bu Erna terus-menerus membelai rambut Wulan dengan perasaan haru.

(2). Dheweke ngeling-eling kedadean kang mentas bae dialami.
Dia terus-menerus mengingat kejadian yang baru saja dialami.

(3). Maimun nek kepethuk Dewi musti ngguya-ngguyu.
Maimun kalau ketemu Dewi mesti ketawa-tawa.

3.3. Reduplikasi Verba bermakna duratif-atenuatif
Makna atenuatif (ketidaktentuan tujuan tindakan, tanpa tujuan yang sebenarnya, kualitas tindakan santai) terdapat pada verba reduplikatif dengan D subkelas verba statis tipe lungguh-lungguh’ duduk-duduk’, turu-turu ‘tidur-tidur’, dan sub kelas verba aktivitas tipe mlayu-mlayu ‘berlari-lari’, dolan-dolan ‘bermain-main, ngobrol-ngobrol ‘berbincang-bincang’, ngombe-ngombe ‘minum-minum’, dsb yang dapat ditafsirkan dengan tidak sungguh-sungguh melakukan. Dari segi makna aspektualitas tafsiran di atas cenderung bermakna duratif sebab perbuatan yang bermakna atenuatif sebenarnya menggambarkan situasi yang berlangsung dalam waktu tertentu/terbatas.
Lungguh-lungguh ‘tidak dengan sungguh-sungguh duduk’
Turu-turu ‘tidak dengan sungguh-sungguh tidur’
Dolan-dolan ‘bermain-main tanpa tujuan yang jelas’
Verba reduplikatif bentuk dwipurwo (DP), berkombinasi dengan afiks (sufiks-an) (DP-an) berikut ini juga menyatakan ‘ketidaktentuan tujuan’ (atau jika mempunyai tujuan, perbuatan itu dilakukan dengan santai atau sekadar untuk mencari kepuasan saja), misalnya:
Teturon ‘ tiduran’ (dilakukan dengan santai untuk mencari kepuasan)
Tetembangan ‘bernyanyi-nyanyi’ (untuk mencari kepuasan)
Jejogetan ‘ menari-nari’ (untuk mencari kepuasan)
Ke dalam kelompok ini termasuk verba reduplikatif yang cenderung bernuansa arti kepura-puraan, misalnya:
Turu-turunan ‘tidur-tiduran’
Dodol-dodolan ‘ berpura-pura jualan’
Perang-perangan’ berpura-pura perang’
Berikut ini adalah contohnya:
(1). Ana saweneh karyawan sing ana ing kantor mung lunggah-lungguh wae.
Ada sebagian karyawan yang berada di kantor hanya duduk-duduk saja.

(2). Dheweke mrana-mrene mung dolan-dolan wae.
Dia ke sana ke mari hanya bermain-main saja.

(3). Saben esuk, aku turu-turu wae kok.
Setiap pagi, aku tidur-tidur aja.

(4). Sinambi teturon leyeh-leyeh ana ing lincak utawa amben, padha nglegakake ura-ura tembang dhandhanggula, sinom, megatruh, lan sapananggulangane.
Sambil tidur-tiduran (dengan santai) di balai-balai, mereka memuaskan (denga cara) menyenyikan tembang dhandhanggula, sinom, megatruh, dan sejenisnya.

(5). Si Arif tetembangan kidung lirik kanti swara sing ulem.
Si Arif menyanyikan (dengan santai untuk mencari kepuasan) kidung secara pelan dengan suara merdu.

(6). Dene Si begijil sabalane awan bengi jejogedan seneng-seneng.
Adapun Si begijil dan kawan-kawannya siang malam menari-nari bersenang-senang



3.4. Reduplikasi verba bermakna duratif-diminutif
Makna diminutif (ala kadarnya, agak) terdapat pada verba reduplikatif dengan D subkelas verba statif, seperti isin-isin ‘malu-malu’, mumet-mumet ‘pusing-pusing’, wedi-wedi ‘takut-takut’, gatel-gatel ‘gatal-gatal’ yang dapat ditafsirkan sedikit mengalami apa yang disebutkan oleh D atau sedikit D atau agak D. Tafsiran demikian lebih tepat diidentifikasi sebagai bermakna duratif dari pada makna aspektualitas lainnya, sehingga secara teknis dapat disebut “aspektualitas duratif-diminutif. Jadi verba reduplikasi berikut bermakna duratif-diminutif:
Isin-isin ‘sedikit/agak malu’
Mumet-mumet ‘ sedikit/agak pusing’
Wedi-wedi ‘sedikit/agak takut’.
Berikut adalah contoh-contohnya:
(1). Maimun ijeh isin-isin nek ngomong karo Dewi.
Maimun masih sedikt malu kalau berbicara dengan Dewi.

(2). Senajan mumet-mumet aku ya tetep teka.
Meskipun adikit/agak pusing saya tetap datang.

(3). Dewheke isih wedi-wedi ing babagan iku.
Dia masih agak takut dalam hal itu.

3.5. Reduplikasi Verba bermakna Iteratif Resiprokatif
Makna resiprokatif (“saling”, “resiprokal”) terdapat pada D subkelas verba pungtual, aktivitas, dan statis tipe antem-anteman ‘saling memukul’, jiwit-jiwitan ‘saling mencubit’, adhep-adhepan ‘berhadap-hadapan’, dsb yang dapat ditafsirkan dengan saling memberi/melakukan apa yang disebutkan oleh D.
Pada kata tipe antem-anteman ‘pukul memukul’, saling memukul;, misalnya, terkandung pengertian bahwa perbuatan yang dilakukan secara berbalasan (bentuk kesalingan) itu dilakukan beberapa kali atau bahkan berkali-kali, yang jelas tidak hanya sekali. Dari segi sematis aspektualitas, reduplikasi verba bermakna resiprokatif termasuk ke dalam makna iteratif. Dengan demikian, makna aspektualitasnya disebut aspektualitas iteratif resiprokatif, yakni makna aspektualitas iteratif bernuansa resiprokal. , seperti:
Antem-anteman ‘saling memberi pukulan’
Jiwit-jiwitan ‘saling mencubit’
Adhep-adhepan ‘saling berhadapan’
Berikut contoh kalimatnya:
(1). Mahasiswa Teknik lan Fisip UNM antem-anteman sakwuse lomba Badminton ing Jakarta.
Mahasiswa teknik dan fisip saling pukul-pukulan setelah lomba bulutangkis di Jakarta.

(1). Maimun lan Dewi padha jiwit-jiwitan ana ing kelas.
Maimun dan Dewi saling cebut-cubitan di kelas.

(2). Masyarakat Tim-tim pecah dadi 2 blok/golongan, pro integrasi adhep-adhepan karo pro-kamardhikan Tim-Tim.
Masyarakat Tim-Tim terpecah menjadi dua kelompok/golongan, pro integrasi berhadap-hadapan dengan pro-kemedekaan.


3.6. Reduplikatif Verba bermakna Habituatif.
Makna habituatif (“kebiasaan’, “kesukaan”) terdapat pada verba reduplikasi dengan D subkelas verba aktivitas tipe njaluk ‘meminta’ yang mengalami proses pengulangan atau DP menjadi jejaluk ‘meminta-minta’, proses pengulangan DP tipe seperti itu juga tampak pada bentuk verba sebagai berikut:
Nyolong ‘mencuri’  nyenyolong
Mbegal ‘menyamun’ mbebegal
Ngrampok ‘merampok’ ngrerampok
Njarah ‘menjarah’ nggegawa
Makna dari bentuk demikian dapat ditafsirkan dengan ‘biasa’, suka, seperti yang disebutkan oleh D. Dengan demikian, verba reduplikasi berikut bermakna:
Njejaluk ‘biasa/suka meminta-minta’
Nyenyolong ‘biasa/suka mencuri’
Mbebegal ‘biasa/suka menyamun’
Ngrerampok ‘biasa/suka merampok’
Termasuk ke dalam kelompok ini adalah verba reduplikatif dengan D subkelas verba statis seperti dibawah ini:
Nyenyimpen ‘biasa/suka menyimpan’
Nyenyilih ‘biasa/suka meminjam’
Contoh kalimat:
(1). Uwong kuwi kudu sregep, aja njejaluk.
Orang itu harus rajin, jangan meminta-minta.

(2). Kraman sing dimanggalani si Jaka ngrerampok..
Pembrontak yang dipimpin Si Jaka suka merampok.


3.7. Reduplikasi Verba Bermakna Ingresif
Makna aspektualitas ingresif terdapat pada verba reduplikatif dengan D subkelas punktual, statis, dan statis yang mengalami proses pengulangan DL. Verba reduplikatif ini menyatakan arti ‘begitu D’ atau baru saja D’. D subkelas verba pungtual:
tangi ‘bangun’  tangi-tangi ‘begitu/baru saja bangun’
teka ‘datang’  teka-teka ‘begitu/baru saja datang’
D subkelas verba statis seperti:
Krungu ‘mendengar’  krungu-krungu ‘begitu/baru saja mendengar’
Merem ‘terpejam’ merem-merem ‘begitu/baru saja terpejam’.
Bentuk reduplikasi tersebut dapat diparafrasa dengan lagi wae D ‘baru saja D’, atau D dhog ‘begitu D’ (khusus untuk teka ‘datang’). Bentuk perafrasa dengan makna perfektif dan urutan dua kejadian /peristiwa itu dapat diamati contoh berikut:
(1). Tangi-tangi terus nangis.
Begitu bangun terus menangis

(2). Lagi wae tangi terus nangis.
Baru saja bangun terus menangis.

(3). Teka-teka terus turu.
Datang-datang terus tidur.

(4). Teka dhog terus turu.
Begitu datang terus tidur.

3.8. Reduplikasi Verba Bermakna Kontinuatif-Intensif
Makna intensif (penekanan, kesungguhan, intensitas) terdapat pada verba reduplikatif dengan sub-kelas verba aktivitas bentuk DP, seperti memuji ‘memuja’, ndedongo ‘berdoa, nenepi ‘bertapa’ atau bentuk dwiwasana (DW), seperti ndremimil ‘berkata banyak/menasihati (dengan sungguh-sungguh)’. Kata ndedonga ‘maknanya dapat ditafsirkan ‘terus menerus berdoa secara sungguh-sungguh (dengan kesungguhan).
Situasi atau perbuatan yang berlangsung secara terus menerus dalam waktu relatif lama adalah situasi yang menggambarkan makna aspektualitas kontinuatif. Oleh karena itu, secara semantis aspektualitas, situasi demikian itu disebut ‘aspektualitas kontinuatif dengan nuansa intensif.
Di samping reduplikasi bentuk DP dan DW, bentul DL yang didahului dengan kata ingkar seperti ora teka-teka ‘tidak kunjung datang’, ora metu-metu ‘tidak kunjung keluar, dan durung bali-bali ‘belum juga kembali’ juga dapat menyatakan makna intensitas.
Ora teka-teka ‘tidak kunjung datang’
Ora metu-metu ‘tidak kunjung keluar’
Berikut adalah contoh Kalimatnya:
(1). Rewangana memuji supaya adhime enggal waras.
Bantulah berdoa agar adikmu cepat sembuh.

(2). Aja kendhat olehmu dhedonga supaya Kabul penyuwunmu.
Jangan (sekalisekali kamu) berhenti berdoa agar terkabul permohonanmu.

(3). Dheweke ngumbara banjur nenepi ing gunung-gunung lan guwo-guwo.
Ia mengembara lalu bertapa di gunung-gunung dan goa-goa.


(4). Dienteni kawet mau ora teka-teka.
Ditunggu dari tadi tidak kunjung datang.

(5). Diundang bola-bali ora metu-metu.
Dipanggil berkali-kali tidak kunjung keluar.


4. Simpulan

Secara garis besar, reduplikasi dapat diklasifikasikan menjadi dua macam bentuk, yakni reduplikasi utuh, dan reduplikasi sebagian. Reduplikasi utuh dalam bahasa Jawa disebut dengan reduplikasi dwilingga (DL), sedangkan reduplikasi sebagian disebut dwipurwa (DP) jika yang diulang suku kata depan atau dwiwasana (DW) jika yang diulang suku kata bagian belakang.
Pengungkapan makna aspektualitas BJ pada tataran morfologi melalui reduplikasi meliputi makana iteratif (berulang-ulang), kontinuatif (terus menerus), duratif atenuatif (berlangsung dalam durasi tertentu dengan nuasa ketidaktentuan), duratif diminutif (berlangsung dalam durasi tertentu dengan nuansa diminutif, iteratif resiprokatif (berulang-ulang dengan nuansa saling), habituatif (biasa, suka), ingresif (begitu, baru saja), dan kontinuatif intensif (terus-menerus berkesinambungan dengan nuansa intensif, sungguh-sungguh).
Daftar Pustaka

Alwi, Hasan. 1992. Modalitas Dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.

Basuki, Rokhmat.2000. Verba(l)-I dan verba(l)-ake Bahasa Jawa: Kajian Struktur dan Semantik”. Tesis Universitas Padjajaran.

Comrie, Bernard. 1981. Aspect: an Introduction to the Study of Verbal Aspect and Related Problems. Cambridge: Cambridge University Press.

Djayasudarma, T. Fatimah. 1985. Aspek, Kala Adverbial Temporal, dan Modus”. Dalam Bambang Kaswanti Purwo. (ed). Untaian Teori Sintaksis 1970-1980-an. Jakarta: Arcan.

Moeliono, Anton M. et al.1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Cet.1 Jakarta: Balai pustaka.
Poejosoedarmo, Gloria, Wedhawati, Laginem. 1981. Sistem Perulangan dalam Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sudaryanto dkk. 1992. Tata Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sumarlam. 2004. Aspektualitas Bahasa Jawa Kajian Morfologi dan Sintaksis. Surakarta: Pustaka Caraka.

Tadjuddin, Moh. 1993. Pengungkapan Makna Aspektualitas Bahasa Rusia dalam Bahasa Indonesia: Suatu Telaah Tentang Aspek dan Aksionalitas. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

-------------- 2005. Aspektualitas Dalam Kajian Linguistik. Bandung: PT. Alumnni.

No comments: