Wednesday, July 15, 2009

Bahasa

VARIASI FONOLOGIS DAN MORFOLOGIS BAHASA JAWA
DI KABUPATEN PATI


Ahdi Riyono

ABSTRCT


The coastal dialect of Javanese, especially, in the eastern part of northern coastal of Central Java, is interesting to study since there are some dialectal variations, particularly in the phonological levels. Pati Regency is a region which lies on the eastern part of northern coastal of Central Java has specially characteristics in the Javanese spoken by the Pati community. phonological variations include [i] and [I], [I] and [], [u] and [], [a] and [], [r] sounds, and nasal [ŋ]. In addition, there are morphological variations in the use of certain words in Pati. The differences shows that there variations in the Javanese language.

Key words: Phonological variations- Javanese-social variables.


A. Pengantar

Dalam kehidupan sehari-harinya, masyarakat di Kabupaten Pati masih mempergunakan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi bersama-sama dengan bahasa Indonesia. Bahasa Jawa di Kabupaten Pati, untuk selanjutnya disingkat dengan BJKP, di samping digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari, dipakai pula untuk mendukung kebudayaan penuturnya.
Pada kenyataannya, Kabupaten Pati adalah daerah yang jauh dari pusat kebudayaan Jawa Solo dan Yogyakarta, terletak di Pantai Utara bagian Timur, sehingga dengan sendirinya, masyarakat Pati memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri baik dalam budaya maupun dalam berbahasa berbeda dari pusat kebudayaan, Solo dan Yogyakarta. Mengingat letak dan keadaan antara daerah di pusat kota dan pedesaan, hal itu memungkinkan terjadi variasi kebahasaan. Secara sosiologis, daerah di pusat kota lebih terbuka menerima pengaruh pusat budaya dibandingkan daerah pedesaan. Hal ini terlihat dari banyaknya fenomena kebahasaan di daerah pusat kota yang menunjukkan kesamaan dengan bahasa Jawa baku dan interferensi bahasa Indonesia. Dalam penelitian ini ditetapkan tujuan sebagai berikut; (1) bagaimanakah variasi fonologis pemakaian bahasa Jawa di Kabupaten Pati? ; (2) bagaiamanakah variasi morfologis pemakaian bahasa Jawa di Kabupaten Pati?.
B. Landasan Teori

Trudgill (1974) mengemukakan bahwa perbedaan internal suatu masyarakart tercermin dalam bahasanya. Trudgill dalam penelitiannya mengkaji kemungkinan adanya korelasi langsung antara kelas sosial penutur dengan penggunaan variabel /-s/ dalam bahasa Inggris Norwegia sebagai penanda verba simple present tense untuk orang ketiga tunggal. Penelitian tersebut berkaitan dengan penelitian Wardaugh (1986:22) yang mengkaitkan variasi bahasa dengan seperangkat kaidah linguistik atau pola-pola tutur manusia di samping kajian yang dikaitkan pula dengan faktor luar bahasa.
Kajian variasi bahasa yang paling awal dilakukan oleh Fischer (1958) mengenai variabel [ŋ] dan [n] dalam bahasa Inggris Norwegia. Variabel [ŋ] digunakan oleh kelompok sosial tingkat atas dalam kata singing, dan variabel [n] digunakan oleh kelompok sosial tingkat bawah pada kata singin. Kajian tersebut menunjukkan bahwa kelompok sosial tingkat atas mengucapkan singing, shooting, dan fishing, sedangkan kelompok sosial tingkat bawah mengucapkan singin, shootin, dan fishin. Labov membuktikan realitas tersebut dengan penelitian di New York mengenai variabel /r/ pada kata-kata semacam car dan guard yang dinilai tinggi. Ucapan dengan /r/ disosialisasikan dengan kelas menengah atas meskipun anggota-anggota kelas tersebut tidak selalu menggunakannya pada setiap kesempatan (Labov, 1994: 343; Wardaugh, 1986: 157-163).
Holmes (1992:186) mengemukakan bahwa faktor sosial yang berpengaruh terhadap wujud pemakaian bahasa adalah usia penutur. Penelitian dialek sosial telah memberikan banyak informasi tentang pola ucapan dan tata bahasa yang digunakan oleh kelompok umur yang berbeda-beda. Kebanyakan peneliti dialek sosial telah menemukan bahwa anak-anak remaja memakai bentuk-bentuk vernacular dengan frekuensi yang tertinggi terutama jika bentuk-bentuk tersebut dianggap sebagai bentuk tidak baku. Bentuk-bentuk itu merupakan pemarkah solidaritas.
Para anggota gang kota New York, sebagai contoh, sering melesapkan bentuk –ed yang menandai kala lampau pada akhir kata daripada orang dewasa yang berasal dari kelompok sosial yang sama. Mereka sering memakai miss daripada missed (dalam ujaran seperti he miss the bus yesterday) dan pass pada passed (dalam ujaran it pass me). Mereka juga lebih banyak menggunakan negasi rangkap daripada orang dewasa yang berasal dari kelas sosial yang sama (Holmes, 2001: 169-170).
Contoh lain yang memperlihatkan korelasi antara umur penutur dengan pemakaian bahasa adalah penelitian Labov mengenai perubahan bunyi bahasa. Di dalam penelitiannya mengenai motivasi sosial perubahan bunyi bahasa di Martha’s Vineyard, yaitu sentralisasi bunyi pertama dalam diftong /ay/ dan /aw/, Labov (1977: 21-22, 36) mengemukakan bahwa sentralisasi tersebut tampak menunjukkan peningkatan yang teratur sesuai dengan tingkat umur yang mencapai puncaknya pada kelompok umur 31 sampai 45 tahun. Lebih lanjut dikemukakannya bahwa peningkatan tersebut merupakan tanggapan kelompok umur itu terhadap tantangan akan status asli mereka sebagai “Vineyarder”. Makna langsung ciri fonetis yang dimaksudkan adalah bahwa ciri tersebut menandai bahwa penuturnya adalah penduduk Martha’s Vineyard (Sunarso, 1997:84). Kajian tentang dialek sosial tersebut di atas berhubungan dengan bidang dialektologi.
Perubahan bahasa dapat disebabkan oleh faktor intralingusitik, yaitu faktor bahasa itu sendiri, dan dapat pula disebabkan oleh faktor ekstralinguistik, seperti faktor geografis, budaya, aktivitas ekonomi, politik, mobilitas sosial, kelas sosial, sifat masyarakat pendukungnya, persaingan prestise, migrasi, dan kontak bahasa. Sebagaimana dinyatakan Wijana (1996:7) masyarakat selalu bersifat heterogen dan bahasa yang digunakan selalu menunjukkan berbagai variasi internal sebagai akibat keberagaman latar belakang sosial budaya penuturnya (Wardhaugh, 1986; Kaswanti Purwo, 1990: 16).
Tingkat tutur merupakan contoh yang sangat jelas dari hubungan antara bahasa dan pemakaian bahasa dengan faktor-faktor sosial dan situasional. Lewat tingkat tutur inilah penutur menyatakan rasa kesopanannya terhadap lawan tutur. Tingkat tutur dalam bahasa Jawa merupakan sebuah sistem untuk menunjukkan 1) derajat formalitas, dan 2) derajat hormat yang dirasakan oleh penutur (O1) dan mitra tutur (O2). Menurut Poedjosoedarmo dkk (1979: 8-9) tingkat tutur adalah suatu sistem kode penyampaian rasa kesopanan yang di dalamnya terdapat unsur kosa kata tertentu, aturan sintaksis tertentu, aturan morfologis tertentu dan aturan fonologis tertentu, sedangkan Sudaryanto (1994: 98) menyebutnya dengan istilah ungguh-ungguhing basa.
C. Cara Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif. Selanjutnya, Pengambilan data dilakukan dengan metode simak yaitu, menyimak penggunaan bahasa dengan menggunakan instrumen daftar tanyaan. Penyimakan dilakukan dengan merekam semua jawaban dan keterangan dari responden. Kemudian setelah itu, dilakukan pencatatan dengan penulisan fonetis terhadap jawaban atau semua keterangan responden. Selanjutnya, dilakukan analisis dengan metode padan dengan teknik pilah unsur penentu, dan metode refleksif-instropeksi. Adapun hasil analisis disajikan dengan metode formal dan informal. Data dijaring di tiga desa di wilayah tiga kecamatan yang mewakili daerah masing-masing wilayah pusat kota, pegunungan, dan pantai.

D. Deskripsi Variasi Pemakaian Bahasa Jawa di Kabupaten Pati

D.1 Variasi Fonologis BJKP
Variasi fonologis adalah variasi pemakaian bunyi yang bersifat fonetis dan tidak membedakan makna. Variasi tersebut terbentuk karena penutur berasal dari kelompok sosial yang berbeda dan faktor keadaan alam, yaitu letak wilayah tempat tinggal penutur.
Variasi fonologis dalam pemakaian BJKP juga dipengaruhi oleh beberapa faktor tersebut. Berikut ini akan diketengahkan variasi fonologis yang terjadi pada Titik Pengamatan (TP) 1, 2 dan 3. Variasi fonologis ini terjadi pada variasi fonem vokal dan konsonan.

4.2.1 Variasi Fonem Vokal
(1) Variasi yang terjadi di daerah perkotaan dan Pedesaan
a. Variasi [i] dan [I]
Variasi bunyi [i] dan [I] yang terjadi di daerah perkotaan (TP-1) dapat ditunjukkan melalui data berikut ini;
(1) [prih] ~ [prIh] ’pedih’ (364).
(2) [putih] ~ [putIh] ‘putih’ (206)

b. Variasi [I] dan []
(1) [putIh] ~ [puth] ‘putih’ (206).
(2) [gajIh] ~ [gajh] ’lemak’ (38).
(3) [gtIh] ~ [gth]’ darah’ (11).
(4) [winIh] ~ [winh] ‘benih’ (255).
(5) [malIh] ~ [malh] ‘berubah’ (294).
(6) [ŋalIh]~ [ŋlh] ‘ berubah’ (294).

(2) Variasi yang terjadi di daerah perkotaan dan pedesaan
a. Variasi [U] dan []
Variasi bunyi [U] dan [] hanya terdapat dalam satu kata, yaitu :
(1) [ŋuyUh] ~ [ŋuyh] ‘kencing (305).
4.2.2 Variasi Fonem Konsonan
(1) Variasi Bunyi [r]
Pemakaian variasi bunyi [r] dalam BJKP tidak menimbulkan perubahan bentuk dan makna pada kata. pemakaian tersebut hanya menunjukkan tingkat penguasaaan penutur terhadap bentuk kata yang sesuai dengan BJB. Variasi bunyi [r] ditemukan pada semua TP, namun hanya pada satu data, yaitu penambahan bunyi [r] diantara konsonan dan vokal pada suku tertutup.
(1) [sandal]~[srandal] ‘alas kaki’ TP 1,2,3.
(2) Variasi Bunyi [Nasal]
Variasi bunyi nasal yang diketemukan dalam data pemakaian BJKP adalah penambahan bunyi nasal [ŋ] dan penggantian bunyi [m] dengan bunyi [ŋ]. Untuk penambahan bunyi [ŋ] terdapat TP-1 dan TP-2, sedangkan untuk yang mengganti bunyi [m] menjadi bunyi [ŋ] terdapat pada TP-1,2,3. Berikut ini contoh dari data:
(1) [ŋambu] ~ [ŋambUŋ] ‘mencium (bau)’ (333) TP-1,2,3.
(2) [sumsum] ~ [suŋsum] ‘isi tulang’ (21). TP-1,2.



4.2 Variasi Morfologis BJKP
4.2.1 Kekhasan Afiksasi
Gejala kekhasan afiksasi dalam BJKP terjadi karena ada proses pembubuhan afiks pada bentuk dasar atau disebut proses afiksasi. Kekhasan afiksasi BJKP terlihat pada penambahan akhiran {-an}, dan munculnya beberapa variasi beberapa tipe kata, yaitu mbayung rembayung ~ lembayung, gondok ~ gondong ~ gondongen, krungu ~ ndungu, dugi ~ dumugi, uwang ~wang, tipe segelas ~ sakgelas, secangkir ~ sakcangkir.

4.2.1.1 Variasi Pemakaian Akhiran {-an}
Kekhasan pada sistem morfologi dalam BJKP terlihat pada adanya penambahan akhiran {-an}. Akhiran {-an} salah satu sufiks yang merupakan unsur afiksasi dalam BJKP. Variasi pemakaian akhiran {-an} adalah variasi penambahan sufiks {-an} dan {} pada bentuk nomina yang tidak mengubah kelas kata dan makna kata. Berikut beberapa contoh pemakaian variasi akhiran {-an} dalam BJKB diuraikan pada data sebagai berikut:
(1) jempol ~ jempolan ‘ibu jari’ (20) TP 1, 2, 3.
(2) tlapuk ~ tlapukan ‘pelupuk mata’ (52) TP 1, 2, 3.
(3) jentik ~ jentikan ‘kelingking’ (28) TP 1,2,3.
(4) tegal ~ tegalan ‘ladang’ (189) TP 1,2,3.
(5) pereng ~ perengan’ lereng’ (193) TP 2,3
(6) lirang ~ lirangan ‘sisir pisang’ (277) TP 2,3.
(7) jeding ~ jedingan ‘penampung air hujan’ (127) TP 3
(8) lereng ~ lerengan ‘lereng’ (193) TP 2, 3.
(9) galeng ~ galengan ‘ladang’ (205) TP 1,2,3.
(10) emper ~ emperan ‘teras’ (130) TP 2.
(11) gelung ~ gelungan ‘sanggul’ (226) TP 1,2,3.
(12) darat ~ daratan ‘darat (153) TP1, 3.

4.2.1.1 Variasi Pemakaian mbayung ~rembayung ~ lembayung dan gondok~ gondong ~gondongen.

Variasi bentuk ini memilik struktur le-/re- + -em- + bayung dan gondong + -en. Dalam BJB kata itu disebut mbayung. Kemudian oleh penutur di Kabupaten Pati dikatakan menjadi dua variasi, yaitu rembayung dan lembayung. Hampir responden di ketiga TP tidak ada yang menyebutnya dengan mbayung yang sesuai dengan BJB. Hal ini dimungkinkan terjadi karena daerah Pantura Jawa Tengah merupakan jalur pedagangan dari berbagai daerah, sehingga kemungkinan bercampurnya bahasa satu dengan yang lain sangat dimungkinkan sehingga terjadi inovasi. Dalam hal ini terpengaruh dengan BI karena awalan {le-} dalam BI tidak ada. Kata lembayung sendiri merupakan bentuk dasar dalam BI. Sedangkan penyebutan rembayung, yaitu dengan awalan {re-}merupakan karena salam konsonan dari tempat artikulasi yang sama, yaitu sama-sama konsonan apiko-alveolar yang masing-masing lateral dan frikatif.
Penggunaan kata rembayung atau lembayung dianggap lebih terkesan halus, tanpa memandang kata yang baku dari BJB, yaitu mbayung.
Beberapa jenis variasi kata seperti di atas diuraikan sebagai berikut:
(1) mbayung ~lembayung ~ rembayung’ daun kacang panjang’ (264).
(2) gondok ~gondong ~gondongen ‘gondok’ (361)

4.2.1.2 Variasi Pemakaian krungu~ ndungu dan dugi ~dumugi.

Variasi tipe ini memiliki struktur zero {} untuk kata krungu dan dugi, sedangkan struktur kata untuk ndungu adalah N- + krungu> ndungu. Untuk struktur kata dumugi adalah dugi + um > dumugi.

4.2.1.3 Variasi Pemakaian wang ~uwang


4.2.1.4 Variasi Pemakaian sakgelas ~ segelas dan sakcangkir ~secangkir

Variasi tipe ini memiliki struktur sa- + bentuk dasar. Prefiks {sa-} memiliki dua alomorf, yaitu {sak-} dan {se}. Dalam BJB prefiks itu dipakai untuk menyatakan makna ukuran yang bermakna ‘satu’. Berikut adalah contoh dari data penelitian sebagai berikut;
(1) sakgelas ~ segelas (434)
(2) sakcangkir ~ secangkir (435)
(3) sakkotak ~ sekotak (375)




E. Simpulan

Berdasarkan pembahasan sebagaimana telah diuraikan dapat disimpulkan bahwa pemakaian Bahasa jawa di Kabupaten pati memiliki perbedaan dengan BJB. Perbedaan itu meliputi tingkat fonologi, dan morfologi. Namun demikian, perbedaan tersebut tidak sampai menyebabkan antar penutur tidak saling memahami. Jadi perbedaannya hanya sampai taraf dialek saja.
DAFTAR PUSTAKA

Fisher, John L. 1958. “ Social Influences on the Choice of a Linguistic Variant”. dalam World 14, halaman 47-47.


Holmes, janet. 2001. An Introduction to sociolinguistics. Second edition. London: Longman.

Purwo, Bambang Kaswanti. 1992. PELLBA 5: Bahasa Budaya. Jakarta: Lembaga Bahasa UNIKA ATMAJAYA.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

-----------------. 1994. Pemanfaatan Potensi Bahasa. Yogyakarta: Gajah Mada

Sunarso. 1994. “Pemakaian Tingkat Tutur Bahasa Jawa Dialek Banyumas di Daerah Banyumas”. Tesis S2 Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

-------------.1997. “Variabel Kelas Sosial, Umur, dan Jenis Kelamin Penutur dalam penelitian Sosiolinguistik”. Dalam Jurnal Humaniora IV/1997. Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.

Poedjosoedarmo, Soepomo. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

------------------------------.1979. “Kode Tutur Masayarakat Jawa”. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan UGM.


Trudgill. Peter. 1983. Sociolinguistics: An Introduction to Language and Society.London: Penguin Books.

-----------------. 1983. On Dialect: Social and Geographical Perspectives. USA: Basil Blackwell.

Wardaugh, Ronald. 1988. An Introduction to Sociolinguistics.Oxford: Basil Blackwell
Wijana, I Putu Dewa. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset.

Budaya

Salah Tafsir Konsep Budaya Jawa dalam Politik
Ahdi Riyono

Gegap gembita mengawali pencalonan capres dan cawapres 2009, manuver-manuver politik parpol pengusung calon masing-masing capres dan cawapres mulai memanas. Bahkan ada beberapa internal parpol yang pecah menjadi beberapa kubu. Ini terjadi, karena politik kita memang masih diwarnai politik balas jasa dan dagang sapi. Sehingga, komitmen ideologi seolah hanya menjadi topeng parpol tatkala mereka berkampanye untuk menjual partainya. Namun, ketika pemilu telah usai dan perolehan suara masing-masing parpol sudah diketahui, mereka mulai melakukan lobi-lobi politik untuk mendapatkan bagian kue kekuasaan. Bak semut yang selalu mengkrumuni gula, Partai Demokrat didekati partai-partai gurem untuk mendapatkan jatah kue kekuasaan. Pilpres 2009 ini juga diwarnai pertarungan etnis, Jawa dan non-Jawa, sipil dan milter. Isu tersebut dijadikan alat untuk menjual masing-masing calon untuk mendapatkan mandat rakyat lima tahun kedepan. Dari isu etnis, Etnis Jawa tetap mendominasi pilpres, karena semuanya berdarah Jawa, kecuali JK. Dia berasal dari Makassar yang merupakan representasi dari luar Jawa dan Indonesia. Memang, Politik Indonesia selama ini tidak bisa dilepaskan dari politik dan budaya Jawa. Selama Orde Baru, Budaya kekuasaan Jawa dipakai untuk melanggengkan kekuasaan dan mempertahankan status quo, Budaya adiluhung itu, dengan sengaja ditafsirkan salah (displacing the meaning).
Pemakaian ungkapan-ungkapan Jawa yang salah inilah, kemudian menimbulkan kontroversi masih layakkah budaya Jawa dipertahankan dalam politik modern sekarang ini. Tentu, pernyataan ini menyebabkan pro dan kontra di masyarakat kita. Namun demikian, kita harus arif dalam melihat permasalahan ini. Apakah budaya Jawanya yang salah ataukah pemakainya yang salah?. Benar, jika budaya Jawa yang kratonik, ditafsirkan salah semau gue, tentu yang terjadi negara korup. Orang Jawa selalu bersikap inggih-inggih nun sendika dhawuh, yang bersifat semu bukan keikhlasan. Celakanya lagi, kemudian budaya upeti palsu, sulit terelakkan. Selama ini di kancah kepemimpinan Jawa terjadi perintah halus, manis dan akhirnya berubah menjadi otoriter. Akibatnya, atasan dan bawahan mengembungkan budaya “TST” (tahu sama tahu) untuk korupsi yang ujung-ujungnya untuk mempertahankan status Quo. Kalau begitu, mungkin saja negara ini kelak akan terbolak-balik-ada sekolah tinggi koruptor, yang dosen-dosennya dan rektornya ahli korup. Ini jelas sangat keterlaluan. Padahal pemimpin dalam filsafat Jawa harus benar dan dilandasi sabda pandhita ratu berbudi bawaleksana. Konsep bawaleksana ini, tampaknya sudah tak dihiraukan lagi, lalu muncul budaya korup. Bahkan, tak sekedar korup, juga nepotisme dan kolusi.
Konsep budaya Jawa mikul dhuwur mendhem jero, juga telah dibelokkan menjadi budaya saling menutupi kesalahan orang lain dan kroninya. Yang unik lagi, manalaka budaya semacam ini akan terbongkar, akhirnya sering muncul budaya golek slamete dhewe. Tampaknya, budaya simbiosis busuk ini sudah semakin parah. Budaya Jawa belantik (dagang sapi) yang sebenarnay ke arah harmonisasi (tawar menawar) agar menuju kesepakatan-telah disalahartikan lagi, menjadi jual beli kekuasaan, arisan loyalitas, dagang perkara, jual keadilan, tengkulak demokrasi dan seterusnya. Begitu juga budaya ewuh pakewuh yang sebenarnya adiluhung, dijadikan kambing hitam untuk menutupi teman seperjuangan. Ewuh Pakewuh adalah sendi budaya Jawa yng bai, berarti seharusnya atasan dan bawahan ewuh pakewuh berbuat “KKN”, tapi justru di era reformasi ini telah berubah total. Ewuh pakewuh menjadi budaya saling menutupi borok, tak mau mengadili kroni seadil-adilnya, dan akhirnya yang nampak asu gedhe menang kerahe.
Lalu, mana budaya Jawa yang masih bersih penerapannya di era reformasi ini? Tak ada ? kira-kira begitu. Bayangkan kalau filsafat Jawa yang disebut madya (tengah) saja kini diobrak-abrik. Budaya Jawa mengenal hidup itu madya, seperti terungkap pada prinsip ngono yo ngono neng aja ngono telah dibelokkan artinya. Maksudnya, budaya ini menghendaki agar dalam pemerintahan seseorang tak terlalu berlebihan, tak memperkaya diri, tak menutupi kesalahan orang lain, tapi bisa berbuat adil. Yakni adil yang harmoni, tidak memihak.
Akhirnya, saya usulkan melakukan restrukturisasi atau dekonstruksi budaya Jawa. Jadi tidak sekedar counter culture, tetapi harus neo-counter culture. Jika dulu R. Ng. Ranggawarsita dalam serat Kalatidha membuka aib pemerintah di zamannya amenagi zaman edan kini perlu didekosntruksi menjadi amerangi zaman edan. Tinggal berani atau tidak pemerintahan yang ada sekarang ini. Atau malah justru era sekarang akan mencetat neo-zaman edan yang super gila lagi?
Pemerintah seharusnya bersikap tanuhita (mengayomi) dan danahita (memberi ke bawah)-bukan sebaliknya mengeruk dana rakyat dengan berbagai dalih. Budaya mengeruk ini, adalah tradisi kolonialisme dulu, bukan budaya Jawa itu. Maka, budaya Jawa perlu ditelaah menggunakan perspektif postkolonialisme, bukan dari aspek moderismenya.

Tuesday, April 14, 2009

Kesuksesan

Sukses dengan Keyakinan dan doa
Ahdi Riyono, S.S., M.Hum


Bisnis masa depan selalu menjadi milik orang yang bisa melihat kemungkinan sebelum kemungkinan itu menjadi jelas bagi orang lain (Mario Teguh, 2005).



Kehidupan manusia mengenal kehidupan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Kehidupan masa kini ditentukan oleh kehidupan masa lalu, dan kehidupan masa depan ditentukan oleh kehidupan masa kini. Ini artinya, apa yang kita alami dan jalani sekarang ini adalah dari hasil pikiran dan gambaran kita di masa lalu yang telah kita yakini akan terjadi di masa depan. Sebagai gambaran, sebelum terciptanya pesawat terbang yang dapat mengangkut manusia dari satu tempat ke tempat yang lain melalui udara bagai burung yang terbang, yang dapat menempuh jarak ratusan mil hanya dengan hitungan jam, tentu sudah ada dalam pikiran dan gambaran penciptanya sebelumnya. Cahaya kerlap-kerlip bintang di langit yang kita lihat sekarang ini adalah sebuah planet yang telah meledak miliaran tahun cahaya yang lalu.
Begitu juga, Bill Clinton sebelum ia menjadi presiden Amerika Serikat, ternyata dia sudah membayangkan dan mengikrarkan sebagai presiden tatkala masih duduk di bangku kuliah. Dan kepada teman-temanya, dia selalu mengatakan mana buku kalian saya tandatangani sebelum nanti kalian sulit menemui saya. Dalam tanda tangannya, dia juga senantiasa menulis Bill Clinton, the President of the United State of America. Akhirnya, mimpinya dapat terwujud dan menjadi presiden. Begitu juga, ayahanda Gus Dur, Kyai Hasim Asyari, senantiasa mengikrarkan Gus Dur kecil sebagai pemimpin di masa depan, dan selalu diulang-ulang setiap Gus Dur diajak untuk mengisi suatu acara. Dalam kaitan itu, Gus Dur pun menjadi presiden ke-3 Indonesia. Padahal, jika dilihat dari kalkulasi politik pada waktu itu, dan keadaan fisik, Amien Raislah yang berpeluang besar menduduki kursi kepresidenan. Sebaliknya, Amien Rais kecil oleh orang tunya tidak diharapkan jadi pemimpin bangsa, dan hanya diikrarkan menjadi pengganti orang tuanya, sebagai pendidik. Dan, kalimat itulah yang diucapkan berkali-kali oleh orang tuanya tatkala ditanyai tentang hal itu, maka yang terwujud adalah apa yang dipikirkannya. Kenyataannya, beliau hanya sebagai Guru Besar FISIPOL UGM. Ini adalah sedikit gambaran yang membuktikan bahwa kejadian sekarang ini adalah hasil dari pikiran dan kedasyatan kenyakinan masa lalu.
Doa sebagai bentuk pengharapan kepada Tuhan adalah suatu bentuk masa kini, dan gambaran kejadian masa depan. Oleh sebab itu, Tuhan senantiasa menyuruh setiap hamba-Nya untuk berdoa, dan Tuhan berjanji untuk mengabulkan setiap permintaan hambanya. Dan lagi, Tuhan sebagaimana sifat ketuhanannya pasti mengabulkan semua permintaan tadi. Hanya saja, kadang dalam berdoa dan berfikir masa depan, kita kurang spesifik dan tidak membanyangkan apa yang kita pikirkan terjadi. Bahkan kita sering berdoa, tetapi tidak mengerti apa yang sebetulnya kita minta. Sehingga wajar saja, doa kita tidak dikabulkan Allah karena kurang spesifik, pikiran kurang yakin, dan tidak berterimakasih doa kita telah dikabulkan.
Bagi Tuhan tidak dikenal masa lalu, masa kini, dan masa depan. Apa yang kita minta pada hakikatnya sudah dikabulkan oleh Tuhan. Yang menjadi pertanyaan kita adalah kenapa doa kita sering tidak terkabul? Padahal Tuhan sudah berjanji mengabulkan, dan tentunya, dia tidak mungkin melanggar janji-Nya. Coba kita renungkan apakah ketika kita berdoa sudah spesifik?, Apakah pikiran sadar kita justru menolak doa kita sendiri?
Doa sebagaimana pikiran kita, ia akan terwujud kalau kita membawanya ke dalam alam bawah sadar yang tidak mengenal bentuk negasi dan kata tidak mungkin. Bagi alam bawah sadar, semua hal adalah kemungkinan. Alam bawah sadar adalah pikiran tatkala memasuki kondisi gelombang theta. Pada waktu itu keheningan, kepasrahan, ketenangan, kedalaman, dan puncak kebahagiaan dirasakan. Oleh sebab itu, kalau kita berdoa kita bayangkan apa yang kita minta dengan gambaran yang spesifik, jelas, dan benar-benar sudah terjadi. Kemudian masukkan apa yang kita minta ke alam bawah sadar sampai tidak ada lagi kata-kata tidak mungkin.
Ketika masih awal penyebaran Islam, Nabi Muhammad SAW telah mengatakan sesuatu hal yang menyakinkan kepada ummat Islam yang pada waktu itu jumlahnya hanya beberapa puluh saja, dikejar-kejar dan diburu orang-orang Quraish untuk dibunuh agar menyakini bahwa mereka suatu saat akan dapat kemenangan. Beliau berkata “ wahai ummatku engkau akan menguasai kota Heraclius (baca: Konstantinopel atau Istambul Turki sekarang) dan Rum”. Beliau mengucapkannya dengan penuh keyakinan dan gambaran yang jelas tentang kemenangan itu. Dan beliau pun bersyukur kepada Allah yang telah memenangkan kaum muslimin. Padahal, kalau kita nalar (baca: reaksi alam bawah sadar) pasti akan menolak, dan mengatakan hal itu tidak mungkin terjadi.
Karena memang secara fakta, pada waktu itu keadaan kaum muslimin tidak mungkin dapat mengalahkan Negara Romawi Timur, yang pada waktu itu adalah negara super power, dan menguasai hampir seluruh wilayah Eropa timur dan sebagian Asia dan Afrika. Namun, dengan kekuatan kenyakinan dan doa, semua yang kelihatan mustakhil akhirnya dapat terwujud. Terbukti, setelah masa kekhilafaan Usmaniah dibawah kepemimpinan Sultan Muhammad Alfatih Ummat Islam dapat menaklukkan Kekaisaran Romawi, dan merebut kota Konstantinopel.
Kalau kita sedikit mau menengok kehidupan kita sehari-hari, pasti akan ada suatu peristiwa yang secara nalar mustahil terwujud, tapi pada kenyataannya, dapat terwujud. Coba renungkanlah sendiri!.
Sekali lagi, dalam berdoa harus be spesific, be optimistic, be sure, bahwa doa kita telah dikabulkan oleh Allah SWT. Dan diakhiri dengan mengucapkan terimakasih kepada Tuhan yang telah mengabulkan apa yang kita pikirkan dan kita yakini. Dengan demikian, dengan kenyakinan, dan doa kesuksesan dapat kita raih.
Untuk membantu kekhusukan Anda, coba berdoa pada waktu semua orang tertidur, yaitu sekitar pukul satu malam dimana pikiran manusia dalam keadaan gelombang Theta, yaitu gelombang otak, pada kisaran frekuensi 4-8 Hz, yang dihasilkan pikiran bawah sadar (subconscious mind). Awali dengan sholat malam dua rekaat dan berdoa. Amin.
Mulai hari ini coba berdoa dengan spesifik, jelas, dan gambarkan apa yang diminta disertai kenyakinan, akhirilah dengan berterimakasih. Kemudian, lihat keajaiban apa yang terjadi!!!!.

Thursday, April 9, 2009

Filsafat Jawa

SANGKAN PARANING DUMADI1
(PADANGAN ORANG JAWA TERHADAP HIDUP)
Ahdi Riyono, S.S., M.Hum2
(Pemerhati Budaya)


Dalam padangan Jawa sebagaimana tersurat dalam Serat Kridasastra Winardi karangan M.Ng. Mangunwijaya, manusia berasal dari hening atau (Tuhan). Menurut kepercayaan kejawen Dzat Tuhan (ndating Pangeran) itu meliputi alam semesta yang dipandang makro-kosmos (Jagad Gedhe) dan Manusia sebagai mikro-kosmos (Jagad Cilik).
Alam Semesta (Jagad Gedhe) diciptakan Tuhan terkait dengan hidup manusia. Agar hidup manusia selamat, ia harus bisa memahami alam semesta sebagai simbol kekuasaan Tuhan. Alam hidup manusia, oleh Tuhan diberikan arah (kiblat) agar orang Jawa tidak salah arah. Arah tersebut dinamakan keblat papat lima pancer, artinya empat penjuru dan satu di tengah. Kiblat alam ini diawali dari timur (wetan), artinya kawitan (mula). Arah timur adalah awal kiblat sebagai lambang saudara manusia yang disebut kawah. Selanjutnya menyusul selatan (kidul) sebagai lambang darah, barat (kulon) sebagai lambang tali pusar/plasenta, dan utara (lor), lambang adhi ari-ari.
Arah kiblat tersebut dalam hidup manusia senantiasa disatukan atau diseimbangkan. Jika tidak, diantara saudara manusia akan mengganggu hidupnya. Sebaliknya, kalau tercapai keseimbangan dalam berteman dengan empat saudara tadi, keempatnya mau membantu (ngewang-ewangi) pancer. Untuk itu, biasanya orang Jawa mengadakan upacara selamatan dengan sesaji khusus. Sesaji tersebut mencakup tiga hal (ubarampe), yaitu: (1) nasi tumpeng (berbetuk kerucut) lima buah, diletakkan pada tambir dalam posisi empat dan satu di tengah. Tumpeng yang ditengah dibuat paling tinggi atau besar sebagai pancer; (2) bunga setaman lima macam, yaitu mawar merah, melati puti, kenanga hijau, kanthil putih, ndan kanthil kuning. Bunga ini sebagai simbol empat saudara dan pancer; (3) pelita dengan minyak kelapa sebagai lambang hidup.
Manusia sebagai mikro-kosmos sebenarnya perwujudan Badan Kasar (badan wadhag. Badan Wadhag terbentuk dari campuran 4 anasir (unsur), yaitu: api (geni), bumi (tanah), angin, dan air (banyu), sekaligus di dalamnya terletak satu nafsu dengan empat perwujudan (patang perkara) berupa Amarah, Luwamah, Supiah dan Mutmainah.
Anasir Api (agni) berasal dari sinar matahari. Manusia tidak bisa hidup tanpa adanya matahari. Adapun nafsu yang terpancar dari anasir ini adalah nafsu amarah. Nafsu ini memiliki identifikasi warna merah. Perwujudannya dalam badan wadhag adalah darah yang memberi semangat gerak atau tenaga. Apabila nafsu amarah ini lepas tak terkendali secara berlebihan akan merefleksikan sifat-sifat mudah marah (Brangasan). Roh yang menjiwai anasir api adalah roh hewani, yaitu sejenis roh pelikan. Di samping itu dalam suluk sangkan paran disebutkan bahwa nafsu amarah ini kedudukannya di telinga. Itulah sebabnya orang dapat mendengar dan menurut kepercayaan orang Jawa dari telinga inilah sumber kemarahan (atau emosi).
Anasir Bumi (tanah) dalam diri manusia dipercaya berasal dari tanam-tanaman yang dimakan. Sedangkan Nafsu yang terpancar dari anasir ini adalah nafsu Luwamah yang diidentifikasikan berwarna hitam. Adapun fungsi makan berguna dalam pertumbuhan badan wadhag. Apabila nafsu luwamah ini dimanjakan menyebabkan orang suka makan banyak (berlebihan). Kemudian roh yang menjiwai anasir ini adalah roh nabati (sejenis roh tanaman). Dalam kitab suluk sangkan paran disebutkan bahwa nafsu luwamah ini wataknya bisa berbicara, maka kedudukannya di mulut.
Anasir angin berasal dari suasana udara. Manusia hidup tentunya bernafas dengan udara. Dari udara terpancar nafsu supiah yang berwarna kuning. Di dalam diri manusia (badan wadhag) nafsu ini berkedudukan di hidung, dengan perwujudan nafas, sehingga manusia dapat membau segala sesuatu yang sedap dan tidak. Nafas juga menyebabkan manusia memiliki nafsu birahi. Apabila nafsu ini tak terkendali manusia akan menjadi layaknya hewan dan tak akan ada batas kepuasan. Selanjutnya roh yang menjiwai anasir ini adalah roh hewani, sejenis roh binatang. Jika dalam Suluk sangkan paran nafsu supiah berkedudukan di mata, sebagai pancaindera penglihatan. Penglihatan juga dapat memicu nafsu birahi sebagai perwujudan nafsu supiyah.
Yang terakhir adalah anasir air (tirta atau toya) berasal dari semua air yang diminum manusia. Nafsu yang terpancar dari anasir air adalah nafsu mutmainnah warna putih. Perwujudannya dalam badan wadhag juga berupa air yang membentuk badan dan sisanya dikeluarkan dari badan. Pancaran watak dari air menyebabkan manusia mempunyai sifat tentram, tenang, dan suka berfikir serta suka mempelajari hal-hal yang gaib. Adapun yang menjiwai anasir air adalah roh insani, sejenis roh manusia.
Menurut kepercayaan Jawa, apabila janin sudah berusia 9 bulan 10 hari, maka bayi sudah memiliki unsur-unsur tersebut yang pada masing-masing individu dosisnya tentu tidak sama. Inilah yang menyebabkan perbedaan-perbedaan kemampuan pikir, akal, awtak, keinginan-keinginan dan aktivitasnya. Namun, perbedaan itu dapat berubah dengan usaha-usaha tertentu dari orang yang bersangkutan. Misalnya jika anasir merah dan kuning yang dominan maka orang tersebut ada bakat mudah marah dan suka melampiaskan hawa nafsu berlebihan. Tapi jika yang bersangkutan sadar dan insaf kemudian berlaku prihatin dan sering berpuasa maka suasana batinnya dapat mencapai harmoni. Hasilnya rasa tentram dalam hidup. Sebaliknya sekalipun anasir putih (lambang kesucian) yang dominan dan memiliki potensi mengandalikan diri , namun apabila orang ini tidak tahan uji dengan berlaku berangsan atau melampiaskan hawa nafsu dan angkara murka yang berlebihan, maka potensi orang ini dapat tersesat batinya. Akibatnya dia akan mengalami ketidaktenagan hidup atau penderitaan.
Perwatakan dan nasib manusia juga dipengaruhi unsur-unsur kosmos yang tercermin pada waktu seorang manusia dilahirkan ke dunia fana ini. Dalam hal ini mencakup 7 hari, pasaran, bulan dan tahun. Selain itu juga perlu memperhatikan arah angin yang berkaitan dengan hari pasaran, simbol logam, hewan dan dewanya. Semua ini dipakai sebagai dasar perhitungan (petungan, jawa) untuk meramalkan keberuntungan, menentukan perwatakan, menentukan jenis kerja yang cocok, jodoh, dan waktu pernikahan, arah tempat kerja yang menguntungkan, hari-hari baik untuk berpergian, pindah rumah, dan mendirikan rumah dan sebagainya.
Apabila unsur-unsur tadi disimpulkan maka akan menjadi sebagai berikut:
Arah angin
Bathara (dewa)
warna
pasaran
logam
Hewan
Timur
Kamajaya
Putih
legi
perak
Srigunting
Barat
Bayu
Kuning
Pon
Emas
Sapi Gumarang
Tengah
Guru
campuran
kliwon
campuran
kutilapas
Selatan
Brama
merah
paing
suwasa
asu ajag
Utara
Wisnu
hitam
wage
besi
celeng

Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa dalam alam pikir orang Jawa, terdapat pemikiran adanya saling keterikatan yang teratur dan harmonis antara alam semesta, segala sesuatu di dunia termasuk manusia dan kehidupan manusia memiliki hubungan-hubungan dekat terikat dengan semua hal di sekitarnya, baik hidup maupun yang mati, dengan keseluruhan kosmos.
Dengan demikian kondisi tentram dan selamat adalah kondisi yang didambakan seluruh masyarakat dalam kehidupan individu maupun bermasyarakat.

Monday, February 23, 2009

PENGUNGKAPAN MAKNA ASPEKTUALITAS REDUPLIKASI DALAM BAHASA JAWA: KAJIAN MORFOLOGI

Oleh Ahdi Riyono

Abstract

Reduplication can be divided into two categories, namely total reduplication, and partial reduplication. The reduplication in Javanese can be analyzed to discover the meaning of aspectuality. Actually, there are eight aspectual meanings found in Javanese through reduplication process. They consist of iterative, continuative, durative atenuative, durative deminutive, iterative reciprocative, habituative, ingressive, and continuative intensive.

Key word: reduplication, aspectuality, and meaning.





1. Pendahuluan


Di dalam linguistik umum terdapat tiga subkategori tata-bahasa yang berurusan dengan semantik verba, yakni aspektualitas, temporalitas dan modalitas. Menurut Tadjuddin (2005:3) aspektualitas dan temporalitas mempelajari sifat-sifat keberlangsungan situasi (yaitu gejala luar bahasa yang berupa peristiwa, proses/aktivitas, keadaan) dilihat dari segi waktu yang menyertai keberlangsungan situasi tersebut, sedangkan modalitas mempelajari situasi dari sudut pandang bermacam-macam sikap pembicara terhadap situasi yang berlangsung.
Ketiga bidang kajian linguistik itu dalam bahasa-bahasa itu diungkapkan melalui proses morfologi yang luas dan teratur. Adapun studi tentang aspektualitas bisa dikatakan rumit. Oleh karena itu, studi tentang aspektualitas merupakan lahan yang subur bagi para peneliti dan karena itu pula, tidaklah mengherankan apabila dalam hal ini pandangan para pakar cukup beragam. Tadjuddin (2005: 19) mengusulkan pembagian aspektualitas ke dalam dua kelompok besar, yaitu bentuk morfologi dan bentuk sintaksis. Bentuk morfologi terdiri atas (1) aspek (kategori gramatikal/infleksional/paradigmatik atau disebut juga gramatikal terbuka) dan (2) aksionalitas. (kategori leksiko-gramatikal atau disebut juga gramatikal tertutup) dan (3) makna aspektualitas inheren verba (MAIV, kategori leksikal). Adapun bentuk sintaksis terdiri atas aspektualitas pada tataran klausa, yang terdiri atas frasa verba, /predikat, frasa keterangan, frasa nomina, dan aspektualitas pada tataran kalimat.
Sebagaimana diungkapkan Tadjuddin (1993: 3) bahwa aspektualitas dapat diungkapkan melalui berbagai macam cara atau bentuk, baik secara morfologis, maupun sintaksis. Namun mengingat luasnya permasalahan, pembahasan dalam makalah ini hanya dibatasi pada pembahasan dalam bidang morfologi, khususnya dalam pengungkapan makna aspektualitas melalui reduplikasi dalam bahasa Jawa.

2. Kajian Pustaka
2.1 Pengertian Aspektulitas


“Aspek” adalah masalah sudut pandang (perspektif) pembicara tentang suatu situasi, misalnya aspek perfektif (peristiwa utuh atau lengkap), aspek imperfektif (sedang berlansung), aspek inkoatif (titik awal), aspek kontinuatif (keberlanjutan), aspek egresif (titik akhir), aspek iteratif (keberulangan). Adapun definisi lainnya menurut Sumarlam (2005: 27) aspek sebenarnya bukan merupakan sudut pandang pembicara tetapi sifat situasi yang digambarkan, apakah itu statis atau dinamis, terminatif atau duratif, terikat atau tidak terikat, kontinu atau iteratif. “Aspek” yang dirumuskan dengan cara ini lebih tepat disebut dengan istilah Jerman “Aktionsart” atau ragam tindakan.
Istilah “aspektualitas”, sebagaimana disarankan oleh Tadjuddin (2005: 5) sebagai terjemahan istilah Rusia “ aspektual nost” (Bonarko, 1971; dan Maslov, 1978) dan istilah Inggris “aspectuality” (Dik, 1989), digunakan sebagai konsep umum yang meliputi baik aspek maupun aksionalitas. Aspek merupakan kategori gramatikal (morfologi infleksional), sedangkan aksionalitas merupakan kategori leksiko-gramatikal (Tadjuddin, 1993:24). Penggunaan istilah aspektualitas (aspectuality) sebagai konsep umum yang secara tersurat atau tersirat menggambarkan dua gejala luar bahasa, yaitu unsur waktu (time, temporal, moment), dan unsur situasi (event, action, process, activity). Atas dasar ciri-ciri itulah Tadjuddin (1993) menegaskan bahwa aspektualitas berurusan dengan macam-macam sifat unsur waktu internal situasi. Dalam hal ini perlu dibedakan antara aspektualitas dan temporalitas sebab aspektualitas berurusan dengan unsur waktu yang bersifat internal sedangkan, temporalitas berurusan dengan unsur waktu yang bersifat eksternal (Djajasudarma, 1985: 75, 1986: 34; Tadjuddin, 1993: 25; Sumarlam, 2004: 28).
2.2. Cara-cara Pengungkapan Makna Aspektulitas
Istilah yang mengacu pada jenis-jenis makna aspektualitas ialah bentuk kata yang lebih sederhana seperti inkoatif, ingresif, progresif, adapun batasan aiatu pengertian masing-masing diambil dari batasan atau pengertian yang dikemukakan oleh Tadjuddin (1993:65-74).
(1). Inkoatif
Makna inkoatif menggambarkan situasi yang memberikan tekanan pada permulaan keberlangsungan. Dalam BI, makna aspektualitas inkoatif dapat diamati pada penggunaan partikel pun dan lah bersama verba aktivitas dan verba statis atau secara eksplisit melalui penggunaan kata mulai. Dalam BJ, makna aspektualitas inkoatif dapat diungkapkan dengan penggunaan pemarkah frasa verbal wiwit’mulai’ dan lekas’mulai’.
(2). Ingresif
Makna aspektualitas ini sebetulnya sama dengan makna inkoatif, hanya perbedaannnya pada penekanan pada segi permulaan keberlangsungannya. Sedangkan makna aspektualitas ingresif memberikan gambaran situasi yang tak terpisahkan antara saat permulaan dengan kelanjutan. Dalam BJ dapat diamati penggunaan kata wis’sudah’ dan pemarkah frasa adverbial durasi wiwit ’sejak’. Dalam BI dapat diamati dengan penggunaan sudah, telah bersama verba statis, dengan pemarkah frasa adverbia sejak.
(3). Progresif
Makna aspektualitas progresif menggambarkan situasi yang keberlangsungannya bersifat sementara. Dalam BJ dapat diamati damalam penggunaan pemarkah frasa verba lagi atau pinuju’sedang’. Sedangkan dalam BI menggunakan kata sedang.


(4). Terminatif
Makna aspektualitas ini menggambarkan situasi yang memberikan tekanan pada segi akhir keberlangsungannya. Dalam BJ, makna ini dapat diamati pada penggunaan pemarkah frasal verbal bubar’selesai, usai dan pemarkah frasa adverbial durasi nganti’sampai’, ‘hingga’. Dalam BI dipergunakan selesai, usai, dan adverbial durasi sampai, hingga.
(5). Semelfaktif
Makna aspektualitas semelfaktif menggambarkan situasi yang berlangsung hanya satu kali dan biasanya bersifat sekejap. Dalam BJ makna aspektualitas ini dapat diungkapkan dengan penggunaan adverbial ujug-ujug’tiba-tiba’, sanalika ‘seketika’ ngerti-ngerti ‘tahu-tahu dan sebagainya. Sedangkan dalam BI dengan menggunakan adverbial tiba-tiba, seketika, sekilas, dan sekejap.
(6). Iteratif/ frekuentatif
Makna aspektualitas iteratif menggambarkan situasi yang berlangsung berulang-ulang. Dalam BJ, makna aspektualitas ini dapat diamati antara lain pada penggunaan verba bersufiks –i seperti nuthuki’memukuli’, njiwiti ‘mencubiti’ atau verba reduplikasi dengan dasar pungtual tipe nuthuk-nuthuk ‘memukul-mukul, nendhang-nendhang ‘menendang-nendang’ dsb atau pada penggunaan pemarkah frasa verbal kerep ‘sering’, tansah ‘selalu’ dan sebagainya. Sedangkan dalam BI makana iteratif dapat diamati antara lain, pada penggunggaan verba reduplikasi dengan dasar verpa pungtual tipe memukul-mukul, menendang-nendang, penggunaan sufiks–i pada verba pungtual tiep memukuli, memotongi atau adverbial aspektualiser selalu, berulang-ulang, berkali-kali.
(7). Habitualitif
Situasi habituatif menurut Tadjuddin (1993:8) adalah bagian dari situasi iteratif, bukan sebaliknya. Dengan perkataan lain, situasi habituatif selalu mengandung makna habituatif. Dalam BJ makna aspektualitas habituatif dapat diungkapkan dengan pemarkah leksikal biasane’biasanya’, adate’biasanya’, kulina ‘biasa, dan kulinane’ biasanya’. Dalam BI menggunakan terjemahannya.
(8). Kontinuatif
Makna aspektualitas kontinuatif menggambarkan situasi yang berlangsung secara terus-menerus dalam rentang waktu yang relatif lama. Dalam BJ makna aspektualitas ini dapat diungkapkan dengan penggunaan pemarkah terus-terusan ‘terus menerus’ dan tetep’ tetap’. Sedangkan dalam BI dapat diungkapkan melalui adverbia durasi seperti lama, sebentar, terus-menerus, tak henti-hentinya, dsb.
(9). Kompletif
Makna aspektualitas kompletif atau resultatif menggambarkan situasi yang berlangsung secara bulat dan menyeluruh, dari awal sampai akhir dan biasanya disertai hasil. Dalam BI biasanya digunakan pemarkah verbal wis’ sudah, ‘telah’, ‘rampung’ selesai’ bersama verba aktivitas dan statis. Dalam BI dengan menggunakan terjemahannya.
(10). Duratif
Makna aspektualitas duratif menggambarkan situasi yang berlangsung dalam kurun waktu yang terbatas. Ciri yang menandainya adalah keterbatasan waktu. Makna aspektualitas ini dala BJ dapat diamati, antara lain, pada penggunaan adverbia durasi sedhela’ sebentar’ sawetara wektu’ beberapa saat, sakjam ‘satu jam’ atau pemarkah frasa adverbia durasi sasuwene’selama’, sedangkan dalam BI makna ini dapat diamati dalam penggunaan sebentar, sejenak, satu jam, atau selama.
(11). Intensif
Makna aspektualitas intensif menggambarkan situasi yang menggambarkan secara intensif sehingga diperoleh hasil tertentu. Makna ini dalam BJ nampaknya hanya dapat melalui konteks tertentu, tetapi makna ini dalam artian umum dapat pula diamati, antara lain, pada penggunaan adverbial tipe terus-terusan ‘terus menerus’ dan tanpa kendhat ‘tak henti-hentinya. Sedangkan dalam BI hanya terjemahan dari BJ.
(12). Atenuatif
Makna aspektualitas ini menggambarkan situasi yang berangsung tidak sepenuhnya. Alakadarnya dalam intensitas yang lemah. Dalam BJ antara lain dapat diamati pada penggunaan verba reduplikasi dengan dasar verba statis, dan verba aktivitas tipe lungguh-lungguh’ duduk-duduk’, ngombe-ngombe’ minum-minum, dan ngomong-ngomong.
(13). Diminutif
Makna aspektualitas ini menggambarkan situasi yang keberlangsungannya mengandung makna agak atau melakukan sedikit. Dalam BJ dapat diamati pada verba reduplikasi dengan dasar verba statif, seperti isin-isin ‘malu-malu’, dan mumet-mumet’ pusing-pusing’.
(14) Finitif
Makna aspektualitas ini menggambarkan situasi yang berakhir tanpa indikasi ketercapaian hasil atau tanpa disertai hasil. Dalam BJ dapat diungkapkan dengan kata batal’batal’, wurung’urung’ dan sebagainya.
(15). Komitatif
Makna aspektualitas ini menggambarkan situasi yang merupakan pengantar situasi lain, misalnya ‘mengetuk-ngetuk’ ketika melakukan sesuatu. Bersiul-siul untuk mengiringi sesuatu. Dalam BJ dapat digunakan pemakaian konjungsi karo’ sambil’, dan sinambi’ sambil’, ‘seraya’.




3. Pembahasan

Reduplikasi yang akan dibahas dalam makalah ini adalah reduplikasi yang dalam morfemisnya berfungsi mengungkapkan makna aspektualitas. Tugas pengungkapan makna aspektualitas ini pada umumnya diemban oleh reduplikasi verba atau verba reduplikatif.
Berkenaan dengan pengertian reduplikasi, Moeliono (1988:166) memberikan batasan reduplikasi adalah proses pengulangan kata, baik secara utuh maupun sebagian. Sedangkan Kridalaksana (1983: 143) mengatakan bahwa reduplikasi adalah proses dan hasil pengulangan satuan bahasa sebagai alat fonologis atau gramatikal, misalnya rumah-rumah, tetamu, dan bolak-balik.
Secara garis besar reduplikasi dapat diklasifikasikan mencadi dua macam bentuk, yakni reduplikasi utuh dan reduplikasi sebagian (Sumarlam, 2004: 143). Reduplikasi utuh dalam bahasa Jawa disebut dengan istilah “Dwilingga” (DL). Bentuk reduplikasi ini dapat diklasifikasikan lagi menjadi bagian:
a. Reduplikasi utuh atau DL dengan tidak disertai perubahan vokal, seperti
Celuk  celuk-celuk ‘panggil-panggil’.
Lungguh  lungguh-lungguh ‘duduk-duduk’.
Teka  teka-teka ‘datang-datang’.
Contoh kalimat;
(1). Sarman wis suwe celuk-celuk, ning orak ono sing semau.
Sarman telah lama memanggil-manggil, tapi tidak ada yang menyahut.

(2). Pak wawan lan pak Yappi podho lungguh-lungguh wae ning emperan omah.
Pak wawan dan Pak Yappi sedang duduk-duduk saja di pelataran rumah.

(3). Bu Dwi wis dienteni suwe kok durung teka-teka.
Bu Dwi sudah ditunggu lama kok belum datang-datang.

b. Reduplikasi utuh dengan disertai perubahan bunyi vokal atau disebut “dwilingga salin swara” (DLS). Sementara itu, Poejosoedarmo (1981: 1231) menyebutnya dengan dwilingga salin suara . DLS ialah proses perulangan di dalam bahasa Jawa yang dibentuk dengan mengulangi seluruh bagian kata dasar disertai dengan perubahan bunyi vokal kata dasar itu.
Watuk  wotak-watuk ‘ berkali-kali batuk’
Celuk  celak-celuk ‘ berkali-kali memanggil’
Tangi  tonga-tangi ‘ berkali-kali bangun’.
Contoh kalimat;
(1). Pak John nek wis bengi wotak-watuk wae.
Pak John kalau sudah malam batu sering batuk-batuk.

(2). Aja celak-celuk wawan ning kene, dheweke lagi sinau.
Jangan memanggil-manggil wawan di sini, ia sedang belajar.

(3). Anake mbak Dwi lagi loro, nek turu tonga-tangi.
Anak Mbak Dwi sedang sakit, kalau tidur sering bangun.

Contoh-contoh di atas adalah contoh reduplikasi yang dibentuk dari kata dasar watuk, celuk, dan tangi dengan cara mengubah bunyi vokal [u] menjadi [a], [a] menjadi [o], [u] menjadi [a] dan bunyi [I] menjadi [a] dan [a] menjadi [o] pada kata dasar.
c. Reduplikasi jenis a dan b dengan disertai nasal seperti:
Tiba  niba  niba-niba ‘dengan sengaja menatuhkan diri’.
Sambet nyamber nyamber-nyamber ‘ menyambar-nyambar’.
Pijet  mijet  mijet-mijet ‘memijat-mijat’
Tutup nutup nutup-nutup ‘berkali-kali menutup.
Reduplikasi sebagian, dalam BJ disebut dengan istilah “dwipurwa” (DP) jika yang diulang suku kata depan atau “dwiwasana” (DW) jika yang diulang suku kata bagian belakang.
a. Reduplikasi sebagian dari suku kata depan atau DP mengalami perubahan bunyi vokal, selain vokal [], yaitu [u], [a], [i], [ ], [o], dan [e] berubah menjadi [], sedangkan kata yang suku kata pertamanya bervokal [] tidak mengalami perubahan. Contoh:
1. vokal [u], [a], [i] berubah menjadi []:
Tuku  tutuku  tetuku [t tuku] ‘membeli’
Sambat  sasambat sesambat [ssambat]’ merintih-rintih’
Siram sisiram  sesiram [sseiram] ‘ menyiram’
b. Reduplikasi sebagian dari suku kata bagian belakang atau DW, pada umumnya disertai sufiks-an, misalnya:
Cekikik  cekikik-cekikik cekikik+an cekikikan ‘tertawa kecil’
Cekak  cekakakcekakak-cekakak  cekakak+ancekakakan‘tertawa lebar’
Dremil dremimil ‘banyak memberi nasehat’ (karena perasaan khawatir)
Cenang cenanangcenanang-cenanangcenanang+ancenanangan ‘berjalan dengan mata liar’
Bentuk-bentuk reduplikasi di atas dapat disertai afiks-afiks tertentu atau mengalami penambahan afiks (reduplikasi berkombinasi dengan afiksasi), misalnya:
Perang  perang-perang+an perang-perangan‘berpura-pura berperang’
Dodol  dodol-dodol+andodol-dodolan ‘berpura-pura berjualan’
Antem antem-antem+anantem-anteman ‘berpura-pura memukul’
3.1. Reduplikasi verba bermakna Iteratif
Makna iteratif (“keberulang-ulangan, keberkali-kalian, “ pluraritas tindakan’, “kualitas tindakan repetitif”) terdapat pada verba reduplikatif dengan D sebkelas verba pungtual nuthuk ‘memukul’, watuk ‘batuk’, dhehem ‘berdehem’, manthuk ‘mengangguk’, nothok ‘mengetuk’, keplok ‘bertepuk tangan, dsb, yang dapat ditafsirkan ‘berkali-kali melakukan apa yang disebutkan oleh bentuk dasarnya (D). jadi verba reduplikatif berikut bermakna iteratif;
Nuthuk-nuthuk ‘berkali-kali memukul’
Watuk-watuk ‘berkali-kali batuk’
Dhehem-dhehem ‘berkali-kali dhehem’.
Contoh kalimat;
(1). Pak guru nuthuk-nuthuk mejo mergo bocah-bocah podho rame.
Pak guru memukul-mukul meja karena anak-anak sedang ramai.

(2). Aku mau krungu dheweke watuk-watuk.
Aku tadi mendengar dia batuk-batuk.

(3). Kae, Fandi dhehem-dhehem mergo lagi kepethuk pacare.
Itu, Fandi dhehem-dhehem karena sedang ketemu pacarnya.

Ke dalam kelompok verba reduplikatif ini termasuk D subkelas verba pungtual yang mengalami proses pengulangan “dwilingga salin swara” (DLS) seperti:
Nyelak-nyeluk ‘berkali-kali memanggil’
Nutap-nutup ‘berkeli-kali menutup’
Mbengak-mbengok ‘berkali-kali berteriak’
Verba reduplikatif bentuk dwilingga berikut juga bermakna iteratif:
Ngidak-idak “ menginjak-injak’
Ngethok-ngethok ‘ memotong-motong’
Nyamber-nyamber ‘menyambar-nyambar’
Contoh kalimat dari dua kata di atas;
(1). Kae, adhimu mbengak-mbengok nyeluki kue.
Itu, adikmu berteriak-teriak memanggil-manggil kamu.

(2). Manuk Gagak kae nyamber-nyember golek mangsa.
Burung Gagak itu menyambar-nyamber mencari mangsa.


3.2. Reduplikasi verba bermakna kontinuatif.
Makna kontinuatif (“terus-menerus”, “kualitas tindakan berkesinambungan”) terdapat pada verba reduplikasi dengan D subkelas verba aktivitas tuku ‘membeli’, mlaku ‘berjalan, menjadi nenuku ‘terus-menerus membeli, mlaku-mlaku ;terus-menerus berjalan, dsb yang menggambarkan situasi tunggal yang berlangsung secara berkepanjangan. Makna demikian dapat ditafsirkan dengan terus-menerus atau lama melakukan perbuatan yang disebutkan oleh D. jadi, mlaku-mlaku ‘berjalan-jalan’, misalnya dapat ditafsirkan dengan terus menerus /lama (melakukan perbuatan) berjalan atau terus-menerus/lama berjalan dan tidak mungkin ditafsirkan ‘berkali-kali berjalan.
Termasuk ke dalam kelompok verba reduplikatif jenis ini ialah:
eling  ngeling-eling ‘terus-menerus mengingat’
elus  ngelus  ngelus-elus ‘terus menerus membelai’
guyu ngguyu ngguyu-ngguyu ‘terus menerus tertawa’
Contoh kalimat;
(1). Bu Erna ngelus-elus rambute Wulan kebak rasane trenyuh.
Bu Erna terus-menerus membelai rambut Wulan dengan perasaan haru.

(2). Dheweke ngeling-eling kedadean kang mentas bae dialami.
Dia terus-menerus mengingat kejadian yang baru saja dialami.

(3). Maimun nek kepethuk Dewi musti ngguya-ngguyu.
Maimun kalau ketemu Dewi mesti ketawa-tawa.

3.3. Reduplikasi Verba bermakna duratif-atenuatif
Makna atenuatif (ketidaktentuan tujuan tindakan, tanpa tujuan yang sebenarnya, kualitas tindakan santai) terdapat pada verba reduplikatif dengan D subkelas verba statis tipe lungguh-lungguh’ duduk-duduk’, turu-turu ‘tidur-tidur’, dan sub kelas verba aktivitas tipe mlayu-mlayu ‘berlari-lari’, dolan-dolan ‘bermain-main, ngobrol-ngobrol ‘berbincang-bincang’, ngombe-ngombe ‘minum-minum’, dsb yang dapat ditafsirkan dengan tidak sungguh-sungguh melakukan. Dari segi makna aspektualitas tafsiran di atas cenderung bermakna duratif sebab perbuatan yang bermakna atenuatif sebenarnya menggambarkan situasi yang berlangsung dalam waktu tertentu/terbatas.
Lungguh-lungguh ‘tidak dengan sungguh-sungguh duduk’
Turu-turu ‘tidak dengan sungguh-sungguh tidur’
Dolan-dolan ‘bermain-main tanpa tujuan yang jelas’
Verba reduplikatif bentuk dwipurwo (DP), berkombinasi dengan afiks (sufiks-an) (DP-an) berikut ini juga menyatakan ‘ketidaktentuan tujuan’ (atau jika mempunyai tujuan, perbuatan itu dilakukan dengan santai atau sekadar untuk mencari kepuasan saja), misalnya:
Teturon ‘ tiduran’ (dilakukan dengan santai untuk mencari kepuasan)
Tetembangan ‘bernyanyi-nyanyi’ (untuk mencari kepuasan)
Jejogetan ‘ menari-nari’ (untuk mencari kepuasan)
Ke dalam kelompok ini termasuk verba reduplikatif yang cenderung bernuansa arti kepura-puraan, misalnya:
Turu-turunan ‘tidur-tiduran’
Dodol-dodolan ‘ berpura-pura jualan’
Perang-perangan’ berpura-pura perang’
Berikut ini adalah contohnya:
(1). Ana saweneh karyawan sing ana ing kantor mung lunggah-lungguh wae.
Ada sebagian karyawan yang berada di kantor hanya duduk-duduk saja.

(2). Dheweke mrana-mrene mung dolan-dolan wae.
Dia ke sana ke mari hanya bermain-main saja.

(3). Saben esuk, aku turu-turu wae kok.
Setiap pagi, aku tidur-tidur aja.

(4). Sinambi teturon leyeh-leyeh ana ing lincak utawa amben, padha nglegakake ura-ura tembang dhandhanggula, sinom, megatruh, lan sapananggulangane.
Sambil tidur-tiduran (dengan santai) di balai-balai, mereka memuaskan (denga cara) menyenyikan tembang dhandhanggula, sinom, megatruh, dan sejenisnya.

(5). Si Arif tetembangan kidung lirik kanti swara sing ulem.
Si Arif menyanyikan (dengan santai untuk mencari kepuasan) kidung secara pelan dengan suara merdu.

(6). Dene Si begijil sabalane awan bengi jejogedan seneng-seneng.
Adapun Si begijil dan kawan-kawannya siang malam menari-nari bersenang-senang



3.4. Reduplikasi verba bermakna duratif-diminutif
Makna diminutif (ala kadarnya, agak) terdapat pada verba reduplikatif dengan D subkelas verba statif, seperti isin-isin ‘malu-malu’, mumet-mumet ‘pusing-pusing’, wedi-wedi ‘takut-takut’, gatel-gatel ‘gatal-gatal’ yang dapat ditafsirkan sedikit mengalami apa yang disebutkan oleh D atau sedikit D atau agak D. Tafsiran demikian lebih tepat diidentifikasi sebagai bermakna duratif dari pada makna aspektualitas lainnya, sehingga secara teknis dapat disebut “aspektualitas duratif-diminutif. Jadi verba reduplikasi berikut bermakna duratif-diminutif:
Isin-isin ‘sedikit/agak malu’
Mumet-mumet ‘ sedikit/agak pusing’
Wedi-wedi ‘sedikit/agak takut’.
Berikut adalah contoh-contohnya:
(1). Maimun ijeh isin-isin nek ngomong karo Dewi.
Maimun masih sedikt malu kalau berbicara dengan Dewi.

(2). Senajan mumet-mumet aku ya tetep teka.
Meskipun adikit/agak pusing saya tetap datang.

(3). Dewheke isih wedi-wedi ing babagan iku.
Dia masih agak takut dalam hal itu.

3.5. Reduplikasi Verba bermakna Iteratif Resiprokatif
Makna resiprokatif (“saling”, “resiprokal”) terdapat pada D subkelas verba pungtual, aktivitas, dan statis tipe antem-anteman ‘saling memukul’, jiwit-jiwitan ‘saling mencubit’, adhep-adhepan ‘berhadap-hadapan’, dsb yang dapat ditafsirkan dengan saling memberi/melakukan apa yang disebutkan oleh D.
Pada kata tipe antem-anteman ‘pukul memukul’, saling memukul;, misalnya, terkandung pengertian bahwa perbuatan yang dilakukan secara berbalasan (bentuk kesalingan) itu dilakukan beberapa kali atau bahkan berkali-kali, yang jelas tidak hanya sekali. Dari segi sematis aspektualitas, reduplikasi verba bermakna resiprokatif termasuk ke dalam makna iteratif. Dengan demikian, makna aspektualitasnya disebut aspektualitas iteratif resiprokatif, yakni makna aspektualitas iteratif bernuansa resiprokal. , seperti:
Antem-anteman ‘saling memberi pukulan’
Jiwit-jiwitan ‘saling mencubit’
Adhep-adhepan ‘saling berhadapan’
Berikut contoh kalimatnya:
(1). Mahasiswa Teknik lan Fisip UNM antem-anteman sakwuse lomba Badminton ing Jakarta.
Mahasiswa teknik dan fisip saling pukul-pukulan setelah lomba bulutangkis di Jakarta.

(1). Maimun lan Dewi padha jiwit-jiwitan ana ing kelas.
Maimun dan Dewi saling cebut-cubitan di kelas.

(2). Masyarakat Tim-tim pecah dadi 2 blok/golongan, pro integrasi adhep-adhepan karo pro-kamardhikan Tim-Tim.
Masyarakat Tim-Tim terpecah menjadi dua kelompok/golongan, pro integrasi berhadap-hadapan dengan pro-kemedekaan.


3.6. Reduplikatif Verba bermakna Habituatif.
Makna habituatif (“kebiasaan’, “kesukaan”) terdapat pada verba reduplikasi dengan D subkelas verba aktivitas tipe njaluk ‘meminta’ yang mengalami proses pengulangan atau DP menjadi jejaluk ‘meminta-minta’, proses pengulangan DP tipe seperti itu juga tampak pada bentuk verba sebagai berikut:
Nyolong ‘mencuri’  nyenyolong
Mbegal ‘menyamun’ mbebegal
Ngrampok ‘merampok’ ngrerampok
Njarah ‘menjarah’ nggegawa
Makna dari bentuk demikian dapat ditafsirkan dengan ‘biasa’, suka, seperti yang disebutkan oleh D. Dengan demikian, verba reduplikasi berikut bermakna:
Njejaluk ‘biasa/suka meminta-minta’
Nyenyolong ‘biasa/suka mencuri’
Mbebegal ‘biasa/suka menyamun’
Ngrerampok ‘biasa/suka merampok’
Termasuk ke dalam kelompok ini adalah verba reduplikatif dengan D subkelas verba statis seperti dibawah ini:
Nyenyimpen ‘biasa/suka menyimpan’
Nyenyilih ‘biasa/suka meminjam’
Contoh kalimat:
(1). Uwong kuwi kudu sregep, aja njejaluk.
Orang itu harus rajin, jangan meminta-minta.

(2). Kraman sing dimanggalani si Jaka ngrerampok..
Pembrontak yang dipimpin Si Jaka suka merampok.


3.7. Reduplikasi Verba Bermakna Ingresif
Makna aspektualitas ingresif terdapat pada verba reduplikatif dengan D subkelas punktual, statis, dan statis yang mengalami proses pengulangan DL. Verba reduplikatif ini menyatakan arti ‘begitu D’ atau baru saja D’. D subkelas verba pungtual:
tangi ‘bangun’  tangi-tangi ‘begitu/baru saja bangun’
teka ‘datang’  teka-teka ‘begitu/baru saja datang’
D subkelas verba statis seperti:
Krungu ‘mendengar’  krungu-krungu ‘begitu/baru saja mendengar’
Merem ‘terpejam’ merem-merem ‘begitu/baru saja terpejam’.
Bentuk reduplikasi tersebut dapat diparafrasa dengan lagi wae D ‘baru saja D’, atau D dhog ‘begitu D’ (khusus untuk teka ‘datang’). Bentuk perafrasa dengan makna perfektif dan urutan dua kejadian /peristiwa itu dapat diamati contoh berikut:
(1). Tangi-tangi terus nangis.
Begitu bangun terus menangis

(2). Lagi wae tangi terus nangis.
Baru saja bangun terus menangis.

(3). Teka-teka terus turu.
Datang-datang terus tidur.

(4). Teka dhog terus turu.
Begitu datang terus tidur.

3.8. Reduplikasi Verba Bermakna Kontinuatif-Intensif
Makna intensif (penekanan, kesungguhan, intensitas) terdapat pada verba reduplikatif dengan sub-kelas verba aktivitas bentuk DP, seperti memuji ‘memuja’, ndedongo ‘berdoa, nenepi ‘bertapa’ atau bentuk dwiwasana (DW), seperti ndremimil ‘berkata banyak/menasihati (dengan sungguh-sungguh)’. Kata ndedonga ‘maknanya dapat ditafsirkan ‘terus menerus berdoa secara sungguh-sungguh (dengan kesungguhan).
Situasi atau perbuatan yang berlangsung secara terus menerus dalam waktu relatif lama adalah situasi yang menggambarkan makna aspektualitas kontinuatif. Oleh karena itu, secara semantis aspektualitas, situasi demikian itu disebut ‘aspektualitas kontinuatif dengan nuansa intensif.
Di samping reduplikasi bentuk DP dan DW, bentul DL yang didahului dengan kata ingkar seperti ora teka-teka ‘tidak kunjung datang’, ora metu-metu ‘tidak kunjung keluar, dan durung bali-bali ‘belum juga kembali’ juga dapat menyatakan makna intensitas.
Ora teka-teka ‘tidak kunjung datang’
Ora metu-metu ‘tidak kunjung keluar’
Berikut adalah contoh Kalimatnya:
(1). Rewangana memuji supaya adhime enggal waras.
Bantulah berdoa agar adikmu cepat sembuh.

(2). Aja kendhat olehmu dhedonga supaya Kabul penyuwunmu.
Jangan (sekalisekali kamu) berhenti berdoa agar terkabul permohonanmu.

(3). Dheweke ngumbara banjur nenepi ing gunung-gunung lan guwo-guwo.
Ia mengembara lalu bertapa di gunung-gunung dan goa-goa.


(4). Dienteni kawet mau ora teka-teka.
Ditunggu dari tadi tidak kunjung datang.

(5). Diundang bola-bali ora metu-metu.
Dipanggil berkali-kali tidak kunjung keluar.


4. Simpulan

Secara garis besar, reduplikasi dapat diklasifikasikan menjadi dua macam bentuk, yakni reduplikasi utuh, dan reduplikasi sebagian. Reduplikasi utuh dalam bahasa Jawa disebut dengan reduplikasi dwilingga (DL), sedangkan reduplikasi sebagian disebut dwipurwa (DP) jika yang diulang suku kata depan atau dwiwasana (DW) jika yang diulang suku kata bagian belakang.
Pengungkapan makna aspektualitas BJ pada tataran morfologi melalui reduplikasi meliputi makana iteratif (berulang-ulang), kontinuatif (terus menerus), duratif atenuatif (berlangsung dalam durasi tertentu dengan nuasa ketidaktentuan), duratif diminutif (berlangsung dalam durasi tertentu dengan nuansa diminutif, iteratif resiprokatif (berulang-ulang dengan nuansa saling), habituatif (biasa, suka), ingresif (begitu, baru saja), dan kontinuatif intensif (terus-menerus berkesinambungan dengan nuansa intensif, sungguh-sungguh).
Daftar Pustaka

Alwi, Hasan. 1992. Modalitas Dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.

Basuki, Rokhmat.2000. Verba(l)-I dan verba(l)-ake Bahasa Jawa: Kajian Struktur dan Semantik”. Tesis Universitas Padjajaran.

Comrie, Bernard. 1981. Aspect: an Introduction to the Study of Verbal Aspect and Related Problems. Cambridge: Cambridge University Press.

Djayasudarma, T. Fatimah. 1985. Aspek, Kala Adverbial Temporal, dan Modus”. Dalam Bambang Kaswanti Purwo. (ed). Untaian Teori Sintaksis 1970-1980-an. Jakarta: Arcan.

Moeliono, Anton M. et al.1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Cet.1 Jakarta: Balai pustaka.
Poejosoedarmo, Gloria, Wedhawati, Laginem. 1981. Sistem Perulangan dalam Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sudaryanto dkk. 1992. Tata Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sumarlam. 2004. Aspektualitas Bahasa Jawa Kajian Morfologi dan Sintaksis. Surakarta: Pustaka Caraka.

Tadjuddin, Moh. 1993. Pengungkapan Makna Aspektualitas Bahasa Rusia dalam Bahasa Indonesia: Suatu Telaah Tentang Aspek dan Aksionalitas. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

-------------- 2005. Aspektualitas Dalam Kajian Linguistik. Bandung: PT. Alumnni.

Mantra: Kedudukan dan Fungsinya dalam Masyarakat

Ahdi Riyono, S.S., M.Hum
(Pemerhati Budaya Jawa)


Mantra merupakan salah satu jenis sastra lisan yang berkaitan dengan tradisi masyakat Jawa. Sebagai sastra lisan, mantra merupakan salah satu bentuk kebudayaan daerah yang diwariskan dari mulut ke mulut. Mantra sendiri digolongkan ke dalam jenis puisi karena bentuknya yang tetap dan bersajak. Mantra juga merupakan warisan yang turun temurun. Konon dalam masyarakat tradisional, sebuah mantra memiliki kekuatan gaib (daya magis). Dengan mantra ini, alam pikiran manusia berhubungan dengan hal-hal supernatural sehingga dengan membaca mantra itu, sesuatu yang tidak mungkin terjadi dapat menjadi kenyataan.
Mantra menurut Hasan Shadily dalam Ensiklopedia Indonesia Jilid 4 (1983) adalah rumusan kata-kata atau bunyi yang berkekuatan gaib, diucapkan berirama seperi senandung, digunakan sebagai doa bagi pengucap atau pendengar, yang wajid dihafal tepat kata-katanya untuk menghindari bencana jika terjadi kekeliruan dalam mengucapkannya. Pada umumnya, mantra diucapkan dengan menyeru atau menyebut Allah, nabi-nabi, aulia, arwah cikal bakal atau bunyi kata yang tidak bermakna, seperti hong wilaheng dan lain-lain. Fungsi mantra dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit mendatangkan kebaikan dan celaka, mengusir harimau, mengusir hantu dan sebagainya.
Perbedaan mantra dengan doa menurut Fischer (1980) adalah doa diucapkan dalam rangka kegiatan magis. Doa diucapkan dengan suara keras dan susunan kata-katanya berirama sehingga lebih mudah dihafal dan diingat. Di dalam mantra biasanya terkandung kata-kata yang dirasakan mempunyai daya magis. Kata mantra sering juga dihubungkan dengan japa dan japamantra. Mantra dilafalkan dengan pelan-pelan, bahkan hanya diucapkan dalam batin. Di dalam mantra juga terkandung pesan, sugesti, larangan yang menuju ke suatu titik mistik. Utamanya ke arah memayu hayuning bawana, agar tercipta keindahan dan harmoni manusia dengan sesama, alam semesta dan Tuhan.
macam-macam Mantra
Adapun pembagian jenis mantra ada yang membagi kedalam dua macam saja, yaitu hitam dan putih. Namun bagi masyarakat Jawa Timur khususnya orang using membagi menjadi empat, yaitu magi, (1) hitam (2) merah, (3) kuning, dan (4) putih (Kusnadi, 1993) (Saputra, 2001).
Mantra magi hitam, yaitu mantra yang dijiwai oleh nilai-nilai kejahatan dan digunakan untuk tujuan kejahatan. Magi hitam ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan korbannya meninggal dunia. Contoh magi hitam adalah bantal nyawa, bantal kancing, cekek, sebul dan setan kubur.
Mantra magi merah ialah mantra yang pemakaiannya tidak dilandasi hati nurani, tetapi didorong untuk memenuhi hawa nafsu dengan tujuan agar korban tersiksa batin dan fisiknya. tetapi tidak sampai berakibat fatal sebagaimana pada mantar hitam. Yang tergolong magi merah adalah jaran goyang, siti henar, semut gatel, bantal guling, gombal kobong, dan polong dara.
Mantra magi kuning ialah mantra yang penggunaannya didasari atas ketulusan hati dan maksud baik; biasanya hanya terbatas pada hubungan antar individu. Penggunaan mantra ini bukan hanya disenangi atau dicintai sesama manusia, tetapi juga termasuk binatang. Yang tergolong magi ini antara lain; sabuk mangir, si gandrung mangu-mangu, semar mesem, ambar sari, si kumbang jati, tes putih-tes abang.
Mantra magi putih ialah mantra yang dijiwai oleh nilai-nilai kebaikan dan digunakan untuk tujuan kebaikan. Mantra ini berfungsi untuk menetralisasi praktik mantra magi hitam dan merah., baik untuk penyembuhan, maupun penolak bala. Yang tergolong mantra magi ini adalah semua mantar yang digunakan untuk penyembuhan atau pengobatan dan pencegahan atau penolak bala.

Fungsi Mantra
Mantra sebagai salah satu bentuk folklor mempunyai empat fungsi, salah satunya adalah sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan. Dalam konteks ini, pranata dimaknai sebagai sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi beserta adat istiadat dan sistem norma yang mengaturnya., serta seluruh perlengkapannya. guna memenuhi berbagai kompleks kebutuhan manusia dalam kehidupan.
Setiap tradisi memiliki pranata sosial sendiri sesuai konteks dinamika budaya yang bersangkutan. Menurut Herusatoto (1985), setiap tradisi atau adat istiadat mempunyai empat tingkatan, yakni: (1) tingkat nilai budaya, (2) tingkat norma-norma, (3) tingkat hukum, (4) tingkat aturan khusus.
Tujuan pemanfaatan mantra merupakan bentuk kompensasi dari ketidakberdayaan orang memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan pranata formal. Oleh karena pranata formal tidak mampu menampung konflik-konflik dalam masyarakat, kompensasinya muncul pranata-pranata sosial tradisional yang mampu menyelesaikan konflik-konflik tersebut dengan karakternya masing-masing. (positif-negatif). Hal tersebut akhirnya membudaya dan bahkan diwariskan kepada generas penerus. Hal ini sesuai dengan pendekatan psikologitik yang dinyatakan oleh Sutardja (1996) bahwa secara naluriah suatu kelompok etnik telah memiliki mekanisme dalam menghadapi dan memecahkan problema-problema sosial budaya yang diwarisi dari nenek moyangnya. Implikasinya dari relevansi secara psikologis ini ialah bahwa manusia memerlukan pegangan batin untuk menghadapi masalah-masalah sosial budaya. Bila mekanisme pegangan batin semacam itu macet., semakin berat masalah yang akan dihadapinya.
Dengan demikian, penilaian bijak terhadap potensi mantra tidak seharusnya dilakukan secara normatif hitam-putih, melainkan harus diposisikan dalam moralitas budaya yang kontekstual.
Mantra Putih Bentuk Kidung
Kidung ialah nyanyian, lagu, atau syair yang dinyanyikan, disebut juga puisi (dalam tembang Jawa). Menurut Zoetmulder (1983:142), kidung adalah sejenis puisi jawa pertengahan yang mempergunakan metrum-metrum asli jawa. Misalnya Kidung rumeksa ing wengi, tembang Dandhanggula. Kidung mantra ini diciptakan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Karena kedekatannya dengan rakyat membuat Sunan Kalijaga sering dimintai pertolongan untuk mengobati orang sakit, dimintai doa-doa dan tolak bala. Kemudian Sunan Kalijaga memberi mereka doa (mantra) berupa Kidung Rumeksa Ing wengi.(Hariwijaya, 2007).
Inti laku pembacaan mantra ini adalah agar kita senantiasa mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga terhindar dari kutukan dan malapetaka yang lebih dahsyat. Dengan demikian, kita dituntut untuk senantiasa berbakti, beriman, dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Mengenai Fungsi kidung secara eksplisit tersurat dalam kalimat kidung itu, yang antara lain: penyembuhan segala macam penyakit, pembebas pageblug, mempercepat jodoh bagi perawan tua, penolak bala di malam hari, seperti teluh, santet, hama, dan pencuri, menang dalam perang, memperlancar cita-cita luhur dan mulia.
Kidung ini terdiri atas sembilan bait yang disertai laku dan fungsi pragmatisnya secara spesifik. Bagian pertama terdiri dari lima bait yang wajib diamalkan setiap malam. Bagian kedua, terdiri dari empat bait berupa petunjuk menyertai laku dan wajib dilaksanakan oleh setiap orang yang mengamalkannya. Berikut contoh kutupan sebagian mantra Kidung Rumeksa Ing Wengi;

Kidung Rumeksa Ing Wengi

Ana kidung rumeksa in wengi
Tuguh ayu luputa in lelara
Lututa billahi kabeh
Jim setan datan purun
Paneluh tan ana wani
Miwah panggawe ala
Gunaning wong luput
geni atemahan tirta
maling adoh tan ana ngarah mring mami
Guna duduk pan Sirna

Sakabehing lara pan samnya bali
Sakeh ngama pan sami miruda
welas asih pandulune
sakehing braja luput
kadi kapuk tibaning wesi
sakehing wisa tawa
Sato galak lulut
kayu aeng lemah sangar
songing landhak guwaning wong lemah miring
myang pokiponing merak

Kajian Budaya

Makna Simbolis Tembang Lir-ilir dan E-dayohe: Karya Sunan Kalijaga
Oleh Ahdi Riyono, S.S., M.Hum


Ilir-ilir

Ilir-ilir 2x tandure wis sumilir
tak ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar
cah angon2x penekna blimbing kuwi
lunyu-lunyu ya penekna kanggo masuh dodotira
dodotira2x kumitir bedhah ing pinggir
dondomana jrumatana kanggo seba mengko sore
mumpung padhang rembulane mumpung jembar kalangane
Suraka surak hore.
(Kanjeng Sunan Kalijaga)

Perlu diketahui bahwa Sunan Kalijaga (Endraswara, 2003) adalah seorang wali yang melegenda di masyarakat Jawa. Nama Sunan Kalijaga berasal dari kata susuhunan (orang terhormat), qadli (pelaksana, penjaga, pimpinan), dan zaka (membersihkan). Maka, sangat cocock bila tugas Sunan Kalijaga sebagai wali, tak lain menjadi pimpinan untuk menjaga kebersihan umat dari perbuatan batil. Bahkan, ada yang berusaha othak-atik mathuk, kalijaga berasal dari kali (sungai) dan jaga (menjaga), artinya menjaga aliran sungai, yaitu perjalanan atau syiar agama Islam. Dalam tugas dakwah yang berat tersebut, Sunan Kalijaga ternyata mampu menggunakan teknik dakwah secara estetik-sufistik.
Salah satu teknik beliau, menggunakan tembang-tembang. Sebagai contoh, Sunan Kalijaga mengarang tembang menggubah tembang macapat metrum Dhandhanggula. Macapat dapat diartikan cara membaca (melagukan) empat-empat, yaitu perhentian nafas pada empat suku kata-empat suku kata. Macapat bisa juga berasal dari kata “macapat: = man + ca + pat = iman + panca + patokan. Dakwah Islam yang pertama harus memperhatikan Rukun Iman dan Rukun islam (panca) sebagai patokan . Dhandanggula berasal dari dhandhang dan gula yang berati pengharapan akan yang manis. Dakwah Islam yang dibawakan secara enak dan menyenangkan akan membawa harapan untuk menuju kebahagiaan, karena yakin dan percaya akan kebijaksanaan, kemurahan, keagungan, kekayaan, dan keadilan, maha mengetahui kebaikan yang meliputi dari Allah Tuhan Yang Maha Esa.
Salah satunya adalah tembang ilir-ilir. tembang ini merupakan bahan dakwah para wali pada awal perkembangan Islam. Para Wali menggunakan lagu ini sebagai simbol asosiasi penyebaran agama Islam. Melaui tembang ini, ternyata orang jawa lebih simpatis memasuku agama baru, yaitu agama Islam. alunan tembang ynag ritmis dan menarik disertai makna religiusitas, justru mampu mengetuk hati orang jawa, mulai dari rakyat jelata (Wong Cilik) sampai para penguasa kerajaan (Wong Gedhe). Adapun sayir tembang lir-ilir yang saya kutip di atas, memberikan rasa optimis kepada seseorang yang sedang melakukan amal kebaikan amatl itu berguna untuk bekal di hari akhirat. Kesempatan hidup di dunia itu harus dimanfaatkan untuk berbuat kebajikan, jangan membunuh nanti akan ganti dibunuh karena semua ada balasannya.
Menurut Para ahli tafsir (Hariwijaya, 2007) tembang ilir-ilir adalah sebagai sarana penyiaran agama Islam secara damai, tanpa paksaan dan kekerasan. Toleransi di dalam menyiarkan agama Islam sangat jelas hingga terjadi asimilasi dan adaptasi antara ajaran Islam dengan ajaran lainnya, sehingga terjadi apa yang disebut culture contact. Adapun makna tembang ini adalah sebagai berikut;
Ilir-ilir, ilir-ilir tandure wis sumilir. Makin subur dan tersiarlah agama Islam yang didakwahkan oleh para wali dan mubaligh Islam. Tak ijo royo-royo taksengguh penganten anyar. Hijau adalah warna dan lambang agama Islam, bagaikan penganten baru. Maksdunya, agama Islam bagitu menarik dan kemunculannya yang baru diibaratkan dengan penganten baru. Warna Hijau sendiri pada waktu itu, juga bendera Kekhilafahan Ustmanih (Turki Otoman) sebagai empirium Islam pada masa itu.
Cah angon-cah angon penekna blimbing kuwi, Cah angon atau penggembala, dibaratkan dengan penguasa yang menggembalakan rakyat. Para penguasa itu disarankan (dianjurkan) untuk segera masuk ke dalam agama Islam, disimbolkan dengan buah belimbing yang mempunyai bentuk segi-lima sebagai lambang rukun Islam. Lunyu-lunyu penekna kanggo masuh dodotira, Walaupun licin, susah, tetapi usahakanlah sekuat tenaga agar dapat masuk Islam demi mensucikan dodot. Dodot adalah jenis pakaian yang sering dipakai sebagai lambang agama atau kepercayaan.
Dodotira, dodotira, kumitir bedhah ing pinggir, pakaianmu, agamamu sudah rusak, karena dicampur dengan kepercayaan animisme. Domdomana jrumatana kanggo seba mengko sore. Agama yang sudah rusak itu jahitlah, perbaikilah sebagai bekal menghadap Tuhan. Mumpung jembar kalangane mumpung padhang rembulane. Mumpung masih hidup masih ada kesempatan untuk bertobat. Suraka Surak hore, bergembiralah, semoga kalian mendapatkan anugerah Tuhan.
Sunan Kalijaga ketika bulan Ramandhan tiba, agar masyarakat menyambut dengan kegembiraan, maka beliau menciptakan sebuah tembang pennyambutan. Berbeda dengan gaya orang sekarang menyambut Bulan Ramandhan dengan untaian kata, Marhaban ya Ramandhan. Tembang ciptaan beliau berupa tembang dolanan (permainan) yang sering dilagukan anak-anak, yaitu E, Dhayohe Teka (E Tamunya Datang) (Endraswara, 2006). Adapun syair lagunya sebagai berikut;

E dhayohe teka e gelarna klasa,
E klasane bedhah,
E tambalen jadah,
E jadahe mambu e pakakna asu,
E asune mati e buwangen kali,
E kaline banjir e buwangen pinggir,
E pinggire lunyu e yo goleka sangu.

Tembang tersebut memberikan gambaran terhadapt umat Islam bahwa dhayah identik dengan tamu (bulan Ramandhan). Lagu tersebut memberikan gambaran umat islam diharapakn menyambut bulan suci yang penuh berkah ini dengan beberapa cara, yaitu harus siap nggelar klasa (memasang tikar) yang suci, hati suci. Saat ini mulailah membersihkan hati/ menjernihkan pikiran, perasaan, dan keinginan. Agar jangan sampai hati kita bedhah (robek) seperti tikar. Kendatipun hati terpaksa robek, harus diusahakan menambal dengan jadah. Maksudnya, jadah adalah makanan berasal dari ketan, karena jangan sampai di bulan Ramandhan ini raket (dekat) dengan setan, dekatlah dengan Allah, dengan jalan mujahadah dan mukhasabah.
Dhayoh dalam padangan sufisme Jawa, juga bermakna banyi lahir. Bayi itu bersih, suci, belum ternoda. Karena itu, penyambutan bulan Ramandhan juga diharapkan seperti halnay orang sedang mendapatkan anugerah, kelahiran anak, gembira penuh harapan. Untuk itu mereka laksanakan padusan, agar suci bersih. Perasaan sedang ridla, ikhlas, selalu menyertai di dalam hati.
Demikian, gambaran sekelumit cara Kanjeng Sunan Kalijaga mendakwahkan agama Islam dengan estetika yang membuat masyarakat pada waktu berduyun-duyun memeluk agama Islam dengan senang hati, dan tanpa paksaan sedikitpun. Semoga tulisan ini dapat memberikan kita inspirasi agar kita dalam melakukan apapun harus disesuikan dengan situasi dan kondisi kejiwaan masyarakat agar tujuan kita dapat tercapai dengan baik. Wassalam.