Wednesday, April 26, 2017

Belajar Karakter Bangsa dari Bahasa



Belajar  Karakter Bangsa dari Bahasa
Ahdi Riyono
(Sekretaris Pusat Studi Kebudayaan Universitas Muria Kudus)


Pendahuluan                                                                 
Bahasa adalah hasil kebudayaan manusia yang sangat unik. Keunikkannya tidak mungkin diproduksi oleh makhluk lain di muka bumi ini. Di dunia ini ada ribuan bahasa yang memiliki bentuk dan fungsi yang beraneka macam. Di wilayah nusantara ini ada sekitar 700 lebih bahasa daerah, ada yang jumlah penuturnya masih ratusan, ada yang penuturnya tersisa puluhan, ada yang  hanya beberapa orang, bahkan ada yang sudah punah. Kepunahan bahasa bisa dikatakan sebagai kepunahan sebuah kebudayaan dan karakter penuturnya. Karena esensi dari sebuah bahasa adalah sebagai ciri kepribadian atau karakter dari masyarakat  tuturnya.
  Karakter yang dimaksud di sini adalah bagian dari kepribadian (personality). Dalam Kamus The Collins Cobuild Dictionary kepribadian didefinisikan sebagai ‘…one’s whole character and nature’. Sedangkan menurut De Raad (2001) dalam Zoltan Dornyei  (2005) kepribadian adalah karakter seseorang yang terdapat dalam pola-pola perasaan (feeling), berpikir (thinking), dan bersikap (behaving) secara konsisten. Karakter suatu masyarakat atau individu dapat diamati dari bahasanya. Oleh karena itu, belajar karakter dapat diambil dari (1) bentuk atau  struktur bahasa suatu masyarakat/individu, dan (2) Fungsi bahasa dalam pemakaian di lingkungan sosialnya.



Bentuk Bahasa
Setiap bahasa memiliki keunikan bentuk masing-masing. Greenberg (1966) membagi bahasa di dunia menjadi tiga tipe universal word order (urutan frasa semesta), yakni verb + subject + O (VSO), subject + Verb+ O (SVO), dan subject + object +  verb ( SOV).  Ternyata ketiga bentuk tersebut memiliki korelasi dengan urutan kata ditempat lain dalam tata bahasa secara konsekuen. Dengan kata lain, masing-masing tipe urutan frasa itu mempunyai implikasi secara konsekuen dengan urutan kata itu. Misalnya bahasa yang urutan VSO-nya dominan selalu mempunyai preposisi, sebaliknya bahasa dengan urutan frasa SOV biasanya berpostposisi, dan bahasa yang SOV-nya dominan dan genetif mngikuti nomina, maka adjektivanya pun mengikuti nomina.
Berbeda dengan Greenberg, linguis Indonesia Prof. Soepomo Poedjosoedarmo (2001) dalam penelitiannya menemukan rangkaian cooccurence yang agak berbeda. Beliau tidak menggunakan fungsi S,V,O, tapi kategori atau jenis kata N,V,N,N. N pertama adalah subjek. N kedua adalah objek tak langsung. N ketiga adalah objek langsung. Jadi baik S maupun O digantikan dengan N. Dengan demikian, maka misalnya bahasa Inggris dan juga bahasa Indonesia dapat diformulasikan berurutan  NVNN, sedangkan bahasa Jerman dapat berurutan NVNN, atau VNNN atau VNNNV. Bahasa Arab dapat berurutan V NNN atau NVNN. Bahasa-bahasa di Filipina berurutan VNNN. Bahasa Jepang berurutan NNNV. Bahasa Latin V dapat berpindah-pindah, demikian juga N. dari formulasi tersebut Poedjoseodarmo (2001) menyimpulkan bahwa bahasa yang mempunyai pola urutan NNN berjajar tanpa ada penyela V, maka diperlukan tanda untuk mengetahui mana N yang subjek, mana yang objek langsung dan tak langsung.  
Dalam bahasa Jerman tanda-tanda itu berbentuk penanda kasus yang kebetulan juga berfungsi sebagai artikel (kata sandang). Ada kasus nominative, datif dan akusatif. Dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia N sebagai subjek dan objek ditandai dengan letaknya. Kalau N-N yang berfungsi objek berpindah tempat, maka diperlukan kata tugas semacam preposisi untuk menandai objek yang tak langsung. Adapun dalam bahasa Tagalog dan bahasa-bahasa Filipina lainya, kata tugas semacam tanda kasus itu juga dipakai di samping adanya tanda registrasi pada V yang menunjukkan hubungan V itu dengan subjek dan objek-objeknya. Jadi, fungsi N-N-N itu sering ditandai oleh kata tugas (tanda kasus, preposisi, atau partikel).
Dari uraian sekilas tersebut kita dapat belajar karakter dari bahasa.  Pertama, Kejelasan Fungsi dan posisi N (pola karakter feeling).  Kedua, kehematan (tidak redundancy) (pola karakter thinking), dan kekompakan (compact) (pola karakter behaving). Bahasa yang membolehkan  NNN-nya berjajar tanpa penyela terutama kalau tempat N ketiga  dapat berpindah-pindah, maka butir kata atau frasa N itu cenderung padat.  Demikian  juga verbanya. Seperti  bahasa Jerman, Latin dan Arab, bentuk frasa verba dan nomina cenderung padat dalam keterangnnya mengenai gender, jumlah, persona, dan kala.  Hal ini berbeda dengan bahasa yang urutannya ialah NVNN.  
Bentuk bahasa tidak hanya dilihat dari adanya butir dan urutan, tapi juga dapat dilihat dari unsur   suprasegmental, yakni komponen yang berwujud unsur prosodi pada kata dan kalimat. Bahasa yang banyak menekankan pada unsur  suprasegmental biasanya memiliki jumlah fonem yang banyak pula, dengan begitu kata-katanya memiliki kecendrungan pendek.  Sebaliknya bahasa yang jumlah fonemnya hanya sedikit wujud katanya cenderung panjang.
 Sebagai contoh bahasa Inggris memiliki fonem konsonan dan vokal banyak, kata-katanya cenderung pendek-pendek. Berbeda dengan bahasa-bahasa Austronesia bagian timur yang jumlah dan vokalnya sedikit, wujud katanya cenderung panjang. Di sini berlaku prinsip jelas tetapi ekonomis.  Akan tetapi bahasa-bahasa tonasi (yang tinggi nadanya juga berkualitas fonemik), seperti bahasa  Cina dan Utsat, kata-katanya biasanya berbentuk monosilabik. Dalam bahasa Jawa dan Indonesia ada pola intonasi utama (fokus), antisipari (pendahulu), dan pola intonasi tambahan (implemetar) yang sangat  mempengaruhi jenis dan arti klausa, frasa, juga urutan yang ada dalam kalimat (Amran Halim, 1974; Gloria Poedjosoedarmo, 1977).
Fungsi Bahasa
            Dalam kaitannya dengan fungsi bahasa, banyak tokoh yang mengemukakannya, antara lain Roman Jakobson, Dell Hymes, Geoffrey Leech, Halliday, dan Sudaryanto. Berbicara mengenai pandangan Jakobson, dia memerikan enam fungsi bahasa , yaitu (1) fungsi referensial (pengacu pesan), (2) fungsi emotif (pengungkap keadaan seseorang), (3) fungsi konatif (pengungkap keinginan seseorang), (4) fungsi metalingual (penjelas sandi atau kode), (5) fungsi fatis (pembuka hubungan), dan fungsi puistis (penyandi pesan). Sedangkan Dell Hymes memekarkan fungsi bahasa menjadi tujuh, yakni (1) fungsi ekspresif, (2) fungsi direktif, (3) fungsi puitik, (4) fungsi kontak, (5) fungsi metalinguistik, (6) fungsi referensial, (7) fungsi kontekstual.
Leech  justru menyederhanakan fungsi bahasa menjadi lima, yaitu fungsi informasional, ekspresif, direktif, aestetik, dam fatis.  Adapun Halliday mengemukakan fungsi bahasa hanya tiga, yaitu ideasional, interpersonal dan tekstual. Lebih ringkas lagi,  Sudaryanto berpendapat bahwa fungsi bahasa yang paling inti adalah fungsi pemelihara kerjasama dan pengawafungsian (Sudaryanto, 1990).
Banyak persoalan bangsa muncul disebabkan oleh penyimpangan dalam pengejawantahan fungsi bahasa. Sebab bahasa juga terkait dengan metalitas budaya. Dalam tradisi filsafat hermeneutik, tokoh Hamann, Humboldt_Heidegger, Gadamer, Apel dan Habermas mengasimilasikan fungsi bahasa ke dalam fungsi kognitif penyingkap dunia (Sandarupa, Kompas 2015). Dengan fungsi inilah  kita dapat menafsirkan pengetahuan proposisi  tentang dunia, menunjuk, dan mengklasifikasikan objek, dunia sosial, dan dunia subjektif.


Tindak Komunikasi
Dalam mewujudkan mentalitas kebudayaan, bahasa adalah sarananya. Tata bahasa dapat digunakan sebagai pedoman untuk mengatur berpikir rasional, logis, benar, dan mampu, berpendapat secara bebas, tradisi Anglo-Amerika melihat pentingnya aturan-aturan prinsip untuk mengatur lisan agar berkata benar, efektif, kooperatif dan sopan.
Dalam melakukan tindak komunikasi seseorang juga diharapkan dapat bekerjasama dengan baik. Sebagaimana dikemukakan oleh Grice tentang prinsip-prinsip kerjasama dalam komunikasi yang mencakupi empat maksim., yaitu maksim kuantitas tentang pemberian informasi secukupnya, maksim kualitas tentang rasa hormat dan kebenaran, maksim relasi tentang tuturan yang runtut, dan maksim cara tentang penghindaran makna ganda (Grice, 1975). Dalam berinteraksi sosial pelanggaran terhadap prinsip kerjasama dapat menyebabkan  konflik.
Berkaitan dengan ini, ada prinsip kesopanan dalam bertindak tutur (Brown dan Levinson 1987). Semua kebudayaan di dunia ini pasti mengenal prinsip tersebut. Apalagi bangsa Indonesia yang sangat menjunjung kehormatan, harga diri, dan perasaan.  Prinsip ini berkaitan dengan muka (face). Muka memiliki dua aspek, positif, dan negative.  Muka positif diwujudkan dengn keinginan untuk dihargai, disenangi, diapresiasi oleh orang lain. Sementara wajah negatif dimaknai sebagai keinginan untuk tidak diganggu atau dibebani, dan mendapatkan kebebasan untuk bertindak (Thomas, 1999).
Dalam teori menjaga perasaan (Face Threatening Acts), tuturan ilokusi  dapat mengganggu muka seseorang. Karena tuturan ilokusi merupakan suatu tindak tutur yang hanya bisa terjadi dalam bertutur. Misalnya tindak berjanji, memproklamirkan, menamai.  Seseorang calon bupati atau walikota dalam PILKADA berjanji untuk menyejahterakan rakyat, maka tindakan berjanji sudah terjadi, dan jika tidak dipenuhi dapat dituntut dipengadilan.
Begutu juga apabila sebuah kelompok memproklamasikan kemerdekaan wilayahnya, maka tindak proklamasi juga telah terjadi dan itu kalau terjadi di wilayah NKRI tentu akan dilakukan tindakan oleh aparat yang berwenang karena telah melakukan tindak makar. Contoh lagi adalah saat Setia Novanto, Ketua DPR RI, dikonfrontir oleh MKD tentang kebenaran isi rekaman pembicaraan ‘papa minta saham’, ia melakukan tindak penolakan. Tindak penolakan telah terjadi, apabila dikemudian hari ditemukan bukti bahwa dia telah berbohong maka Novanto dapat terkena tuduhan telah melakukan kebohongan publik.
Tindakan perlokusi adalah tindakan yang dilakukan dengan berujar, yaitu akibat pada pendengar. Tindakan menuduh Setia Novanto sebagai dalang pencatutan nama presiden dan wakil presiden meminta saham 11 persen oleh Sudirman Said (Menteri ESDM) dan Maroef Sjamsoeddin (Presdir Freeport Indonesia) dapat dianggap sebagai pencemaran nama baik, penistaan, dan perbuatan tidak menyenangkan apabila tindakan perlokusi menuduh tersebut tidak benar.
Dari peristiwa bahasa tersebut dapat dijadikan sebagai pembelajaran karakter, bahwa tindak berbahasa adalah sebuah tindak sosial yang memiliki dampak sosial baik dan buruk. Penyalahgunaan bahasa dapat menjadi senjata yang dapat membunuh karakter orang lain atau berbalik membunuh penuturnya sendiri. Oleh sebab itu, mulai sekarang berbahasalah dengan  benar dan sopan. Selalu menjaga perasaan mitra wicara agar keharmonisan hidup dapat terwujud.

Daftar Bacaan

Amran Halim. 1974. Intonation in Relation to Syntax in Bahasa Indonesia. Jakarta. Proyek Pengembangan bahasa, dan Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan.

Dornyei, Zoltan. 2008. The Psychology of the Language Learner. London: LEA Publishers.

Greenberg, Jh. 1966. Universals of language. Edisi ke-2. Cambridge: MIT Press.

Poedjoseodarmo, Soepomo.  2001. Teori Tata  Bahasa Universal Makalah Seminar Regional Kedudukan dan Sumbangan Teori Linguistik Universitas Sanatadharma, 27 Oktober.

Poedjosoedarmo, Gloria.1977. Thematization and Information Structure In Javanese, “ Nusa. Vol. 3. Jakarta.

Sandarupa, Stanislaus. 2015.  Akal-Mulut dalam Ujaran Kebencian, kolom Opini Kompas, Jumat, 20 November 2015 hl. 7.

Sudaryanto. 1990. Menguak Fungsi Hakiki Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Thomas, Jenny. 1995. Meaning in Interaction: an Introduction to Pragmatics. London: Longman Group Limited.




[1] Makalah dibentangkan dalam Seminar Bahasa dan Pendidikan Karakter Pusat Studi Kebudayaan Universitas Muria Kudus, Sabtu, 12 Desember 2015.

Saturday, April 8, 2017




 Humor dan Praktiknya di Masyarakat
Ahdi Riyono
Dosen di  Universitas Muria Kudus

Maraknya tanyangan lawakan cerdas dikenal dengan stand up comedy di beberapa stasiun televisi swasta Indonesia akhir-akhir ini seolah telah menjadi gaya hidup masyarakat modern. Lawakan jenis ini mendadak menjadi populer sebab dapat dijadikan alternatif hiburan masyarakat saat  masyarakat jenuh dengan hiruk pikuk berita politik, serta karut marut kebijakan publik pemerintah. Stand up comedy sebetulnya berakar dari budaya Eropa dan Amerika, dan sudah ada sejak abad ke-18.
Secara umum, stand up comedy adalah lawakan atau banyolan yang dilakukan di atas panggung oleh seseorang dengan mempermainkan pemakaian bahasa (language games) berdurasi 10 sampai 45 menit.  Sebetulnya melawak, lelucon, dagelan, guyon maton, sudah sangat lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Dalam beberapa kesenian tradisional, seperti wayang, ketroprak, dan ludruk bisa dipastikan ada adegan dagelannya. Bahkan ceramah agama yang tanpa diselingi humor, audiennya cenderung ngantuk, dan tidak konsen. Jadi, tanpa  humor wacana apapun akan nampak kaku dan kering.
Oleh karenanya,  tak ada seorang pun yang tidak pernah berhumor. Hanya saja perbedaan humor antara orang satu dengan lainnya terletak pada frekuensi dan tujuannya. Ada orang yang berselera humor tinggi dan ada yang rendah.
Berdasarkan sebuah survey dari Lembaga Survey Research Indonesia (SRI) 50 % dari sepuluh mata acara yang paling digemari di Jakarta adalah program humor atau komedi (Yuniawan, 2005). Bahkan Frank Caprio mengatakan humor memiliki perang penting dalam kehidupan kita sampai dia menyamakannnya dengan kebutuhan oksigen bagi paru-paru manusia.
Dengan teknik lawakan, aneka warna gagasan yang lembut sampai yang sangat kasar atau keras dapat tersampaikan dengan elegan dan hampir zonder konflik. Tapi perlu diingat humor dibedakan atas dua jenis berdasarkan konteksnya, yaitu humor, dan tumor (Rohmadi, 2008). Humor adalah sesuatu yang dapat membuat penikmat humor tersenyum, tertawa,  dan senang, sementara tumor adalah humor yang diciptakan dengan kata-kata, sikap yang lucu, baik verbal maupun non verbal yang membuat penikmatnya jadi geram, tersinggung, marah, dan bahkan sakit hati. Tumor terjadi jika humor berlebihan. Sementara itu, Freud membagi humor menurut motivasinya, yaitu humor yang dibuat tanpa motivasi dikenal sebagai Comic sedangkan humor yang sengaja mencapai kesenangan melalui penderitaan orang lain disebut  Joke, misalnya satir, agresi, dan dagelan.
 Di Indonesia terdapat kelompok dagelan atau humor yang sangat terkenal pada zamannnya. Ada Bagito Cs, D’ Bodor, Jayakarta Group, Kwartet Jaya, Warkop DKI, dan Srimulat. Hanya saja kultur komedi cerdas misalnya yang mengadalkan kata-kata cerdas telah dilakukan dan dikenalkan oleh Warkop DKI, dan Bagito Cs. Sedangkan di era mellenium, almarhum Taufik Savalas menghadirkan aksi humoris yang mirip dengan stand up comedy saat ini. Stand up comedy Indonesia sebetulnya telah diawali oleh Iwel. Dia adalah comic pertama yang tampil membawakan stand up comedy di layar kaca dalam acara Bincang Bintang tahun 2005. Di sinilah awal kemunculan stand up comedy. Ironisnya pada waktu itu, sinarnya langsung meredup.
Humor Indonesia tentu berbeda dengan humor ala Amerika. Perbedaan terjadi karena faktor sosio-budaya yang berbeda dan terkait dengan konteks (siapa, kapan, di mana). Oleh karena itu, sebuah humor dapat dimuculkan dalam sebuah budaya tertentu.  Indonesia memiliki hubungan vertikal yang tajam antara orang tua-anak, penguasa-rakyat yang tidak memungkinkan kelakar kritik terbuka agresif. Sedangkan dalam budaya Amerika humor agresif dan terbuka diterima karena yang menjadi target humor sudah terbiasa dan dengan cepat dapat membalas atau mengalihkan sehingga pembuat humor dijadikan target berikutnya. Humor agresif terbuka akan menyakitkan manakala si target humor tidak berhasil melakukan serangan balik.
Dalam budaya kita, masalah seks juga tidak dapat dibicangkan secara terbuka, tetapi cenderung menggunakan humor etis atau agama. Contoh, seorang pendeta protestan seperti biasanya mengadakan kunjungan ke rumah jamaatnya yang baru.  Suatu hari ia mengunjungi rumah jamaatnya yang aktif sekali mengikuti kebaktiannya. Setelah ngobrol ke sana ke mari, Pak Pendeta bertanya, “ sebenarnya apa yang menarik hati Bapak sehingga memeluk agama Kristen?” “Begini Pak Pendeta, “jawabnya dengan polos, “saya dengar, Yesus itu orang Kudus” (Dananjaya, 1988). Pada suatu hari seorang mahasiswa lari terbirit-birit menuju kampus. Kemudian ia ditanya oleh kawan-kawannya kenapa sampai lari terbirit-birit. Ia pun menceritakan bahwa ia tadi akan berkelahi dengan seseorang, namun setelah melihat musuhnya ia langsung lari. Teman-temannya kembali bertanya apakah musuhnya itu berbadan besar. Dan jawabnya, “Anak kecil....tetapi Ambon....”
 Kebangkitan komedi cerdas saat ini membawa angin segar bagi bangsa Indonesia, karena dengannya, bangsa kita tambah cerdas dan kritis. Dalam kaitannya dengan pembelajaran logika berbahasa, humor dapat dijadikan bahan ajar berbahasa di sekolah. Karena berhumor memerlukan pengetahuan berbahasa yang baik, cara memilih diksi, cara menggunakan pertentangan atau plesetan yang dapat menciptakan kelucuan. Contohnya, ‘malioboro, malioboro, wis malio boros wae mas’. ‘ Bali wae neng djokdja’, Djokdja, Djok saja. More tea please. Tjap Jahe.
Jadi, lewat komunikasi jenaka yang berupa banyolan-banyolan itu, distansi (jarak) sosial budaya akan dapat dikontrol, dan akan dapat diatur. Masyarakat kita dikenal dengan ramah tamah, dan sopan santun, karenanya ketidaklangsungannya dalam bertutur, tidak aneh apabila mereka sering berbosa basi, dan berjenaka saat sedang melakukan tutur sapa. Semakin orang piawai dengan menggunakan humor, maka ia akan semakin mudah bergaul dan beradaptasi dengan masyarakat. Apalagi bagi orang Jawa penggunaan sanepa yang berisi kejenakan menjadi dasar penilaian apakah orang dikatakan sopan dan tidak.
Manfaat oarang berhumor juga dikemukakan oleh dunia kedokteran. Para ahli kedokteran dari Universitas maryland, Amerika Serikat, menemukan fakta bahwa humor dapat memperbaiki fungsi pembuluh darah. Dari hasil pengamatannya, mereka yang menonton film komedi  atau humor dapat tertawa lepas, pembuluh darahnya mengembang 22 % lebih cepat dari biasanya. Sebaliknya yang menonton film horor, pembuluh darahnya justru mengembang 35 % lebih lambat. Dengan demikian ternukti bahwa humor memberi pengaruh yang besar bagi kesehatan.



Add caption


Keunikan Bahasa Jawa dan Budaya
di Kabupaten Jepara
Ahdi Riyono
Dosen Linguistik FKIP Universitas Muria Kudus

Membicangkan bahasa Jawa dari berbagai aspek memang tak akan ada habisnya. Karena memang bahasa Jawa selalu menarik untuk dikaji terkait dengan peranan dan fungsi bahasa Jawa di masyarakat. bahasa Jawa dari segi jumlah penutur adalah bahasa daerah yang paling banyak pemakainya.  Jumlah penutur bahasa Jawa berdasarkan sensus tahun 2000 mencapai 84,3 juta, tersebar di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan di daerah-daerah lain di luar Jawa dan Luar negeri yang memiliki kantong-kantong (enklave) penutur bahasa Jawa. Bahasa Jawa juga memiliki berbagai ragam dialek dan variasi. Termasuk yang menarik adalah bahasa Jawa di Kabupaten Jepara.

Sebagaimana penelitian yang dilakukan tim Balai Bahasa Yogyakarta diketuai Suwaji (1978) tentang Struktur Dialek Bahasa Jawa di Pesisir Utara Bagian Timur, bahasa di Kabupaten Jepara digolongkan sebagai Bahasa Jawa Dialek Jepara-Rembang atau Dialek Muria. Namun demikian ada penelitian lain yang mengatakan bahasa Jawa di Kabupaten Jepara adalah hanya variasi dialektal saja belum menjadi sebuah dialek tersendiri karena kesamaan kosakatanya dengan bahasa Jawa Baku mencapai lebih dari 60 %.
Menurut pakar dialektologi, dua bahasa sebagai bahasa berbeda, dialek atau variasi bisa dilihat dari jumlah persentase kesamaan kosakatanya (dialektrometri). Apabila persamaanya hanya mencapai 20 % atau kurang maka itu bisa dikatakan sebagai bahasa yang berbeda, tapi apabila dapat mencapai 40% sampai 60 % disebut dialek dari satu bahasa, dan apabila kesamaannya mencapai 70-90 % itu jelas hanya variasi. Tapi apabila diteliti lebih mendalam bahasa Jawa di Jepara (BJJ) memiliki banyak keunikan dibandingkan dengan bahasa Jawa Baku.
Penyebaran bahasa Jawa di Kabupaten Jepara Merata di seluruh wilayah. Keadaan bahasanya antar di desa satu dengan yang lain tidak terlalu mencolok perbedaanya. Perbedaanya yang muncul hanya pada tataran kosakata tertentu saja. Kosakatanya pun bedanya hanya pada kosakata Ngoko. Sedangkan kosakata Krama hampir semua sama dengan bahasa Jawa Baku.
Kata ‘klapa’ dalam bahasa Jawa Jepara termasuk ragam Ngoko, sedangkan kata ‘klapa’ dalam bahasa Jawa Baku merupakan ragam Krama. Begitu juga, kata ‘krambil’ dalam bahasa Jawa Jepara (BJJ) tergolong ragam Krama, sedangkan dalam BJB adalah Ngoko. Kata jualan di BJJ dikatakan ‘mrema’ yang berkorespondesi dengan BJB ‘sesadean’. Kata perut di BJJ diungkapkan ‘madharan’ di BJB ‘ padharan’. Kata melempar dalam BJJ ‘ngantem’, sedangkan dalam BJB ‘ nyawat’. Kata buruh dalam BJJ dikatakan ‘buroh’, dalam BJBnya dikatakan ‘buruh’. Kata anak ayam di BJJ disebut ‘piyeq’ dalam BJB ‘ kutoq’. Kata sayap di BJJ dituturkan ‘elar’, di BJB disebut’ suwiwi’.  Di dalam BJJ juga dijumpai adanya pemakaian partikel ‘ lah’ dan ‘tah’. Partikel sebetulnya digunakan untuk penguat sebuah tuturan. Contohnya, ‘Pak, barang iku takjupuké lah’ (Pak, barang itu saya akan ambil). ‘Barang ini takpéké lah’ (barang ini akan kumiliki).  ‘iki kepriyé tah thik ngéné? (bagaimana ini dapat begini?).  ‘Apé lunga ring endi tah?’ ( hendak pergi ke mana?).
Dalam BJJ juga terdapat akhiran –na yang berarti melakukan pekerjaan atau tidakan untuk orang lain yang tersebut pada bentuk dasar. Akhiran –na sepadan dengan akhiran –aké. Contoh, aku lagék ngambaraké adhiku sama artinya dengan aku lagék nggambarna adhiku. Dalam bahasa Jawa baku tidak ada pemakaian akhiran -na seperti BJJ. Dalam BJJ juga dikenal awalan tak- dan dak- sebagai pembentuk kata kerja pasif orang pertama tunggal. Sebagai contoh. Dhuwiké célénganku wis takjupuk/ dhuwiké célénganku wisdak jupuk ‘ uang tabunganku sudah kuambil’. Kemudian ada keunikan awalan lainnya, seperti mbok-, kok-, atau tok-, sebagai pembentuk kata kerja pasif orang kedua. Misalnya, asué sapa sing mbok pentung ika/ asué sapa sing kok penthung ika/asué sapa sing tokpenthung ika? ‘anjing siapa yang kau pukul itu?’.
Disamping keunikan bahasanya, masyarakat Jepara juga dikenal dengan budayanya. Kabupaten Jepara memilliki berbagai peninggalan bersejarah. Pada abad VII di wilayah Jepara berdiri sebuah Kerajaan yang dikenal dengan Kerajaan Kalingga. Ratu Kerajaan Kalingga terkenal dengan kebijaksanaan dan keadilannya. Dialah Ratu Shima (Kardjono, 1980; Dirgo Sabarianto dan tim, 1985). Jepara pada masa pemerintahan Sultan Trenggono, diperintah oleh Pangeran Hadiri dari Mantingan yang beristrikan Ratu Kaliyamat. Pangeran Hadiri tewas ditangan Arya Penangsang Bupati Jipang, dan dimakamkan di Desa Mantingan, sehingga makamnya dikenal dengan ‘Makam Sunan Mantingan’.
Masyarakat Jepara juga memiliki cerita rakyat atau sastra lisan. Cerita lisannya sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut guna menguak hubungan antara cerita rakyat dengan kebudayaan masyarakatnya. Dalam cerita rakyat, terdapat simbol-simbol budaya dan mitologi yang sangat mempengaruhi pola pikir dan sikap masyarakat Jepara dalam menjalankan kehidupannya. Di Desa Kecapi terdapat cerita rakyat “Nyai Ratu Simah”, di Desa Mantingan ada cerita sosok “Sunan Mantingan dan Ratu Kaliyamat”. Juga,  ada cerita tentang sesaji laut atau dikenal dengan pesta Lomban yang saat ini telah menjadi agenda rutin wisata oleh Pemda Kabupaten Jepara. Lalu, di Desa Clering ada cerita “Ronggojoyo dan Haji Lember”, dan “Cerita Curug dan Gegunung” di Desa Troso.