Friday, May 5, 2017

Refleksi Ideologis



Refleksi Ideologis Arah Kebijakan Pendidikan di Indonesia
Ahdi Riyono
(Pengamat Kebijakan Pendidikan Universitas Muria Kudus)



Karut marut dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara tak terkecuali aspek kebijakan pendidikan saat ini berimplikasi pada daya saing bangsa, harkat nasional (national dignity), serta martabat nasional (pride national) yang sangat rendah dalam kaca mata bangsa lain. Kasus yang saat ini masih hangat adalah betapa mudahnya Pemerintah Indonesia diintervensi asing dalam kasus Corby (ratu narkoba), misalnya, seorang warganegara Australia yang telah dibebaskan bersyarat dari penjara Krobokan di Denpasar Bali. Walaupun pemerintah beralasan bahwa pembebasan Corby secara normatif sudah memenuhi syarat, namun publik masih bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi sampai-sampai pemerintah mengambil kebijakan yang tidak populis bahkan bertentangan dengan program pemerintah sendiri, yaitu pemberantasan narkoba dari bumi Indonesia.
Tindakan yang kontra produktif tersebut  tentu menunjukkan bahwa bangsa ini tidak lagi memiliki national dignity dan pride. Begitu juga dalam kasus konflik pemberian nama kapal perang RI (KRI) Usman-Harun dengan Pemerintah Singapura yang menganggapnya sebagai teroris dalam konfrontasi dengan Malaysia pada Era Bung Karno. Bagi Indonesia, Usman-Harun adalah pahlawan yang namanya layak diabadikan sebagai nama  Kapal Perang Republik Indonesia (KRI). Dan masih banyak kasus lain yang mencoreng nama baik bangsa di dunia internasional. Termasuk kasus yang terkait dengan pendidikan  adalah hasil skor capaian di ajang Program for International Student Assessment (PISA)  2012 yang hanya menduduki pringkat ke-64 dari 65 negara yang ikut serta dalam ajang tersebut.
Dari skor tiga aspek yang diujikan kemampuan membaca, matematika dan sains tidak ada pengingkatan pada setiap ajang bahkan mengalami kemunduran di ajang PISA yang terakhir tahun 2012 lalu. Sampai  ada sebuah gurauan dari bangsa lain yang menjuluki bangsa kita sebagai stupid nation (bangsa bodoh).
Kondisi kualitas sumber daya manusia (SDM) seperti di atas menyebabkan tingkat daya saing bangsa Indonesia dalam tataran dunia tergolong rendah. Suhendar (2012) menyampaikan bahwa dalam The Global Competitiveness Report 2011-2012 (laporan tahunan daya saing global tahun 2011-2012) yang dibuat oleh World Economic Forum (WEF) menempatkan Indonesia pada posisi ke 46 dari 142 negara di dunia. Pada kawasan ASEAN posisi daya saing Indonesia berada posisi keempat di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Daya saing merupakan cerminan dari produktivitas kulitas sumber daya manusia yang dimiliki suatu bangsa. Lebih lanjut Suhendar (2012) menyampaikan, daya saing didefinisikan sebagai kondisi institusi, kebijakan, dan faktor-faktor yang menentukan tingkat produktivitas ekonomi suatu negara. Kualitas sumber daya manusia yang tinggi akan melahirkan produktivitas yang tinggi, dan akhirnya mencerminkan daya saing bangsa yang tinggi. Daya saing yang tinggi berpotensi untuk mendapatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan selanjutnya dapat meningkatkan kesejahteraan bangsa sesuai dengan cita-cita kemerdekaan yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945.
Bagi kalangan ahli protret pembangunan pendidikan Indonesia yang belum menggembirakan tersebut terkait dengan kebijakan pendidikan; pertama, pola perumusan kebijakan pendidikan yang masih berpusat pada elit dengan sistem top-down di satu sisi sementara partisipasi masyarakat masih minim di sisi lainnya (Arif Rohman, 2002). Meskipun saat ini sudah era otonomi daerah, namun praktek birokrasi kita masih berkultur lama sehingga korupsi, kolusi dan nepotisme malah justru merajalela di daerah.
Kedua, setiap kebijakan yang sudah dibuat dengan biaya yang mahal ketika sampai pada implemetasi di lapangan mengalami distorsi dan banyak penyimpangan. Buktinya adalah sikap perilaku anak didik kita yang cenderung agresif dan mengarah kepada tindak pidana. Hal ini adalah salah satu bukti bahwa pemerintah gagal membuat kebijakan pendidikan yang dapat membentuk pola pikir dan sikap sesuai dengan akar kebudayaan bangsa.
Ketiga, berbagai paket kebijakan tentang inovasi pendidikan selalu dilakukan dengan serba kilat dan instan dan kurang mempertimbangkan berbagai implikasi secara matang. Contoh pemberlakuan kurikulum 2013  yang terkesan dipaksakan di sekolah dasar dan menengah padahal pemerintah belum siap dari sumber daya manusia, sarana prasarana yang dibutuhkan, sampai buku ajar yang harus dipakai.
Akibatnya semua kebijakan tersebut menjadi sekadar menghabiskan dana proyek dan terkesan involutif semata. Sampai Wakil Presiden Budiono mengatakan dalam artikelnya (Kompas, 27 Agustus 2012) yang berjudul”  Pendidikan Kunci Pembangunan” pendidikan Indonesia tidak punya konsepsi yang jelas mengenai subtansi pendidikan. Akibatnya, terjadi kecenderungan memasukkan apa saja yang dianggap penting. Senada dengan Budiono, Tilaar dalam Konvensi Pendidikan, Selasa 18 Februari 2013, menegaskan pendidikan di Indonesia belum memiliki arah yang jelas untuk mempersiapkan manusia-manusia yang cakap, kreatif, tanggung jawan. Padahal Indonesia sudah harus menciptakan generasi emas yang diharapkan bisa memajukan bangsa. Neoliberalisme sudah masul ke dunia pendidikan sehingga arah pendidikan menjadi tidak jelas seperti sekarang.
Semua penginnya ditumpahkan dalam kurikulum bahkan kampanye pemakaian kondom pun kalau perlu juga dimasukkan dalam kurikulum. Terjadi beban yang berlebihan pada anak didik, dan tidak jelas apakah anak didik mendapatkan apa yang diperlukan. Subtansi pendidikan perlu dibakukan. Rumusannya harus mengacu pada dan diturunkan dari konsep yang jelas mengenai bagaimana kemajuan bangsa akan dikembangkan dan apa peranan pendidikan di dalamnya. Rumusan subtansi yang jelas dan cermat akan dapat menjadi kompas dan perajut bagi begitu banyak kegiatan dan inisiatif pendidikan di Tanah Air
Dari tiga kondisi tersebut yakni adanya elitisme, distorsi, serta proses yang serba instant dalam setiap perumusan dan implementasi kebijakan pendidikan secara akumulatif telah mendorong pada munculnya pandangan skeptis masyarakat. beberapa kalangan masyarakat mengeluhkan bahwa seringnya terjadi perubahan kebijakan pendidikan yang belum mampu menghasilkan perbaikan secara signifikan, keluhan masyarakat tersebut menghasilkan pandangan “ganti menteri ganti kurikulum”.
Wajar masyarakat berpikiran demikian karena, memang tidak ada arah yang jelas sistem pendidikan kita mau dibawa kemana. Semua masih tergantung individu yang menjadi presiden dan menteri pendidikan. Belum ada sistem yang kuat di negeri ini walaupun ganti presiden dan menteri garis-garis kebijakan negara tidak akan berubah. Berbeda dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Mereka telah memiliki ideologi dan fundamen yang jelas kemana arah negara harus dibangun. Oleh karena itu, pembangunan pendidikannya juga mengarahkan anak didik untuk mengikuti ideologi yang diterapkan negara mereka.  Silberman (O’Neil, 2001:8) mengatakan bahwa gagalnya perbaikan dan praktek pendidikan selama ini lebih dikarenakan sikap dan tindakan tanpa pikir para pelaku pendidikan di semua tingkat. Hal ini jelas mengindikasikan masih belum jelas dan kokohnya dasar-dasar ideologi pendidikan di Indonesia. Selama ini aneka jenis kebijakan pendidikan tidak berdasarkan pada ideologi yang jelas.

Thursday, May 4, 2017

Belajar Cinta Tanah Air dari Lagu Kebangsaan



Belajar Cinta Tanah Air
dari Lagu Kebangsaan “ Indonesia Raya Versi Asli
Ahdi Riyono
Dosen FKIP UMK



Surutnya rasa nasionalisme di kalangan generasi muda saat ini telah menjadi sebuah wacana yang perlu dipertanyakan dan dikaji apa yang melatarbelakanginya. Lalu, apa yang dapat dijadikan sarana untuk mengambalikan semangat tersebut.
 Nasionalisme merupakan paham yang menciptakan dan mempertahankan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.
Pengertian nasionalisme oleh Geger Riyanto diistilahkan sebagai kebangsaan, dirumuskan sebagai sebuah endapan sejarah kesamaan nasib sekelompok orang dan visi masa depan yang mereka impikan bersama.
Rasa kebangsaan atau nasionalisme timbul di tengah masyarakat ketika naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya sebagai tempat hidup dan menggantungkan diri. Pada saat suatu masyarakat dijajah dan dikuasai oleh kelompok lain, maka rasa kebangsaan itu dapat timbul. Penderitaan, ketidakadilan, ketidakbebasan memunculkan rasa kebersamaan dan pada akhirnya melahirkan keinginan yang besar untuk bebas, melahirkan tekad yang kuat untuk memiliki kekuatan politik sendiri.
Kala perjuangan meraih kekuatan politik dan terlepas dari cengkraman kelompok lain sudah diraih, maka rasa kebangsaan atau nasionalisme kian lama kian memudar dan dilupakan  seiring dengan perkembangan zaman dan pergantian generasi. Lupa adalah gerakan tidak sadar. Leo Tolstoy dalam Diary (1897) dikutip Saifur Rohman (2009) menulis, jika kehidupan berlalu tanpa disadari, kehidupan itu tidak pernah terjadi. Secara psikologis, lupa adalah peristiwa yang menyusup arus kesadaran sehingga ada diluar kendali. Edmuns Husserl melihat, saat peristiwa lupa berlalu, kesadaran melakukan refleksi.
Wajar manakala Ben Anderson merumuskan entitas kebangsaan sebagai komunitas yang dibayangkan “imagined community” karena entitas itu harus senantiasa dipupuk agar bayangan itu tetap ada.
Agar terhindar dari menipis dan menghilangnya rasa nasionalisme, yang   lumrah disebabkan faktor lupa,  harus ada metode yang dapat dipakai terus menerus untuk mengingatkan bangsa ini setiap saat. Bagi seorang seniman, lagu adalah cara paling tepat dijadikan alat pengingat (reminder).
Dalam proses melawan lupa setidaknya ada dalam syair lagu WR Soepratman “ Indonesia Raya’. Berdasarkan analisis semantik dan semiotik bahwa lagu itu memberikan wasiat tentang mekanisme melawan lupa syair-syairnya berisi tentang bagaimana bangsa ini memimpikan Indonesia.
  Lagu Indonesia ini sebetulnya ada tiga stanza. Dan masing-masing memiliki tekanan dan nilai-nilai patriotik yang harus senantiasa diingat oleh anak bangsa. Pada stantza pertama “ Indonesia tanah air ku, tanah tumpah darahku’. Syair ini mengingatkan asal usul kita sebagai bangsa. Dan, kita diajak untuk menjadikan persatuan sebagai tali pengikatnya, “marilah kita berseru Indonesia bersatu”. Karena kita punya pengalaman ratusan tahun,  rasa kedaerahan dan tidak adanya persatuan justru terus membuat penjajah berkuasa selama 350 tahun. Dengan persatuan kita dapat mengatasi masalah bangsa, termasuk penjajahan, dalam hal ini kita artikan secara luas.
Kerangka berpikir ‘bersatu’ lalu dikuatkan dengan “hiduplah bangsaku, hiduplah negeriku”. Secara semantik maknanya agar kita menjaga bangsa ini agar tetap hidup dalam bingkai kesatuan, dan secara semiotik ini adalah tanda yang dipakai sebagai sebuah ajakan agar senantiasa kita selalu menjaga kehidupan bangsa dengan sebaik-baiknya untuk menyongsong masa depan. Lalu soepratman menyerukan “bangunlah jiwanya bangunlah badannya untuk Indonesia Raya”. Indonesia ini di hidupkan dengan sebuah kesadaran bahwa hidup bangsa ini harus dibangun berdasarkan aspek spiritualitas (kesadaran bahwa bangsa ini hidup adalah  anugerah Allah)  atau dalam bahasa agamanya, “idrak silabillah”  dan material, dalam bahasa Jawa dikenal dengan “wadak” (jasad). Maksudnya jasad ini akan tetap hidup ( tanah dan air), manakala persatuan dan kesatuan tetap eksis.
Ketika ucapan ‘merdeka’ dilantangkan, sebetulnya soepratman mengajak kita agar negeri ini dibebaskan dari semua bentuk penjajahan baik oleh bangsa asing maupun bangsa sendiri, bebas dari ketertindasan dan ketidakadilan dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya. “ Indonesia raya medeka! Merdeka! Tanahku, negeriku yang kucinta”.
Pada stanza kedua, Soepratman mengingatkan “Marilah kita mendoa, Indonesia bahagia”. Ini artinya bahwa kebahagian adalah sebuah tujuan yang hendak kita cita-citakan bersama, namun cita-cita ini harus tidak lepas dari Tuhan. Dalam membangun bangsa dan negara Indonesia, kita tidak boleh sekuler dengan melupakan Tuhan. Karena saat kita lupa Tuhan, maka bukan kebahagiaan yang didapat justru malah kesengsaraan.
Secara tidak langsung, Soepratman juga mengajak kita agar selalu mensyukuri nikmat kemerdekaan ini dengan cara menjadikan spiritulitas sebagai bagian dari bangsa ini. Para pemimpin jangan sekali-kali menjauhkan bangsa ini dari Tuhannya. Dengan berdoa, tanah dan jiwa bangsa ini akan disuburkan, hati para pemimpim dan rakyatnya akan disadarkan bahwa pengabdian kita kepada Tuhan kita peruntukkan untuk “Indonesia Raya”. “Suburlah tanahnya, Suburlah jiwanya, Bangsanya, Rakyatnya, semuanya, Sadarlah hatinya, Sadarlah budinya, Untuk Indonesia Raya”.
Kemudian, pada stanza ketiga ada harapan bangsa ini dapat mencapai kejayaannya. Dengan cara, tidak menjual harga diri bangsa ini  dengan apa-apa yang berharga bagi bangsa ini, rakyat, dan wilayahnya, Soepratman mengingatkan”S'lamatlah rakyatnya, S'lamatlah putranya, Pulaunya, lautnya, semuanya”. Artinya, kita menyosong kemajuan bangsa dengan cara meningkatkan harkat dan martabat rakyat dengan pendidikan yang menyadarkan (mencerahkan) hati dan budinya,  serta  mengelola sumber daya alam ini dari, oleh dan untuk rakyat, sehingga kita akan akan maju bersama, dengan suara keras meneriakkan  “ Majulah negerinya, Majulah Pandunya, untuk Indonesia Raya”
Pengulangan terus menerus dan aneka simbol yang diciptakan untuk entitas Indonesia adalah upaya untuk melawan lupa. Dan secara psikologis, saat lagu ini dinyanyikan terus menerus, akan masuk ke alam bawah sadar bangsa ini, dan akhirnya akan menjadikan perilaku bangsa. Bangsa ini bangsa yang besar, sudah sepantasnya selalu ingat asal usul dan tujuannya.
            Indonesia sudah diproklamasikan sejak 1945, sangat ironis manakala perilaku bangsa ini melupakan Indonesia Raya. Maka, kita patut mempertanyakan kesadaran kita sebagai bangsa. Oleh karena itu, mari mulai hari ini, tata kembali kehidupan bangsa ini sebagaimana yang termaktub dalam lagu kebangsaan kita, yaitu, bersatu, bahagia, dan maju bersama. Amin.  

Wednesday, April 26, 2017

Belajar Karakter Bangsa dari Bahasa



Belajar  Karakter Bangsa dari Bahasa
Ahdi Riyono
(Sekretaris Pusat Studi Kebudayaan Universitas Muria Kudus)


Pendahuluan                                                                 
Bahasa adalah hasil kebudayaan manusia yang sangat unik. Keunikkannya tidak mungkin diproduksi oleh makhluk lain di muka bumi ini. Di dunia ini ada ribuan bahasa yang memiliki bentuk dan fungsi yang beraneka macam. Di wilayah nusantara ini ada sekitar 700 lebih bahasa daerah, ada yang jumlah penuturnya masih ratusan, ada yang penuturnya tersisa puluhan, ada yang  hanya beberapa orang, bahkan ada yang sudah punah. Kepunahan bahasa bisa dikatakan sebagai kepunahan sebuah kebudayaan dan karakter penuturnya. Karena esensi dari sebuah bahasa adalah sebagai ciri kepribadian atau karakter dari masyarakat  tuturnya.
  Karakter yang dimaksud di sini adalah bagian dari kepribadian (personality). Dalam Kamus The Collins Cobuild Dictionary kepribadian didefinisikan sebagai ‘…one’s whole character and nature’. Sedangkan menurut De Raad (2001) dalam Zoltan Dornyei  (2005) kepribadian adalah karakter seseorang yang terdapat dalam pola-pola perasaan (feeling), berpikir (thinking), dan bersikap (behaving) secara konsisten. Karakter suatu masyarakat atau individu dapat diamati dari bahasanya. Oleh karena itu, belajar karakter dapat diambil dari (1) bentuk atau  struktur bahasa suatu masyarakat/individu, dan (2) Fungsi bahasa dalam pemakaian di lingkungan sosialnya.



Bentuk Bahasa
Setiap bahasa memiliki keunikan bentuk masing-masing. Greenberg (1966) membagi bahasa di dunia menjadi tiga tipe universal word order (urutan frasa semesta), yakni verb + subject + O (VSO), subject + Verb+ O (SVO), dan subject + object +  verb ( SOV).  Ternyata ketiga bentuk tersebut memiliki korelasi dengan urutan kata ditempat lain dalam tata bahasa secara konsekuen. Dengan kata lain, masing-masing tipe urutan frasa itu mempunyai implikasi secara konsekuen dengan urutan kata itu. Misalnya bahasa yang urutan VSO-nya dominan selalu mempunyai preposisi, sebaliknya bahasa dengan urutan frasa SOV biasanya berpostposisi, dan bahasa yang SOV-nya dominan dan genetif mngikuti nomina, maka adjektivanya pun mengikuti nomina.
Berbeda dengan Greenberg, linguis Indonesia Prof. Soepomo Poedjosoedarmo (2001) dalam penelitiannya menemukan rangkaian cooccurence yang agak berbeda. Beliau tidak menggunakan fungsi S,V,O, tapi kategori atau jenis kata N,V,N,N. N pertama adalah subjek. N kedua adalah objek tak langsung. N ketiga adalah objek langsung. Jadi baik S maupun O digantikan dengan N. Dengan demikian, maka misalnya bahasa Inggris dan juga bahasa Indonesia dapat diformulasikan berurutan  NVNN, sedangkan bahasa Jerman dapat berurutan NVNN, atau VNNN atau VNNNV. Bahasa Arab dapat berurutan V NNN atau NVNN. Bahasa-bahasa di Filipina berurutan VNNN. Bahasa Jepang berurutan NNNV. Bahasa Latin V dapat berpindah-pindah, demikian juga N. dari formulasi tersebut Poedjoseodarmo (2001) menyimpulkan bahwa bahasa yang mempunyai pola urutan NNN berjajar tanpa ada penyela V, maka diperlukan tanda untuk mengetahui mana N yang subjek, mana yang objek langsung dan tak langsung.  
Dalam bahasa Jerman tanda-tanda itu berbentuk penanda kasus yang kebetulan juga berfungsi sebagai artikel (kata sandang). Ada kasus nominative, datif dan akusatif. Dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia N sebagai subjek dan objek ditandai dengan letaknya. Kalau N-N yang berfungsi objek berpindah tempat, maka diperlukan kata tugas semacam preposisi untuk menandai objek yang tak langsung. Adapun dalam bahasa Tagalog dan bahasa-bahasa Filipina lainya, kata tugas semacam tanda kasus itu juga dipakai di samping adanya tanda registrasi pada V yang menunjukkan hubungan V itu dengan subjek dan objek-objeknya. Jadi, fungsi N-N-N itu sering ditandai oleh kata tugas (tanda kasus, preposisi, atau partikel).
Dari uraian sekilas tersebut kita dapat belajar karakter dari bahasa.  Pertama, Kejelasan Fungsi dan posisi N (pola karakter feeling).  Kedua, kehematan (tidak redundancy) (pola karakter thinking), dan kekompakan (compact) (pola karakter behaving). Bahasa yang membolehkan  NNN-nya berjajar tanpa penyela terutama kalau tempat N ketiga  dapat berpindah-pindah, maka butir kata atau frasa N itu cenderung padat.  Demikian  juga verbanya. Seperti  bahasa Jerman, Latin dan Arab, bentuk frasa verba dan nomina cenderung padat dalam keterangnnya mengenai gender, jumlah, persona, dan kala.  Hal ini berbeda dengan bahasa yang urutannya ialah NVNN.  
Bentuk bahasa tidak hanya dilihat dari adanya butir dan urutan, tapi juga dapat dilihat dari unsur   suprasegmental, yakni komponen yang berwujud unsur prosodi pada kata dan kalimat. Bahasa yang banyak menekankan pada unsur  suprasegmental biasanya memiliki jumlah fonem yang banyak pula, dengan begitu kata-katanya memiliki kecendrungan pendek.  Sebaliknya bahasa yang jumlah fonemnya hanya sedikit wujud katanya cenderung panjang.
 Sebagai contoh bahasa Inggris memiliki fonem konsonan dan vokal banyak, kata-katanya cenderung pendek-pendek. Berbeda dengan bahasa-bahasa Austronesia bagian timur yang jumlah dan vokalnya sedikit, wujud katanya cenderung panjang. Di sini berlaku prinsip jelas tetapi ekonomis.  Akan tetapi bahasa-bahasa tonasi (yang tinggi nadanya juga berkualitas fonemik), seperti bahasa  Cina dan Utsat, kata-katanya biasanya berbentuk monosilabik. Dalam bahasa Jawa dan Indonesia ada pola intonasi utama (fokus), antisipari (pendahulu), dan pola intonasi tambahan (implemetar) yang sangat  mempengaruhi jenis dan arti klausa, frasa, juga urutan yang ada dalam kalimat (Amran Halim, 1974; Gloria Poedjosoedarmo, 1977).
Fungsi Bahasa
            Dalam kaitannya dengan fungsi bahasa, banyak tokoh yang mengemukakannya, antara lain Roman Jakobson, Dell Hymes, Geoffrey Leech, Halliday, dan Sudaryanto. Berbicara mengenai pandangan Jakobson, dia memerikan enam fungsi bahasa , yaitu (1) fungsi referensial (pengacu pesan), (2) fungsi emotif (pengungkap keadaan seseorang), (3) fungsi konatif (pengungkap keinginan seseorang), (4) fungsi metalingual (penjelas sandi atau kode), (5) fungsi fatis (pembuka hubungan), dan fungsi puistis (penyandi pesan). Sedangkan Dell Hymes memekarkan fungsi bahasa menjadi tujuh, yakni (1) fungsi ekspresif, (2) fungsi direktif, (3) fungsi puitik, (4) fungsi kontak, (5) fungsi metalinguistik, (6) fungsi referensial, (7) fungsi kontekstual.
Leech  justru menyederhanakan fungsi bahasa menjadi lima, yaitu fungsi informasional, ekspresif, direktif, aestetik, dam fatis.  Adapun Halliday mengemukakan fungsi bahasa hanya tiga, yaitu ideasional, interpersonal dan tekstual. Lebih ringkas lagi,  Sudaryanto berpendapat bahwa fungsi bahasa yang paling inti adalah fungsi pemelihara kerjasama dan pengawafungsian (Sudaryanto, 1990).
Banyak persoalan bangsa muncul disebabkan oleh penyimpangan dalam pengejawantahan fungsi bahasa. Sebab bahasa juga terkait dengan metalitas budaya. Dalam tradisi filsafat hermeneutik, tokoh Hamann, Humboldt_Heidegger, Gadamer, Apel dan Habermas mengasimilasikan fungsi bahasa ke dalam fungsi kognitif penyingkap dunia (Sandarupa, Kompas 2015). Dengan fungsi inilah  kita dapat menafsirkan pengetahuan proposisi  tentang dunia, menunjuk, dan mengklasifikasikan objek, dunia sosial, dan dunia subjektif.


Tindak Komunikasi
Dalam mewujudkan mentalitas kebudayaan, bahasa adalah sarananya. Tata bahasa dapat digunakan sebagai pedoman untuk mengatur berpikir rasional, logis, benar, dan mampu, berpendapat secara bebas, tradisi Anglo-Amerika melihat pentingnya aturan-aturan prinsip untuk mengatur lisan agar berkata benar, efektif, kooperatif dan sopan.
Dalam melakukan tindak komunikasi seseorang juga diharapkan dapat bekerjasama dengan baik. Sebagaimana dikemukakan oleh Grice tentang prinsip-prinsip kerjasama dalam komunikasi yang mencakupi empat maksim., yaitu maksim kuantitas tentang pemberian informasi secukupnya, maksim kualitas tentang rasa hormat dan kebenaran, maksim relasi tentang tuturan yang runtut, dan maksim cara tentang penghindaran makna ganda (Grice, 1975). Dalam berinteraksi sosial pelanggaran terhadap prinsip kerjasama dapat menyebabkan  konflik.
Berkaitan dengan ini, ada prinsip kesopanan dalam bertindak tutur (Brown dan Levinson 1987). Semua kebudayaan di dunia ini pasti mengenal prinsip tersebut. Apalagi bangsa Indonesia yang sangat menjunjung kehormatan, harga diri, dan perasaan.  Prinsip ini berkaitan dengan muka (face). Muka memiliki dua aspek, positif, dan negative.  Muka positif diwujudkan dengn keinginan untuk dihargai, disenangi, diapresiasi oleh orang lain. Sementara wajah negatif dimaknai sebagai keinginan untuk tidak diganggu atau dibebani, dan mendapatkan kebebasan untuk bertindak (Thomas, 1999).
Dalam teori menjaga perasaan (Face Threatening Acts), tuturan ilokusi  dapat mengganggu muka seseorang. Karena tuturan ilokusi merupakan suatu tindak tutur yang hanya bisa terjadi dalam bertutur. Misalnya tindak berjanji, memproklamirkan, menamai.  Seseorang calon bupati atau walikota dalam PILKADA berjanji untuk menyejahterakan rakyat, maka tindakan berjanji sudah terjadi, dan jika tidak dipenuhi dapat dituntut dipengadilan.
Begutu juga apabila sebuah kelompok memproklamasikan kemerdekaan wilayahnya, maka tindak proklamasi juga telah terjadi dan itu kalau terjadi di wilayah NKRI tentu akan dilakukan tindakan oleh aparat yang berwenang karena telah melakukan tindak makar. Contoh lagi adalah saat Setia Novanto, Ketua DPR RI, dikonfrontir oleh MKD tentang kebenaran isi rekaman pembicaraan ‘papa minta saham’, ia melakukan tindak penolakan. Tindak penolakan telah terjadi, apabila dikemudian hari ditemukan bukti bahwa dia telah berbohong maka Novanto dapat terkena tuduhan telah melakukan kebohongan publik.
Tindakan perlokusi adalah tindakan yang dilakukan dengan berujar, yaitu akibat pada pendengar. Tindakan menuduh Setia Novanto sebagai dalang pencatutan nama presiden dan wakil presiden meminta saham 11 persen oleh Sudirman Said (Menteri ESDM) dan Maroef Sjamsoeddin (Presdir Freeport Indonesia) dapat dianggap sebagai pencemaran nama baik, penistaan, dan perbuatan tidak menyenangkan apabila tindakan perlokusi menuduh tersebut tidak benar.
Dari peristiwa bahasa tersebut dapat dijadikan sebagai pembelajaran karakter, bahwa tindak berbahasa adalah sebuah tindak sosial yang memiliki dampak sosial baik dan buruk. Penyalahgunaan bahasa dapat menjadi senjata yang dapat membunuh karakter orang lain atau berbalik membunuh penuturnya sendiri. Oleh sebab itu, mulai sekarang berbahasalah dengan  benar dan sopan. Selalu menjaga perasaan mitra wicara agar keharmonisan hidup dapat terwujud.

Daftar Bacaan

Amran Halim. 1974. Intonation in Relation to Syntax in Bahasa Indonesia. Jakarta. Proyek Pengembangan bahasa, dan Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan.

Dornyei, Zoltan. 2008. The Psychology of the Language Learner. London: LEA Publishers.

Greenberg, Jh. 1966. Universals of language. Edisi ke-2. Cambridge: MIT Press.

Poedjoseodarmo, Soepomo.  2001. Teori Tata  Bahasa Universal Makalah Seminar Regional Kedudukan dan Sumbangan Teori Linguistik Universitas Sanatadharma, 27 Oktober.

Poedjosoedarmo, Gloria.1977. Thematization and Information Structure In Javanese, “ Nusa. Vol. 3. Jakarta.

Sandarupa, Stanislaus. 2015.  Akal-Mulut dalam Ujaran Kebencian, kolom Opini Kompas, Jumat, 20 November 2015 hl. 7.

Sudaryanto. 1990. Menguak Fungsi Hakiki Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Thomas, Jenny. 1995. Meaning in Interaction: an Introduction to Pragmatics. London: Longman Group Limited.




[1] Makalah dibentangkan dalam Seminar Bahasa dan Pendidikan Karakter Pusat Studi Kebudayaan Universitas Muria Kudus, Sabtu, 12 Desember 2015.