Wednesday, July 15, 2009

Budaya

Salah Tafsir Konsep Budaya Jawa dalam Politik
Ahdi Riyono

Gegap gembita mengawali pencalonan capres dan cawapres 2009, manuver-manuver politik parpol pengusung calon masing-masing capres dan cawapres mulai memanas. Bahkan ada beberapa internal parpol yang pecah menjadi beberapa kubu. Ini terjadi, karena politik kita memang masih diwarnai politik balas jasa dan dagang sapi. Sehingga, komitmen ideologi seolah hanya menjadi topeng parpol tatkala mereka berkampanye untuk menjual partainya. Namun, ketika pemilu telah usai dan perolehan suara masing-masing parpol sudah diketahui, mereka mulai melakukan lobi-lobi politik untuk mendapatkan bagian kue kekuasaan. Bak semut yang selalu mengkrumuni gula, Partai Demokrat didekati partai-partai gurem untuk mendapatkan jatah kue kekuasaan. Pilpres 2009 ini juga diwarnai pertarungan etnis, Jawa dan non-Jawa, sipil dan milter. Isu tersebut dijadikan alat untuk menjual masing-masing calon untuk mendapatkan mandat rakyat lima tahun kedepan. Dari isu etnis, Etnis Jawa tetap mendominasi pilpres, karena semuanya berdarah Jawa, kecuali JK. Dia berasal dari Makassar yang merupakan representasi dari luar Jawa dan Indonesia. Memang, Politik Indonesia selama ini tidak bisa dilepaskan dari politik dan budaya Jawa. Selama Orde Baru, Budaya kekuasaan Jawa dipakai untuk melanggengkan kekuasaan dan mempertahankan status quo, Budaya adiluhung itu, dengan sengaja ditafsirkan salah (displacing the meaning).
Pemakaian ungkapan-ungkapan Jawa yang salah inilah, kemudian menimbulkan kontroversi masih layakkah budaya Jawa dipertahankan dalam politik modern sekarang ini. Tentu, pernyataan ini menyebabkan pro dan kontra di masyarakat kita. Namun demikian, kita harus arif dalam melihat permasalahan ini. Apakah budaya Jawanya yang salah ataukah pemakainya yang salah?. Benar, jika budaya Jawa yang kratonik, ditafsirkan salah semau gue, tentu yang terjadi negara korup. Orang Jawa selalu bersikap inggih-inggih nun sendika dhawuh, yang bersifat semu bukan keikhlasan. Celakanya lagi, kemudian budaya upeti palsu, sulit terelakkan. Selama ini di kancah kepemimpinan Jawa terjadi perintah halus, manis dan akhirnya berubah menjadi otoriter. Akibatnya, atasan dan bawahan mengembungkan budaya “TST” (tahu sama tahu) untuk korupsi yang ujung-ujungnya untuk mempertahankan status Quo. Kalau begitu, mungkin saja negara ini kelak akan terbolak-balik-ada sekolah tinggi koruptor, yang dosen-dosennya dan rektornya ahli korup. Ini jelas sangat keterlaluan. Padahal pemimpin dalam filsafat Jawa harus benar dan dilandasi sabda pandhita ratu berbudi bawaleksana. Konsep bawaleksana ini, tampaknya sudah tak dihiraukan lagi, lalu muncul budaya korup. Bahkan, tak sekedar korup, juga nepotisme dan kolusi.
Konsep budaya Jawa mikul dhuwur mendhem jero, juga telah dibelokkan menjadi budaya saling menutupi kesalahan orang lain dan kroninya. Yang unik lagi, manalaka budaya semacam ini akan terbongkar, akhirnya sering muncul budaya golek slamete dhewe. Tampaknya, budaya simbiosis busuk ini sudah semakin parah. Budaya Jawa belantik (dagang sapi) yang sebenarnay ke arah harmonisasi (tawar menawar) agar menuju kesepakatan-telah disalahartikan lagi, menjadi jual beli kekuasaan, arisan loyalitas, dagang perkara, jual keadilan, tengkulak demokrasi dan seterusnya. Begitu juga budaya ewuh pakewuh yang sebenarnya adiluhung, dijadikan kambing hitam untuk menutupi teman seperjuangan. Ewuh Pakewuh adalah sendi budaya Jawa yng bai, berarti seharusnya atasan dan bawahan ewuh pakewuh berbuat “KKN”, tapi justru di era reformasi ini telah berubah total. Ewuh pakewuh menjadi budaya saling menutupi borok, tak mau mengadili kroni seadil-adilnya, dan akhirnya yang nampak asu gedhe menang kerahe.
Lalu, mana budaya Jawa yang masih bersih penerapannya di era reformasi ini? Tak ada ? kira-kira begitu. Bayangkan kalau filsafat Jawa yang disebut madya (tengah) saja kini diobrak-abrik. Budaya Jawa mengenal hidup itu madya, seperti terungkap pada prinsip ngono yo ngono neng aja ngono telah dibelokkan artinya. Maksudnya, budaya ini menghendaki agar dalam pemerintahan seseorang tak terlalu berlebihan, tak memperkaya diri, tak menutupi kesalahan orang lain, tapi bisa berbuat adil. Yakni adil yang harmoni, tidak memihak.
Akhirnya, saya usulkan melakukan restrukturisasi atau dekonstruksi budaya Jawa. Jadi tidak sekedar counter culture, tetapi harus neo-counter culture. Jika dulu R. Ng. Ranggawarsita dalam serat Kalatidha membuka aib pemerintah di zamannya amenagi zaman edan kini perlu didekosntruksi menjadi amerangi zaman edan. Tinggal berani atau tidak pemerintahan yang ada sekarang ini. Atau malah justru era sekarang akan mencetat neo-zaman edan yang super gila lagi?
Pemerintah seharusnya bersikap tanuhita (mengayomi) dan danahita (memberi ke bawah)-bukan sebaliknya mengeruk dana rakyat dengan berbagai dalih. Budaya mengeruk ini, adalah tradisi kolonialisme dulu, bukan budaya Jawa itu. Maka, budaya Jawa perlu ditelaah menggunakan perspektif postkolonialisme, bukan dari aspek moderismenya.

No comments: