Friday, May 5, 2017

Refleksi Ideologis



Refleksi Ideologis Arah Kebijakan Pendidikan di Indonesia
Ahdi Riyono
(Pengamat Kebijakan Pendidikan Universitas Muria Kudus)



Karut marut dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara tak terkecuali aspek kebijakan pendidikan saat ini berimplikasi pada daya saing bangsa, harkat nasional (national dignity), serta martabat nasional (pride national) yang sangat rendah dalam kaca mata bangsa lain. Kasus yang saat ini masih hangat adalah betapa mudahnya Pemerintah Indonesia diintervensi asing dalam kasus Corby (ratu narkoba), misalnya, seorang warganegara Australia yang telah dibebaskan bersyarat dari penjara Krobokan di Denpasar Bali. Walaupun pemerintah beralasan bahwa pembebasan Corby secara normatif sudah memenuhi syarat, namun publik masih bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi sampai-sampai pemerintah mengambil kebijakan yang tidak populis bahkan bertentangan dengan program pemerintah sendiri, yaitu pemberantasan narkoba dari bumi Indonesia.
Tindakan yang kontra produktif tersebut  tentu menunjukkan bahwa bangsa ini tidak lagi memiliki national dignity dan pride. Begitu juga dalam kasus konflik pemberian nama kapal perang RI (KRI) Usman-Harun dengan Pemerintah Singapura yang menganggapnya sebagai teroris dalam konfrontasi dengan Malaysia pada Era Bung Karno. Bagi Indonesia, Usman-Harun adalah pahlawan yang namanya layak diabadikan sebagai nama  Kapal Perang Republik Indonesia (KRI). Dan masih banyak kasus lain yang mencoreng nama baik bangsa di dunia internasional. Termasuk kasus yang terkait dengan pendidikan  adalah hasil skor capaian di ajang Program for International Student Assessment (PISA)  2012 yang hanya menduduki pringkat ke-64 dari 65 negara yang ikut serta dalam ajang tersebut.
Dari skor tiga aspek yang diujikan kemampuan membaca, matematika dan sains tidak ada pengingkatan pada setiap ajang bahkan mengalami kemunduran di ajang PISA yang terakhir tahun 2012 lalu. Sampai  ada sebuah gurauan dari bangsa lain yang menjuluki bangsa kita sebagai stupid nation (bangsa bodoh).
Kondisi kualitas sumber daya manusia (SDM) seperti di atas menyebabkan tingkat daya saing bangsa Indonesia dalam tataran dunia tergolong rendah. Suhendar (2012) menyampaikan bahwa dalam The Global Competitiveness Report 2011-2012 (laporan tahunan daya saing global tahun 2011-2012) yang dibuat oleh World Economic Forum (WEF) menempatkan Indonesia pada posisi ke 46 dari 142 negara di dunia. Pada kawasan ASEAN posisi daya saing Indonesia berada posisi keempat di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Daya saing merupakan cerminan dari produktivitas kulitas sumber daya manusia yang dimiliki suatu bangsa. Lebih lanjut Suhendar (2012) menyampaikan, daya saing didefinisikan sebagai kondisi institusi, kebijakan, dan faktor-faktor yang menentukan tingkat produktivitas ekonomi suatu negara. Kualitas sumber daya manusia yang tinggi akan melahirkan produktivitas yang tinggi, dan akhirnya mencerminkan daya saing bangsa yang tinggi. Daya saing yang tinggi berpotensi untuk mendapatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan selanjutnya dapat meningkatkan kesejahteraan bangsa sesuai dengan cita-cita kemerdekaan yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945.
Bagi kalangan ahli protret pembangunan pendidikan Indonesia yang belum menggembirakan tersebut terkait dengan kebijakan pendidikan; pertama, pola perumusan kebijakan pendidikan yang masih berpusat pada elit dengan sistem top-down di satu sisi sementara partisipasi masyarakat masih minim di sisi lainnya (Arif Rohman, 2002). Meskipun saat ini sudah era otonomi daerah, namun praktek birokrasi kita masih berkultur lama sehingga korupsi, kolusi dan nepotisme malah justru merajalela di daerah.
Kedua, setiap kebijakan yang sudah dibuat dengan biaya yang mahal ketika sampai pada implemetasi di lapangan mengalami distorsi dan banyak penyimpangan. Buktinya adalah sikap perilaku anak didik kita yang cenderung agresif dan mengarah kepada tindak pidana. Hal ini adalah salah satu bukti bahwa pemerintah gagal membuat kebijakan pendidikan yang dapat membentuk pola pikir dan sikap sesuai dengan akar kebudayaan bangsa.
Ketiga, berbagai paket kebijakan tentang inovasi pendidikan selalu dilakukan dengan serba kilat dan instan dan kurang mempertimbangkan berbagai implikasi secara matang. Contoh pemberlakuan kurikulum 2013  yang terkesan dipaksakan di sekolah dasar dan menengah padahal pemerintah belum siap dari sumber daya manusia, sarana prasarana yang dibutuhkan, sampai buku ajar yang harus dipakai.
Akibatnya semua kebijakan tersebut menjadi sekadar menghabiskan dana proyek dan terkesan involutif semata. Sampai Wakil Presiden Budiono mengatakan dalam artikelnya (Kompas, 27 Agustus 2012) yang berjudul”  Pendidikan Kunci Pembangunan” pendidikan Indonesia tidak punya konsepsi yang jelas mengenai subtansi pendidikan. Akibatnya, terjadi kecenderungan memasukkan apa saja yang dianggap penting. Senada dengan Budiono, Tilaar dalam Konvensi Pendidikan, Selasa 18 Februari 2013, menegaskan pendidikan di Indonesia belum memiliki arah yang jelas untuk mempersiapkan manusia-manusia yang cakap, kreatif, tanggung jawan. Padahal Indonesia sudah harus menciptakan generasi emas yang diharapkan bisa memajukan bangsa. Neoliberalisme sudah masul ke dunia pendidikan sehingga arah pendidikan menjadi tidak jelas seperti sekarang.
Semua penginnya ditumpahkan dalam kurikulum bahkan kampanye pemakaian kondom pun kalau perlu juga dimasukkan dalam kurikulum. Terjadi beban yang berlebihan pada anak didik, dan tidak jelas apakah anak didik mendapatkan apa yang diperlukan. Subtansi pendidikan perlu dibakukan. Rumusannya harus mengacu pada dan diturunkan dari konsep yang jelas mengenai bagaimana kemajuan bangsa akan dikembangkan dan apa peranan pendidikan di dalamnya. Rumusan subtansi yang jelas dan cermat akan dapat menjadi kompas dan perajut bagi begitu banyak kegiatan dan inisiatif pendidikan di Tanah Air
Dari tiga kondisi tersebut yakni adanya elitisme, distorsi, serta proses yang serba instant dalam setiap perumusan dan implementasi kebijakan pendidikan secara akumulatif telah mendorong pada munculnya pandangan skeptis masyarakat. beberapa kalangan masyarakat mengeluhkan bahwa seringnya terjadi perubahan kebijakan pendidikan yang belum mampu menghasilkan perbaikan secara signifikan, keluhan masyarakat tersebut menghasilkan pandangan “ganti menteri ganti kurikulum”.
Wajar masyarakat berpikiran demikian karena, memang tidak ada arah yang jelas sistem pendidikan kita mau dibawa kemana. Semua masih tergantung individu yang menjadi presiden dan menteri pendidikan. Belum ada sistem yang kuat di negeri ini walaupun ganti presiden dan menteri garis-garis kebijakan negara tidak akan berubah. Berbeda dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Mereka telah memiliki ideologi dan fundamen yang jelas kemana arah negara harus dibangun. Oleh karena itu, pembangunan pendidikannya juga mengarahkan anak didik untuk mengikuti ideologi yang diterapkan negara mereka.  Silberman (O’Neil, 2001:8) mengatakan bahwa gagalnya perbaikan dan praktek pendidikan selama ini lebih dikarenakan sikap dan tindakan tanpa pikir para pelaku pendidikan di semua tingkat. Hal ini jelas mengindikasikan masih belum jelas dan kokohnya dasar-dasar ideologi pendidikan di Indonesia. Selama ini aneka jenis kebijakan pendidikan tidak berdasarkan pada ideologi yang jelas.

No comments: