Wednesday, April 26, 2017

Belajar Karakter Bangsa dari Bahasa



Belajar  Karakter Bangsa dari Bahasa
Ahdi Riyono
(Sekretaris Pusat Studi Kebudayaan Universitas Muria Kudus)


Pendahuluan                                                                 
Bahasa adalah hasil kebudayaan manusia yang sangat unik. Keunikkannya tidak mungkin diproduksi oleh makhluk lain di muka bumi ini. Di dunia ini ada ribuan bahasa yang memiliki bentuk dan fungsi yang beraneka macam. Di wilayah nusantara ini ada sekitar 700 lebih bahasa daerah, ada yang jumlah penuturnya masih ratusan, ada yang penuturnya tersisa puluhan, ada yang  hanya beberapa orang, bahkan ada yang sudah punah. Kepunahan bahasa bisa dikatakan sebagai kepunahan sebuah kebudayaan dan karakter penuturnya. Karena esensi dari sebuah bahasa adalah sebagai ciri kepribadian atau karakter dari masyarakat  tuturnya.
  Karakter yang dimaksud di sini adalah bagian dari kepribadian (personality). Dalam Kamus The Collins Cobuild Dictionary kepribadian didefinisikan sebagai ‘…one’s whole character and nature’. Sedangkan menurut De Raad (2001) dalam Zoltan Dornyei  (2005) kepribadian adalah karakter seseorang yang terdapat dalam pola-pola perasaan (feeling), berpikir (thinking), dan bersikap (behaving) secara konsisten. Karakter suatu masyarakat atau individu dapat diamati dari bahasanya. Oleh karena itu, belajar karakter dapat diambil dari (1) bentuk atau  struktur bahasa suatu masyarakat/individu, dan (2) Fungsi bahasa dalam pemakaian di lingkungan sosialnya.



Bentuk Bahasa
Setiap bahasa memiliki keunikan bentuk masing-masing. Greenberg (1966) membagi bahasa di dunia menjadi tiga tipe universal word order (urutan frasa semesta), yakni verb + subject + O (VSO), subject + Verb+ O (SVO), dan subject + object +  verb ( SOV).  Ternyata ketiga bentuk tersebut memiliki korelasi dengan urutan kata ditempat lain dalam tata bahasa secara konsekuen. Dengan kata lain, masing-masing tipe urutan frasa itu mempunyai implikasi secara konsekuen dengan urutan kata itu. Misalnya bahasa yang urutan VSO-nya dominan selalu mempunyai preposisi, sebaliknya bahasa dengan urutan frasa SOV biasanya berpostposisi, dan bahasa yang SOV-nya dominan dan genetif mngikuti nomina, maka adjektivanya pun mengikuti nomina.
Berbeda dengan Greenberg, linguis Indonesia Prof. Soepomo Poedjosoedarmo (2001) dalam penelitiannya menemukan rangkaian cooccurence yang agak berbeda. Beliau tidak menggunakan fungsi S,V,O, tapi kategori atau jenis kata N,V,N,N. N pertama adalah subjek. N kedua adalah objek tak langsung. N ketiga adalah objek langsung. Jadi baik S maupun O digantikan dengan N. Dengan demikian, maka misalnya bahasa Inggris dan juga bahasa Indonesia dapat diformulasikan berurutan  NVNN, sedangkan bahasa Jerman dapat berurutan NVNN, atau VNNN atau VNNNV. Bahasa Arab dapat berurutan V NNN atau NVNN. Bahasa-bahasa di Filipina berurutan VNNN. Bahasa Jepang berurutan NNNV. Bahasa Latin V dapat berpindah-pindah, demikian juga N. dari formulasi tersebut Poedjoseodarmo (2001) menyimpulkan bahwa bahasa yang mempunyai pola urutan NNN berjajar tanpa ada penyela V, maka diperlukan tanda untuk mengetahui mana N yang subjek, mana yang objek langsung dan tak langsung.  
Dalam bahasa Jerman tanda-tanda itu berbentuk penanda kasus yang kebetulan juga berfungsi sebagai artikel (kata sandang). Ada kasus nominative, datif dan akusatif. Dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia N sebagai subjek dan objek ditandai dengan letaknya. Kalau N-N yang berfungsi objek berpindah tempat, maka diperlukan kata tugas semacam preposisi untuk menandai objek yang tak langsung. Adapun dalam bahasa Tagalog dan bahasa-bahasa Filipina lainya, kata tugas semacam tanda kasus itu juga dipakai di samping adanya tanda registrasi pada V yang menunjukkan hubungan V itu dengan subjek dan objek-objeknya. Jadi, fungsi N-N-N itu sering ditandai oleh kata tugas (tanda kasus, preposisi, atau partikel).
Dari uraian sekilas tersebut kita dapat belajar karakter dari bahasa.  Pertama, Kejelasan Fungsi dan posisi N (pola karakter feeling).  Kedua, kehematan (tidak redundancy) (pola karakter thinking), dan kekompakan (compact) (pola karakter behaving). Bahasa yang membolehkan  NNN-nya berjajar tanpa penyela terutama kalau tempat N ketiga  dapat berpindah-pindah, maka butir kata atau frasa N itu cenderung padat.  Demikian  juga verbanya. Seperti  bahasa Jerman, Latin dan Arab, bentuk frasa verba dan nomina cenderung padat dalam keterangnnya mengenai gender, jumlah, persona, dan kala.  Hal ini berbeda dengan bahasa yang urutannya ialah NVNN.  
Bentuk bahasa tidak hanya dilihat dari adanya butir dan urutan, tapi juga dapat dilihat dari unsur   suprasegmental, yakni komponen yang berwujud unsur prosodi pada kata dan kalimat. Bahasa yang banyak menekankan pada unsur  suprasegmental biasanya memiliki jumlah fonem yang banyak pula, dengan begitu kata-katanya memiliki kecendrungan pendek.  Sebaliknya bahasa yang jumlah fonemnya hanya sedikit wujud katanya cenderung panjang.
 Sebagai contoh bahasa Inggris memiliki fonem konsonan dan vokal banyak, kata-katanya cenderung pendek-pendek. Berbeda dengan bahasa-bahasa Austronesia bagian timur yang jumlah dan vokalnya sedikit, wujud katanya cenderung panjang. Di sini berlaku prinsip jelas tetapi ekonomis.  Akan tetapi bahasa-bahasa tonasi (yang tinggi nadanya juga berkualitas fonemik), seperti bahasa  Cina dan Utsat, kata-katanya biasanya berbentuk monosilabik. Dalam bahasa Jawa dan Indonesia ada pola intonasi utama (fokus), antisipari (pendahulu), dan pola intonasi tambahan (implemetar) yang sangat  mempengaruhi jenis dan arti klausa, frasa, juga urutan yang ada dalam kalimat (Amran Halim, 1974; Gloria Poedjosoedarmo, 1977).
Fungsi Bahasa
            Dalam kaitannya dengan fungsi bahasa, banyak tokoh yang mengemukakannya, antara lain Roman Jakobson, Dell Hymes, Geoffrey Leech, Halliday, dan Sudaryanto. Berbicara mengenai pandangan Jakobson, dia memerikan enam fungsi bahasa , yaitu (1) fungsi referensial (pengacu pesan), (2) fungsi emotif (pengungkap keadaan seseorang), (3) fungsi konatif (pengungkap keinginan seseorang), (4) fungsi metalingual (penjelas sandi atau kode), (5) fungsi fatis (pembuka hubungan), dan fungsi puistis (penyandi pesan). Sedangkan Dell Hymes memekarkan fungsi bahasa menjadi tujuh, yakni (1) fungsi ekspresif, (2) fungsi direktif, (3) fungsi puitik, (4) fungsi kontak, (5) fungsi metalinguistik, (6) fungsi referensial, (7) fungsi kontekstual.
Leech  justru menyederhanakan fungsi bahasa menjadi lima, yaitu fungsi informasional, ekspresif, direktif, aestetik, dam fatis.  Adapun Halliday mengemukakan fungsi bahasa hanya tiga, yaitu ideasional, interpersonal dan tekstual. Lebih ringkas lagi,  Sudaryanto berpendapat bahwa fungsi bahasa yang paling inti adalah fungsi pemelihara kerjasama dan pengawafungsian (Sudaryanto, 1990).
Banyak persoalan bangsa muncul disebabkan oleh penyimpangan dalam pengejawantahan fungsi bahasa. Sebab bahasa juga terkait dengan metalitas budaya. Dalam tradisi filsafat hermeneutik, tokoh Hamann, Humboldt_Heidegger, Gadamer, Apel dan Habermas mengasimilasikan fungsi bahasa ke dalam fungsi kognitif penyingkap dunia (Sandarupa, Kompas 2015). Dengan fungsi inilah  kita dapat menafsirkan pengetahuan proposisi  tentang dunia, menunjuk, dan mengklasifikasikan objek, dunia sosial, dan dunia subjektif.


Tindak Komunikasi
Dalam mewujudkan mentalitas kebudayaan, bahasa adalah sarananya. Tata bahasa dapat digunakan sebagai pedoman untuk mengatur berpikir rasional, logis, benar, dan mampu, berpendapat secara bebas, tradisi Anglo-Amerika melihat pentingnya aturan-aturan prinsip untuk mengatur lisan agar berkata benar, efektif, kooperatif dan sopan.
Dalam melakukan tindak komunikasi seseorang juga diharapkan dapat bekerjasama dengan baik. Sebagaimana dikemukakan oleh Grice tentang prinsip-prinsip kerjasama dalam komunikasi yang mencakupi empat maksim., yaitu maksim kuantitas tentang pemberian informasi secukupnya, maksim kualitas tentang rasa hormat dan kebenaran, maksim relasi tentang tuturan yang runtut, dan maksim cara tentang penghindaran makna ganda (Grice, 1975). Dalam berinteraksi sosial pelanggaran terhadap prinsip kerjasama dapat menyebabkan  konflik.
Berkaitan dengan ini, ada prinsip kesopanan dalam bertindak tutur (Brown dan Levinson 1987). Semua kebudayaan di dunia ini pasti mengenal prinsip tersebut. Apalagi bangsa Indonesia yang sangat menjunjung kehormatan, harga diri, dan perasaan.  Prinsip ini berkaitan dengan muka (face). Muka memiliki dua aspek, positif, dan negative.  Muka positif diwujudkan dengn keinginan untuk dihargai, disenangi, diapresiasi oleh orang lain. Sementara wajah negatif dimaknai sebagai keinginan untuk tidak diganggu atau dibebani, dan mendapatkan kebebasan untuk bertindak (Thomas, 1999).
Dalam teori menjaga perasaan (Face Threatening Acts), tuturan ilokusi  dapat mengganggu muka seseorang. Karena tuturan ilokusi merupakan suatu tindak tutur yang hanya bisa terjadi dalam bertutur. Misalnya tindak berjanji, memproklamirkan, menamai.  Seseorang calon bupati atau walikota dalam PILKADA berjanji untuk menyejahterakan rakyat, maka tindakan berjanji sudah terjadi, dan jika tidak dipenuhi dapat dituntut dipengadilan.
Begutu juga apabila sebuah kelompok memproklamasikan kemerdekaan wilayahnya, maka tindak proklamasi juga telah terjadi dan itu kalau terjadi di wilayah NKRI tentu akan dilakukan tindakan oleh aparat yang berwenang karena telah melakukan tindak makar. Contoh lagi adalah saat Setia Novanto, Ketua DPR RI, dikonfrontir oleh MKD tentang kebenaran isi rekaman pembicaraan ‘papa minta saham’, ia melakukan tindak penolakan. Tindak penolakan telah terjadi, apabila dikemudian hari ditemukan bukti bahwa dia telah berbohong maka Novanto dapat terkena tuduhan telah melakukan kebohongan publik.
Tindakan perlokusi adalah tindakan yang dilakukan dengan berujar, yaitu akibat pada pendengar. Tindakan menuduh Setia Novanto sebagai dalang pencatutan nama presiden dan wakil presiden meminta saham 11 persen oleh Sudirman Said (Menteri ESDM) dan Maroef Sjamsoeddin (Presdir Freeport Indonesia) dapat dianggap sebagai pencemaran nama baik, penistaan, dan perbuatan tidak menyenangkan apabila tindakan perlokusi menuduh tersebut tidak benar.
Dari peristiwa bahasa tersebut dapat dijadikan sebagai pembelajaran karakter, bahwa tindak berbahasa adalah sebuah tindak sosial yang memiliki dampak sosial baik dan buruk. Penyalahgunaan bahasa dapat menjadi senjata yang dapat membunuh karakter orang lain atau berbalik membunuh penuturnya sendiri. Oleh sebab itu, mulai sekarang berbahasalah dengan  benar dan sopan. Selalu menjaga perasaan mitra wicara agar keharmonisan hidup dapat terwujud.

Daftar Bacaan

Amran Halim. 1974. Intonation in Relation to Syntax in Bahasa Indonesia. Jakarta. Proyek Pengembangan bahasa, dan Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan.

Dornyei, Zoltan. 2008. The Psychology of the Language Learner. London: LEA Publishers.

Greenberg, Jh. 1966. Universals of language. Edisi ke-2. Cambridge: MIT Press.

Poedjoseodarmo, Soepomo.  2001. Teori Tata  Bahasa Universal Makalah Seminar Regional Kedudukan dan Sumbangan Teori Linguistik Universitas Sanatadharma, 27 Oktober.

Poedjosoedarmo, Gloria.1977. Thematization and Information Structure In Javanese, “ Nusa. Vol. 3. Jakarta.

Sandarupa, Stanislaus. 2015.  Akal-Mulut dalam Ujaran Kebencian, kolom Opini Kompas, Jumat, 20 November 2015 hl. 7.

Sudaryanto. 1990. Menguak Fungsi Hakiki Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Thomas, Jenny. 1995. Meaning in Interaction: an Introduction to Pragmatics. London: Longman Group Limited.




[1] Makalah dibentangkan dalam Seminar Bahasa dan Pendidikan Karakter Pusat Studi Kebudayaan Universitas Muria Kudus, Sabtu, 12 Desember 2015.

No comments: