Saturday, November 3, 2012

Bahasa



MAKIAN (PISUWAN) ’WONG’ JEPARA-KUDUS (JK):
KEUNIKKAN BERBAHASA MASYARAKAT TUTUR PANTURA BAGIAN TIMUR, JAWA TENGAH

Oleh Ahdi Riyono*


Hallo, salam jumpa kembali dalam rubrik bahasa majalah kampus PEKA. Kali ini kakak akan sedikit membahas sesuatu yang mungkin kita anggap tabu dan jijik, tapi, toh itu adalah suatu realitas sosial yang terkadang kita, baik sadar maupun tidak, pasti pernah mengatakannya. Jadi, saya tidak segan untuk membahasnya kali ini. Trus apa sesuatu yang dianggap tabu, dan kotor itu?, sesuatu itu adalah makian atau kalau dalam bahasa JK disebut ‘pisowan’ . Masyarakat tutur JK memiliki keunikkan atau kekhasan dalam berbicara, termasuk dalam memaki (baca: misuh). Ok, mari kita simak bersama apa sebenarnya memaki itu dan bagaimana cara ‘wong JK memaki dan menggunakannya.
Kalao kita sedikit mau memperhatikan seseorang  dalam mengekspresikan keinginan, emosi dan keadaan jiwa, mereka sering menggunakan gerak dan bahasa. Bahasa sendiri dalam kehidupan kita sehari-hari merupakan sarana komunikasi  yang sangat penting dan paling efektif. Dalam bahasa pula terdapat cara pandang kita terhadap dunia (worldview) sebagaimana pernah dikatakan Anna Wierzbicka (1992) ”each language… contains a characteristic worldview”.   
Oleh sebab itu,  tanpa bahasa segala bentuk aktivitas  dan interaksi sosial tidak dapat berjalan dengan baik, dan lancar. Begitu juga, ketika kita dalam keadaan jengkel, ketidaksenangan, dan ketidakpuasan terhadap sesuatu, biasanya kita disamping menggunakan gerakan-gerakan anggota tubuh kita, juga menggunakan bahasa (baca: kode) untuk mengekspresikan emosi kita, yaitu dengan memanfaatkan kata-kata makian.
 Kata-kata makian bagi orang yang menuturkannya merupakan bentuk pembebasan diri dari segala bentuk dan situasi yang tidak mengenakkan  dan bagi yang dimaki sebagai bentuk peringatan, sindiran, agar dia tidak mengulangi perbuatannya itu, walaupun tidak menolak adanya fakta pemakaian makian yang secara pragmatis untuk mengungkapkan pujian, keheranan, dan menciptakan suasaan pembicaraan yang akrab (Allan, 1986; Wijana, 2004). Misalnya, ketika bertemu dengan temannya, orang-orang Jawa Timuran terbiasa menggunakan makian, ‘Diancok!  kowe ning endi rek?, tak golaeki ora ono’ diancok!, kamu kemana rek? Saya cari tidak ada’. Sedangkan, dalam bahasa Jawa Kudusan atau Jeparanan ‘kangkrenganem, kowe ning di ae, tak luru kok orak ono’ Fungsi makian dalam hal ini tidak sebagai bentuk ungkapan ketidaksenangan atau kejengkelan, namun, sebagai bentuk keakraban (intimateness).
Penggunaan makian sendiri merupakan sarana menjalankan fungsi emotif bahasa. Jadi, tidak ada hubungannya dengan masalah dosa atau tidak. Karena memang, dalam kehidupan sehari-hari memaki adalah sesuatu yang alamiah dan wajar sebagai bentuk luapan perasaan dan emosi jiwa seseorang,  hanya memang dalam kondisi dan keadaan tertentu memaki atau menggunakan kata-kata yang dianggap kotor dilarang atau ditabukan oleh masyarakat. Fungsi emotif (untuk menyatakan perasaaan) merupakan fungsi bahasa yang terpenting di samping fungsi lainnya, seperti fungsi konatif, referensial, metalingual, poetik, dan fatis (Jakobson, 1990).
Sedangkan seorang pakar bahasa  Leech (1976) membagi fungsi bahasa menjadi lima, yakni fungsi informasional, ekspresif, direktif, estetis, dan fatis. Penggunaan makian dalam hal ini merupakan fungsi ekspresif. Lebih jauh lagi,  Hymes (1990) menambahkan fungsi bahasa menjadi tujuh, yaitu fungsi ekspresif atau emotif, direktif, puitik, kontak, metalingual, referensial, dan kontekstual.
Makian sendiri itu berkaitan dengan kata-kata tabu (words of taboo), kata-kata tabu muncul karena tiga hal, yakni adanya sesuatu yang menakutkan (taboo of fear) sesuatu yang tidak mengenakkan (taboo of delicacy) dan sesuatu yang tidak santun atau tidak pantas (taboo of propriety) (Wijana, 2004).  Misalnya, Ullmann dikutip oleh Wijana (2004, 2006) memberikan contoh taboo of fear orang-orang Yahudi dilarang menyebut nama tuhannya secara langsung. Mereka menggunakan kata-kata lain yang maknanya sejajar dengan kata ‘ master’, sedangkan di Inggris dan Perancis masing-masing digunakan kata Lord, Seigneur. Kemudian, usaha manusia untuk menghindari penunjukkan langsung kepada-hal-hal yang tidak mengenakkan, seperti berbagai penyakit dan kematian tergolong jenis taboo of delicacy. Akhirnya, sesuatu yang berhubungan dengan seks, bagian-bagian tubuh dan fungsinya merupakan bagian dari taboo of propriety.  

Bentuk-Bentuk Makian

            Secara sintaksis, bentuk-bentuk makian baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Jawa menduduki klausa bukan inti yang berdistribusi baik mendahului klausa inti maupun mengikutinya. Misalnya, contoh yang diberikan Wijana dalam bahasa Indonesia sebagai berikut;
            (1). Bedebah, mau lari kemana kamu.
            (2). Gila, dia benar-benar hebat.
            (3). Terimalah jurus mautku, cecunguk.
            (4). Ia benar-benar hebat, gila
Sedangkan makian dalam bahasa  Jawa subdialek Jepara-Kudus, misalnya;
(5).  Asu, dienteni ora teko-teko.
(6). Banjingan, konco malah ngono.  
(7). Kakekaem, wis diselehi motor kok ra’ gelem ngumbah.
(8). Wis diwarahi ijeh ora mudeng, kemplu.
Bentuk-bentuk makian dibedakan menjadi dua jenis, yaitu makian berbentuk kata dan frase (kelompok kata), serta makian dalam bentuk klausa. Berikut penjelasannya;



Makian berbentuk Kata
Makian bentuk kata dapat dibedakan menjadi dua, yaitu makian bentuk kata dasar dan makian bentuk kata jadian. Makian bentuk kata dasar adalah makian yang berwujud kata-kata monomorfemik (mengadung satu morfem) seperti dalam contoh berikut;
(9). Jangkrik, jam sak mene kok durung teko!
(10). Bedes, mataem nok di?
(11). Goblok, dikandani ngono ae ijeh ora mudeng.
Makian bentuk jadian adalah makian berupa kata-kata polimorfemik. Makian dalam bahasa Jawa yang berbentuk polimorfemik (lebih dari satu morfem) dapat dibedakan menjadi dua jenis., yakni makian berafiks, serta makian berbentuk kata majemuk. Berikut ini contoh-contohnya;
(12). Bajingan, jebule de’e cah lanang ‘playboy’.
(13). Dianto’i, mosok aku mbok bagehi sakmene tok!.
(14). Kurang ajar tenan, wis direwei melu kok iseh melu, piye si!.
(15). Jabang bayi, amit-amit mugo-mugo anakku ajo koyo ngono.
(16). Samber dhelap, mataem mbok kok di.
Makian berbentuk Frase
            Makian dalam bentuk ini biasanya digunakan kata dasar plus makian dan makian plus em. Kata dasar memungkinkan melekat pada berbagai makian dengan referensi yang beraneka. Sedangkan kata makian plus em hanya dapat berdampingan dengan kata-kata anggota tubuh dan kekerabatan saja.  Misalnya;
            (17). Dasar sialan, aku meneh sing disalahke.
            (18). Dasar gembrik, bengi-bengi ijih kluyuran nok dalam.
            (19). Dasar maling,  kerjani nek bengi, nek rino molor terus.
            (20). Dasar gombal mukio, nik ngomong wis ora iso dipercoyo.
            (21). Kakekaem, bukuku mbok doko nok di?, wis tak luru kok ora ono.
            (22). Mataem, wong barang gedene ngene kok ora roh.
            (23). Itilem kono, wong wedok kok sok!.
            Makian dalam bahasa Jawa subdialek Jepara Kudus (JK) secara kategorial dapat digolongkan menjadi beberapa jenis, yakni nomina atau frase nomina, seperti asu, genjik, asem, mataem, kakekaem,; makian berkategori verba, seperti diamput, dianto’i, diamput dan  makian berkategori adjektiva, seperti goblok, edan, kemplu, dan kenthir.
Makian berbentuk Klausa
            Makian dalam bahasa Jawa (JK) yang berbentuk klausa dibentuk dengan menambahkan pronomina di depan  makian dari berbagai referensinya. Penempatan pronomina ini dimaksudkan untuk memberikan tekanan agar lebih menatap. Untuk itu, coba lihat contoh-contoh berikut ini;
            (24). Kowe edan, bapakem dhewe kok dipisohi.
            (25). Dhe’e pancen kemplu, wis didudohi panggunane ijeh orah roh.
Referensi Makian Subdialek JK
            Berdasarkan ada atau tidak adanya referensi, kata dibedakan menjadi dua, yakni kata referensial dan kata non referensial. Jenis pertama adalah kata-kata yang memiliki referen (acuan). Menurut Wijana (2004) Kata-kata ini biasanya memiliki potensi untuk mengisi fungsi-fungsi sintaktik kalimat, seperti nomina, adjektiva, adverbial, dsb. Sehingga lazim disebut dengan kata utama (content word). Sementara itu, jenis kedua adalah kata-kata yang semata-mata fungsinya membantu kata-kata lain menjalankan tugasnya sehingga lazim disebut kata tugas (functional word), seperti preposisi, konjungsi, dan interjeksi. Namun demikian, makian dalam bahasa Jawa subdialek JK hampir semuanya berbentuk kata referensial.
            Adapun jenis-jenis referensi makian meliputi, keadaan, binatang, makhluk halus, benda-benda, bagian tubuh, kekerabatan, aktivitas, dan profesi. Jenis referen keadaan misalnya,  edan, degleng, goblok, kemplu, kenthir, kere, dan pekok; jenis referen binatang misalnya, asu, genjik, bedes, celeng, ketek, kebo; kemudian jenis referen makhluk halus seperti setan, tuyol, setan alas; jenis benda-beda yakni, tai, telek, telo; jenis bagian tubuh meliputi mata, silit,dan  ndas; jenis kekerabatan yaitu, kakekaem, mbahem,; jenis referen aktivitas seperti, diamput, diancuk, dianto’i; dan jenis feren profesi antara lain  bajingan, maling, dan gembrik.
            Demikian, guna menjalankan fungsinya sebagai wahana pengungkapan perasaan, bahasa merupakan sarana kebahasaan yang dibutuhkan untuk mengekspresikan ketidaksenangan dan merespon serta menanggapi berbagai fenomena yang menimbulkan perasaan atau emosi jiwa.  Jadi, betapa pentingnya bahasa itu dalam kehidupan kita. Bayangkan saja misalnya kalau tidak ada bahasa? Bagaimana dunia ini? Ok, saya pikir tidak usah saya jawab pasti pembaca sudah mengetahuinya. Sekian,  itu saja yang dapat saya dapat ungkapkan dan tuliskan dalam tulisan ini. Semoga dapat mendambah pengetahuan kita.  Amiin!!!!.

            

1 comment:

HH said...

Mohon referensi buku yang meneliti tentang bentuk makian. Terimakasih