Saturday, November 3, 2012

Pengajaran Bahasa




Psikolinguistik dalam Pengajaran, Pembelajaran  Bahasa
oleh Ahdi Riyono




Berbicara mengenai psikolinguistik, kita pasti akan bertanya apa itu psikolinguistik? Bagaimana perannya, dan apa fungsinya dalam pengajaran, dan pembelajaran  bahasa?.  Bagi para linguis,  istilah ini mungkin sudah tak asing lagi. Namun, bagi masyarakat awam istilah ini masih dianggap asing. Psikolinguistik sebetulnya ilmu hibrida, yaitu gabungan antara linguistik dan psikologi. Ilmu ini muncul pada permulaan abad ke-20 yang diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman bernama Wilhelm Wundt. Wundt mengatakan bahwa bahasa dapat dijelaskan dengan dasar prinsip-prinsip psikologi (Kess, 1992; Dardjowodjojo, 2003). Psikolinguistik menjelajahi hubungan antara manah (mind) manusia dan bahasa. Psikolinguistik memperlakukan pemakai bahasa sebagai orang per orang (individu) dan bukan orang sebagai wakil suatu masyarakat (Djawanai, 2006).
Dengan pengertian ini, psikolinguistik sangat berperan dalam pengembangan metode dan pembelajaran bahasa di masa lalu, sekarang dan masa depan. Karena dalam pengajaran dan pembelajaran bahasa, peran individu sangat diperhatikan dan menjadi fokus memproduksi, mempersepsikan, dan memahami bunyi-bunyi bahasa. Bahasa sendiri adalah sebuah sistem bunyi yang membentuk simbol-simbol. Simbol-simbol tersebut memiliki arti dan makna.
Dalam pengajaran bahasa, khususnya bahasa kedua atau bahasa asing, banyak para ahli yang memunculkan metode-metode pembelajaran yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan pemahaman tentang hakikat bahasa dan peranan otak dalam pembelajaran bahasa mengalami perkembangan yang dinamis. Misalnya di  era tahun 1950-an berkembang aliran deskriptivisme yang dipelopori oleh Watson dan Skinner. Aliran ini memandang bahasa adalah objek kajian ilmiah dan memunculkan metode pembelajaran bahasa dengan pembentukan kebiasaan yang dikenal dengan tubian (drill). Pendekatan yang dikemukakan Watson dan diperluas Skinner ini sama sekali mengabaikan kenyataan bahwa pembelajar adalah suatu organisme yang aktif. Merekalah yang memutuskan apa yang akan diperbuat dengan suatu masukkan. Mereka bukan piringan kosong yang dapat kita masuki apapun. Dari sini lah mucul pandangan kaum rasionalis yang dipelopori oleh chomsky tahun 1957. ia memunculkan aliran transformasi. Akibatnya, pengajaran bahasa tidak hanya berkutat masalah metodologi, tetapi juga bergeser pada proses pembelajarannya.
Chomsky dan kawan-kawannya percaya, manusia dilahirkan telah membawa yang namanya faculty of the mind  dan di dalamnya terdapat seperangkat peralatan (device) yang memungkinkannya untuk dapat berbahasa. Alat itu disebutnya sebagai LAD (language acquisition device). Oleh karena itu, ia yakin bahwa tanpa adanya stimulus manusia tetap dapat berbahasa. LAD memegang peran penting dalam proses pembelajaran dan penguasaan bahasa. LAD sendiri terdiri atas bahasa universal yang terbagi menjadi dua bagian. (1) universal subtantif dan (2) universal formal. 
Yang dimaksud dengan subtantif adalah hal-hal yang berhubungan dengan butir-butir kebahasaan, seperti misalnya kata benda, kata sifat, kata kerja, kata bilangan dan kata ganti dann ciri-ciri fonetik (distinctive phonetic features). Misalnya teori yang diajukan oleh Jakobson (1971) yang menyatakan bahwa bahasa manapun pasti memiliki paling tidak tiga vokal /A/, /I/, dan /U/. sedang yang dimaksud dengan universal formal adalah merujuk pada cara elemen-elemen ini diatur. Bahasa pasti memiliki konsep tentang subjek, predikat, dan objek. Akan tetapi cara ketiga elemen ini diatur berbeda dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Menurut klasifikasi Greenberg (1966) ada bahasa yang berpola SVO, ada yang SOV dan ada yang VSO,  ada VOS, OSV, dan OVS.
Konsep universal bahasa ini jelas bertentangan dengan pandangan kaum strukturalis yang percaya bahwa bahasa itu berbeda-beda tanpa batas. Namun demikian, kita tidak usah mempertentangkan ke dua aliran tersebut. Keduanya dapat dipersandingkan dengan baik. Betul, memang ada yang namanya  bahasa universal yang oleh Chomsky di sebut dengan tata bahasa semesta (Universal Grammar). Hanya saja pada kenyataannya,  tata bahasa semesta itu diwujudkan dalam bentuk yang berbeda-beda.  Dengan kata lain, mengambil istilah Chomsky ada perbedaan antara struktur batin (deep structure) dan struktur lahir (surface structure) dalam bahasa.
Terus apa hubungannya kedua pendapat tersebut dengan pembelajaran bahasa?  Greenberg (1966) menunjukkan ada hubungan implikasi antara tipe urutan frase dengan beberapa dengan beberapa hal yang ada di kalimat, misalnya dengan urutan frasa Nomina (NP), rasa verba (VP), letak adposisi (di depan atau di belakang N), keberadaan sistem penanda kasus (ada atau tidak), dan alternatif tipe susunan frasanya. Oleh karena itu, menurut penulis temuan Greenberg yang oleh Chomsky di sebut surface structure atau external grammar tersebut sangat berperan pembelajaran dan pengajaran bahasa.
Dengan melihat tipologi bahasa pembelajar bahasa akan mendapatkan kemudahan dalam mempelajari suatu bahasa dan dapat memprediksi bentuk dan urutan frase dan kalimatnya dengan tepat dan akurat. Akan tetapi temuan Chomsky pun tak kalah pentingnya. Chomsky dengan ekstrimnya mengatakan bahwa pembelajaran bahasa bukan melalui stimulus respon sebagaimana pendapat kaum deskriptivis.  Manusia itu pun  tidak  dapat mengajarkan bahasa, tetapi manusia hanya dapat menciptakan lingkungan linguistik (a rich linguistic environment).
Chomsky (1973) juga mengatakan bahwa ordinary linguistic behavior characteristically involves innovation, formation of new sentences, and new patterns in accordance with rules of great abstractness and intricacy. Dengan demikian, pengggunaan bahasa (linguistic performance) itu bersifat kreatif, dan kreatifitas itu ada pada pengguna. Pendapat Chomsky ini memunculkan pembelajaran bahasa yang berorientasi pada (learner-centered), yaitu pembelajaran harus berpusat pada pembelajar itu sendiri. Juga, pemikiran Chomsky ini berdampak pada pergeseran penanganan masalah-masalah tata bahasa yang dijelaskan dengan metode terjemah tata bahasa (Grammar Translation Method) menjadi bagaimana aturan-aturan itu dihadirkan dengan pendekatan natural. Ide dasar Chomsky dalam bidang linguistik dan psikologi ini telah mengilhami pada ahli teori pembelajaran bahasa kedua dalam menciptakan berbagai macam metode pembelajaran bahasa, yaitu cognitive code, community language learning, silent way, dan suggestopedia.  (Steinberg dkk, 2001).
Namun demikian, dari sekian metode yang ada tidak akan efektif digunakan jikalau faktor-faktor dalam ranah afektif dari si pembelajar bahasa tidak diperhatikan. Padahal, faktor-faktor tersebut juga menentukan berhasil tidaknya pengajaran dan pembelajar bahasa, khususnya bahasa kedua atau bahasa asing. Faktor-faktor tersebut antara lain motivasi, pemberdayagunaan (empowerment), inhibisi, peran guru, dan bahan ajar (Dardjowidjojo, 2003).
Pertama, motivasi. Motivasi dalam pembelajaran bahasa, khususnya bahasa ke dua atau asing ada dua tipe: (1) integratif dan (2) instrumental. Motivasi integratif merujuk pada suatu keinginan untuk mirip dengan orang dari komunitas asing yang dipelajari (Gardner dan Lambert 1972 via Dardjowidjojo, 2003), .sehingga pembelajar dapat mengintergrasikan diri dengan budaya mereka dan menjadi bagian dari masyarakat mereka. Karena itu, motivasi integratif bersifat intrinsik. Sebaliknya, motivasi instrumental bersifat ekstrinsik. Orang yang bermotivasi ini ingin mendapatkan rekognisi sosial atau keuntungan ekonomis melalui pengetahuan suatu bahasa asing.
Kedua, pemberdayaan. Maksudnya adalah dalam pembelajaran bahasa fokusnya dari produk ke proses yang dialami pembelajar. Pemberdayaan juga menggeser posisi guru dari guru yang memiliki perilaku yang ototarian ke egalitarian. Pemberdayaan juga memunculkan interaksi yang lebih baik antara guru dan siswanya.
Ketiga, inhibisi. Inihibisi adalah bagaimana dalam pembelajaran bahasa hambatan-hambatan psikologisnya dapat dikurangi atau kalau perlu dihilangkan. Dengan ini muncul metode-metode pengajaran bahasa yang dapat menghilangkan atau memperkecil hambatan psikologis. Seperti Curran (1976) dengan community language learning menyajikan empat konsep psikologis seperti (1) security, (2) attention aggression, (3) retention-reflection, dan (4) discrimination yang semuanya dimaksudkan untuk menghilangkan hambatan psikologis.
Keempat, Peran guru. Fokus pada siswa (student-centered) berarti peran guru harus berubah dari semula yang cenderung mendekte siswa ke perilaku yang memberi fasilitas proses pembelajaran dan motivasi kepada siswa.
Kelima, bahan ajar. Bahan ajar harus disesuaikan dengan kebutuhan siswa, yaitu membuat siswa melakukan tugas untuk memecahkan masalah. Tipe bahan yang task-based dan problem solving dimaksudkan agar siswa dapat mengembangkan penggunaan bahasa (language use) bukan hanya pemakaian bahasa (language usage).
Dengan demikian, peranan psikolinguistik dalam pengembangan metode pengajaran dan pembelajaran bahasa sangat besar. Karena memang pembelajaran bahasa tidak dapat dilepaskan dari proses mental. Dari sini juga memunculkan berbagai aliran dalam linguistik antara lain deskriptivisme, dan transformasi yang kedua-dua memiliki kontribusi dalam pengembangan pengajaran dan pembelajaran bahasa, khususnya bahasa kedua atau bahasa asing.





No comments: