Saturday, April 8, 2017



Add caption


Keunikan Bahasa Jawa dan Budaya
di Kabupaten Jepara
Ahdi Riyono
Dosen Linguistik FKIP Universitas Muria Kudus

Membicangkan bahasa Jawa dari berbagai aspek memang tak akan ada habisnya. Karena memang bahasa Jawa selalu menarik untuk dikaji terkait dengan peranan dan fungsi bahasa Jawa di masyarakat. bahasa Jawa dari segi jumlah penutur adalah bahasa daerah yang paling banyak pemakainya.  Jumlah penutur bahasa Jawa berdasarkan sensus tahun 2000 mencapai 84,3 juta, tersebar di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan di daerah-daerah lain di luar Jawa dan Luar negeri yang memiliki kantong-kantong (enklave) penutur bahasa Jawa. Bahasa Jawa juga memiliki berbagai ragam dialek dan variasi. Termasuk yang menarik adalah bahasa Jawa di Kabupaten Jepara.

Sebagaimana penelitian yang dilakukan tim Balai Bahasa Yogyakarta diketuai Suwaji (1978) tentang Struktur Dialek Bahasa Jawa di Pesisir Utara Bagian Timur, bahasa di Kabupaten Jepara digolongkan sebagai Bahasa Jawa Dialek Jepara-Rembang atau Dialek Muria. Namun demikian ada penelitian lain yang mengatakan bahasa Jawa di Kabupaten Jepara adalah hanya variasi dialektal saja belum menjadi sebuah dialek tersendiri karena kesamaan kosakatanya dengan bahasa Jawa Baku mencapai lebih dari 60 %.
Menurut pakar dialektologi, dua bahasa sebagai bahasa berbeda, dialek atau variasi bisa dilihat dari jumlah persentase kesamaan kosakatanya (dialektrometri). Apabila persamaanya hanya mencapai 20 % atau kurang maka itu bisa dikatakan sebagai bahasa yang berbeda, tapi apabila dapat mencapai 40% sampai 60 % disebut dialek dari satu bahasa, dan apabila kesamaannya mencapai 70-90 % itu jelas hanya variasi. Tapi apabila diteliti lebih mendalam bahasa Jawa di Jepara (BJJ) memiliki banyak keunikan dibandingkan dengan bahasa Jawa Baku.
Penyebaran bahasa Jawa di Kabupaten Jepara Merata di seluruh wilayah. Keadaan bahasanya antar di desa satu dengan yang lain tidak terlalu mencolok perbedaanya. Perbedaanya yang muncul hanya pada tataran kosakata tertentu saja. Kosakatanya pun bedanya hanya pada kosakata Ngoko. Sedangkan kosakata Krama hampir semua sama dengan bahasa Jawa Baku.
Kata ‘klapa’ dalam bahasa Jawa Jepara termasuk ragam Ngoko, sedangkan kata ‘klapa’ dalam bahasa Jawa Baku merupakan ragam Krama. Begitu juga, kata ‘krambil’ dalam bahasa Jawa Jepara (BJJ) tergolong ragam Krama, sedangkan dalam BJB adalah Ngoko. Kata jualan di BJJ dikatakan ‘mrema’ yang berkorespondesi dengan BJB ‘sesadean’. Kata perut di BJJ diungkapkan ‘madharan’ di BJB ‘ padharan’. Kata melempar dalam BJJ ‘ngantem’, sedangkan dalam BJB ‘ nyawat’. Kata buruh dalam BJJ dikatakan ‘buroh’, dalam BJBnya dikatakan ‘buruh’. Kata anak ayam di BJJ disebut ‘piyeq’ dalam BJB ‘ kutoq’. Kata sayap di BJJ dituturkan ‘elar’, di BJB disebut’ suwiwi’.  Di dalam BJJ juga dijumpai adanya pemakaian partikel ‘ lah’ dan ‘tah’. Partikel sebetulnya digunakan untuk penguat sebuah tuturan. Contohnya, ‘Pak, barang iku takjupuké lah’ (Pak, barang itu saya akan ambil). ‘Barang ini takpéké lah’ (barang ini akan kumiliki).  ‘iki kepriyé tah thik ngéné? (bagaimana ini dapat begini?).  ‘Apé lunga ring endi tah?’ ( hendak pergi ke mana?).
Dalam BJJ juga terdapat akhiran –na yang berarti melakukan pekerjaan atau tidakan untuk orang lain yang tersebut pada bentuk dasar. Akhiran –na sepadan dengan akhiran –aké. Contoh, aku lagék ngambaraké adhiku sama artinya dengan aku lagék nggambarna adhiku. Dalam bahasa Jawa baku tidak ada pemakaian akhiran -na seperti BJJ. Dalam BJJ juga dikenal awalan tak- dan dak- sebagai pembentuk kata kerja pasif orang pertama tunggal. Sebagai contoh. Dhuwiké célénganku wis takjupuk/ dhuwiké célénganku wisdak jupuk ‘ uang tabunganku sudah kuambil’. Kemudian ada keunikan awalan lainnya, seperti mbok-, kok-, atau tok-, sebagai pembentuk kata kerja pasif orang kedua. Misalnya, asué sapa sing mbok pentung ika/ asué sapa sing kok penthung ika/asué sapa sing tokpenthung ika? ‘anjing siapa yang kau pukul itu?’.
Disamping keunikan bahasanya, masyarakat Jepara juga dikenal dengan budayanya. Kabupaten Jepara memilliki berbagai peninggalan bersejarah. Pada abad VII di wilayah Jepara berdiri sebuah Kerajaan yang dikenal dengan Kerajaan Kalingga. Ratu Kerajaan Kalingga terkenal dengan kebijaksanaan dan keadilannya. Dialah Ratu Shima (Kardjono, 1980; Dirgo Sabarianto dan tim, 1985). Jepara pada masa pemerintahan Sultan Trenggono, diperintah oleh Pangeran Hadiri dari Mantingan yang beristrikan Ratu Kaliyamat. Pangeran Hadiri tewas ditangan Arya Penangsang Bupati Jipang, dan dimakamkan di Desa Mantingan, sehingga makamnya dikenal dengan ‘Makam Sunan Mantingan’.
Masyarakat Jepara juga memiliki cerita rakyat atau sastra lisan. Cerita lisannya sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut guna menguak hubungan antara cerita rakyat dengan kebudayaan masyarakatnya. Dalam cerita rakyat, terdapat simbol-simbol budaya dan mitologi yang sangat mempengaruhi pola pikir dan sikap masyarakat Jepara dalam menjalankan kehidupannya. Di Desa Kecapi terdapat cerita rakyat “Nyai Ratu Simah”, di Desa Mantingan ada cerita sosok “Sunan Mantingan dan Ratu Kaliyamat”. Juga,  ada cerita tentang sesaji laut atau dikenal dengan pesta Lomban yang saat ini telah menjadi agenda rutin wisata oleh Pemda Kabupaten Jepara. Lalu, di Desa Clering ada cerita “Ronggojoyo dan Haji Lember”, dan “Cerita Curug dan Gegunung” di Desa Troso.

No comments: