Friday, April 7, 2017

Menuju Pendidikan Tinggi Transdisipliner



Menuju  Pendidikan Tinggi Transdisipliner
Ahdi Riyono
Dosen FKIP Universitas Muria Kudus

Tulisan Sulistyowati Irianto, Direktur Sekolah Pascasarjana Multidisiplin UI,  di sebuah surat kabar nasional (25/2/2014) lalu tentang perlunya pengembangan studi multidisipliner di perguruan tinggi patut mendapatkan perhatian. Karena apa yang diungkapnya adalah bentuk perhatian sekaligus keprihatiannnya pada dunia pendidikan tinggi di Indonesia yang masih mengagungkan monodisipliner dalam melihat sebuah ilmu. Dunia akademik saat ini masih ditandai dengan cara pandang disiplin ilmu yang saling terpisah.  Bahkan pandangan linieritas kaku yang diterapkan di perguruan tinggi, justru akan memperlemah peran perguruan tinggi sendiri.
 Perkembangan permasalahan yang dihadapi kian komplek  tidak mungkin dapat diselesaikan hanya dengan pendekatan monodisipliner. Misalnya masalah pendidikan, tidak bisa hanya dilihat  aspek pedagogik atau keilmuan pendidikan saja, tetapi harus dilihat dari berbagai aspek, misalnya aspek sosiologi, antropologi, politik, dan kebijakan publik. Oleh sebab itu, pengembangan keilmuan harus melihat permasalahan yang dihadapi. Kita tidak bisa lagi berpikir linier dan cenderung kaku dengan keilmuan tertentu. Sulistyowati bahkan mengusulkan  fakultas monodisiplin perlu mempertimbangkan kurikulum  yang bersifat liberal art  bagi mahasiswa baru. Mereka diperkaya dengan berbagai perspektif ilmu untuk menunjang disiplin ilmu yang akan menjadi spesialisasinya. Sehingga ketika mereka lulus tidak sekadar jadi tukang.
Contohnya, mahasiswa teknik arsitektur dapat mengambil mata kuliah estetika di fakultas ilmu budaya, atau misalnya mahasiswa kedokteran dapat mengambil mata kuliah antropologi di jurusan antropologi. Mahasiswa pendidikan juga dapat mengambil mata kuliah kebijakan publik di Fisip. Hal tersebut  dapat dipahami karena penanganan penyakit dapat juga berkaitan dengan faktor-faktor budaya bukan hanya terkait dengan masalah kesehatan saja, rekayasa arsitektur pun berhubungan dengan estetika (keindahan) dan budaya. Masalah pendidikan juga tidak dapat terlepas dari sebuah  kajian kebijakan publik. 
Karena itu, untuk menyikapi permasalahan global yang semakin  rumit diperlukan pendekatan yang tidak hanya monodisipliner atau multidisipliner sebagaimana yang dikemukakan oleh Sulistiyowati Irianto,  melainkan juga transdisipliner.  Maksudnya  adalah adanya integrasi sejumlah pengetahuan agar penyelesainan masalah dapat tuntas sampai ke akar-akarnya. Jadi, bukan hanya bergabungnya antar disiplin ilmu, tapi dalam prakteknya masih tesekat-sekat sebagaimana dalam konsep multidisipliner atau trandisipliner.
S. Hamid Hasan menegaskan bahwa pendidikan trandisiplin bertujuan untuk kepentingan umat manusia, bukan untuk didiplin ilmu. Disiplin ilmu tidak boleh menjadi pembatas kotak cara berfikir,  bersikap, dan bertindak seseorang, disiplin ilmu harus bersifat terbuka dan kebenaran itu selalu berkembang.  UNESCO juga mengharapkan  perguruan tinggi turut berperan aktif dalam mencari solusi yang terbaik terhadap permasalahan global yang ada saat ini.
Perlu dicari sebuah pendekatan baru yang lebih baik untuk mengatasi permasalahan multisektoral. Pendekatan baru tentu bukan monodisipliner, tetapi transdisipliner. Pendekatan monodisiplin tidak dapat lagi dimanfatkan untuk dapat memberikan kontribusi yang optimal dalam mengatasi masalah global yang kian ruwet. Pendekatan transdisiplin dapat dipandang sebagai ruang intelektual atau intelektual space, tempat isu-isu yang dibahas saling dikaitkan, dieksplorasi, dieksplanasi dan dibuka untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik.
Semua pengetahuan dan ketrampilan di masa depan merupakan hasil riset dengan warna transdisipliner. Karena produksi ilmu pengetahuan adalah proses sosial yang mengalami diseminasi secara global, maupun lokal, melalui berbagai bentuk dan tempat, maka di masa yang akan datang akan terjadi rekonfigurasi ilmu pengetahuan. Karenanya, dalam menghadapi aneka kompleksitas masalahnya tidak cukup civitas akademika hanya disiapkan dengan monodisiplin saja berdasarkan kognisinya, namun juga dibutuhkan orientasi trandisipliner melalui interprenetrasi rasio, emosi, intuisi, dan cipta talenta.
 Ini bukan berarti monodisiplin tidak perlu diperdalam secara intensif, melainkan kedalaman intensivitas maupun intensivitas ilmu mencari berbagai fungsi keterkaitannya dengan berbagai dimensi kehidupan, sehingga terwujud ilmu pengetahuan yang saling terobos menerobos. Diana Nomida (2008) mengatakan ada empat isu utama yang membutuhkan pendekatan multisektoral atau trandisiplin, antara lain; agresi manusia, distribusi sumberdaya secara harmonis, perkembangan pandangan dunia yang bersifat antroposentris, realisasi potensi dan pemberdayaan manusia melalui pendidikan. Untuk pengembangan pendidikan berbasis trandisipliner,  Perguruan Tinggi perlu menyusun sebuah kurikulum dan pembelajaran yang terintegrasi atau disebut integrated curriculum and learning, dan juga memberikan ruang (space) antar disiplin agar ada kemungkinan munculnya perspektif baru di luar disiplin tersebut.

No comments: