Friday, April 7, 2017

Dilema dan Upaya Pemertahanan Bahasa Jawa



Dilema dan Upaya pemertahanan Bahasa Jawa

Ahdi Riyono
Dosen Universitas Muria Kudus


Bahasa Jawa dipusaran globalisasi saat ini mengalami pergeseran yang kian lama kian terpinggirkan. Terpinggirkannya Bahasa Jawa saat ini adalah salah satu akibat perubahan  sosial politik yang luar biasa di tengah-tengah masyarakat. Di ranah sosial, masyarakat saat ini sudah tidak ada lagi yang bersifat monolingual, tapi cenderung multilingual. Istilah sosiolinguistiknya disebut sebagai masyarakat yang diglosik. Artinya, di tengah-tengah masyarakat hidup berbagai  bahasa dan variasinya yang memiliki peran dan fungsi sosial yang berbeda-beda, sehingga individu yang saling berinteraksi sering menggunakan alih kode ataupun campur kode untuk menyampaikan maksud pesan kepada mitra wicaranya. Akibatnya peranan bahasa Jawa tidak menjadi kode utama dalam berkomunikasi. Namun demikian, kita masih patut bersyukur karena bahasa Jawa masih banyak dipakai di ranah keluarga dan masyarakat walaupun dalam konteks yang terbatas.
Bahasa Jawa sebagai alat berfikir dan komunikasi budaya mayarakat tutur Jawa patut mendapatkan perhatian lebih dari berbagai kalangan karena akhir-akhir ini pola pergeseran bahasa Jawa agak menghawatirkan. Ada kecenderungan keluarga muda etnis Jawa menggunakan bahasa Indonesia lebih dominan ketimbang bahasa ibunya saat mereka berkomunikasi dengan anggota keluarganya. Hal ini lambat laut tentu akan memudarkan kompetensi berbahasa Jawa anak-anak mereka. Anak-anak mulai merasa asing dengan bahasa dan budayanya sendiri. Mereka akan merasa ribet kalau berbicara dengan bahasa Jawa. Bahasa Jawa dianggap tidak praktis lagi digunakan di era informasi saat ini. Padahal dalam Bahasa Jawa terkandung nilai-nilai budaya yang adi luhung, diantaranya adalah nilai sopan santun. Dalam masyarakat Jawa sopan santun harus dilakukan termasuk dalam berbicara. Bagi orang Jawa orang kedua saat dipertimbangkan dalam pemakaian dan pilihan bentuk bahasa. Mereka perlu memperhatikan tingkat tutur (speech levels ). Jika sang anak berbicara dengan orang tua memakai bahasa Indonesia,  mereka akan dicap tidak sopan dan tidak menghargai orang tua.
Perubahan sikap berbahasa ini dalam waktu lama akan menyebabkan banyak kosa kata bahasa Jawa tergantikan dengan kosa kata dari bahasa Indonesia atau bahasa Asing, dan apabila tidak terkendali dapat menjadi lonceng kematian bahasa Jawa sendiri (Bolinger, 1975).  Hilangnnya suatu bahasa, berarti hilangnnya budaya dan peradapan penuturnya. Oleh karena itu, UNESCO mencanangkan Bahasa Ibu diajarkan dan sekaligus sebagai bahasa pendidikan. Bahasa ibu bila diperdayakan akan mampu berperan sebagai bahasa ilmu agama, kebudayaan, dan ipteks. Bahasa Jawa juga memiliki yang sangat penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Masih banyak pesantren-pesantren tradisional  yang dalam mengajarkan agama  masih memakai bahasa Jawa, khususnya dalam belajar membaca kitab kuning (kitab berbahasa Arab ditulis dengan aksara Arab gundul).
Memang tidak bisa dipungkiri globalisasi memarjinalkan bahasa dan sastra daerah. Saat ini lebih dari 100 % mahasiswa program studi bahasa asing lebih mengenal sastra asing daripada sastra daerah (Alwasilah, 2009). Parahnya bahasa dan sastra daerah kurang atau bahkan tidak pernah mendapatkan perhatian apalagi sebagai bahan kajian bagi mahasiswa, guru atau dosen bahasa asing. Bahkan pemerintah daerah pun masih kurang perduli dengan nasib bahasa Jawa. Masih banyak kabupaten di Jawa yang belum memiliki kantor bahasa yang berperan untuk melestarikan bahasa dan budaya Jawa. Padahal dalam undang-undang No.24 Tahun 2009 pasal 42 ayat 1 menyatakan pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia. Pasal dan ayat ini menyiratkan pemerintah daerah wajib menganggarkan dalam APBDnya dana untuk pengembangan, dan pembinaan bahasa dan sastra daerah sebagai bentuk tanggung jawab dalam rangka ikut mempertahankan bahasa Jawa.
Fishman (dalam Sumarsono, 1993) menjelaskan pemertahanan bahasa terkait dengan perubahan dan stabilitas penggunaan bahasa di satu pihak dengan proses psikologis, sosial, dan kultural di pihak lain dalam masyarakat multibahasa. Ketidakberdayaan bahasa minoritas mengikuti pola yang sama. Awalnya adalah kontak bahasa minoritas dengan bahasa kedua, sehingga mengenal dua bahasa dan menjadi dwibahasawan, kemudian terjadilah persaingan dalam penggunaannya dan akhirnya bahasa asli bergeser atau punah. Kajian ini pernah dilakukan di Australia dan Inggris, juga Kanada (Sumarsono, 1993).
            Untuk melakukan tindakan pemertahanan bahasa, diperlukan sinergi semua yang berkepentingan dan bertanggung jawab, yaitu pemerintah, masyarakat, para ahli dan peneliti bahasa, serta para budayawan. Sinergi ini dapat diwujudkan dalam kegiatan penelitian, pembuatan bahan ajar mulok, dan sosialisasi. SK. Menteri pendidikan No.22/2006 mengizinkan sekolah-sekolah di daerah untuk membuat kurikulum muatan lokal bahasa daerah. Dalam pembuatan bahan ajar bahasa Jawa perlu diperhatikan kebutuhan pengguna atau analisis kebutuhan dan juga analisis situasi. Kebutuhan pengguna antara lain;  bahasa Jawa yang dipakai sehari-hari dan sebagai bahasa kebudayaan. Sedangkan analisis situasi terkait dengan faktor sosial dan politik suatu daerah.
Bahan pembelajaran dapat diambil dari cerita-cerita rakyat yang dapat digunakan untuk mengajarkan unsur kebahasaan dan juga bisa digunakan untuk mengajarkan etika, moral, dan budi pekerti. Yang menjadi kendala dalam pengajaran bahasa Jawa di sekolah saat ini terkait dengan dua aspek, yaitu  materi dan tenaga guru. Dari aspek materi, materi bahasa Jawa tidak dikaitkan dengan dialek dan budaya lokal, materi jarang mengandung ungkapan-ungkapan yang benar-benar dipakai dalam kehidupan sehari-hari daerah tersebut, akibatnya tidak ada sinergi antara pendidikan bahasa di sekolah, dengan kenyataan di masyarakat. Dari aspek tenaga pendidik atau guru, banyak pengajar bahasa Jawa yang bukan keahliannya, banyak guru bahasa Jawa yang dirangkap oleh guru bahasa Indonesia bahkan ada yang dirangkap oleh guru bahasa asing. Jadi, dari kompetensi guru banyak yang tidak memenuhi syarat. Padahal pengajaran bahasa dibutuhkan ketrampilan yang mumpuni baik dalam tataran kebahasaan maupun dalam kesastraan dan kebudayaanya.
Kemudian, dari sosialisasi,  di sekolah juga perlu diadakan hari atau minggu bahasa Jawa, artinya dalam komunikasi informal di sekolah guru dan siswa wajib menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Jawa juga dipakai para guru yang mengajar  siswa yang masih kesulitan dalam memahami bahasa Indonesia, terutama di kelas satu, dua dan tiga di sekolah dasar. Lalu dari sisi keluarga,  mulai gunakanlah bahasa Jawa untuk berkomunikasi dengan anak, istri dan suami. Sebab pemertahanan yang paling efektif adalah di ranah keluarga. Jika banyak keluarga Jawa sudah tidak memakai bahasa Jawa, maka bahasa Jawa akan terancam punah. Tentu kepunahan bahasa Jawa akan menjadi kiamat bagi orang Jawa. Yang terakhir, perlu didirikan Pusat Studi Budaya Jawa di perguruan tinggi daerah, guna menunjang usaha-usaha dokumentasi dalam bentuk penelitian-penelitian dan pesebaran hasil hasil penelitian di masyarakat. kita seharusnya jangan kalah dengan negara lain, antara lain Suriname dan Belanda yang keduanya memiliki Pusat Studi Jawa yang sangat lengkap dan didukung tenaga-tenaga ahli yang memadai.

No comments: